BANDUNG (Arrahmah.com) – Jumlah umat muslim tuna netra yang tiap tahunnya terus bertambah tidak sebanding dengan ketersediaan Alquran Braile yang ada. Padahal setiap tahun permintaan akan Alquran Braile terus mengalami peningkatan.Hal ini juga sebagai pertanda semakin tingginya kesadaran umat muslim tuna netra untuk bisa membaca Alquran Braile dan tidak hanya sekedar mendengarkan firman Allah saja.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum LSM Ummi Maktum Voice (UMV), Entang Kurniawan (30), di Bandung, Rabu sore (22/12/2010) dalam perbincangan dengan hidayatullah .com.
Menurut Entang, dari data yang dimiliki, 90% muslim tuna netra di Indonesia masih buta Alquran Braile. Dirinya memperkiraan ada lebih dari 2 juta kaum muslim tuna netra di negeri ini.
”Sekarang tinggal dibalik saja, berarti baru sekira 10% saja dari 2 juta orang yang sudah ”melek” baca Alquran Braile,” jelasnya.
Tingginya angka “tidak melek” baca Alquran tersebut selain kendala SDM yang ada dan kepedulian umat Islam yang awas, juga masih tingginya biaya pengadaan Alquran Braile. Saat ini harga 1 set (30 juz) Alquran Braile mencapai Rp.1.650.000. Harga ini sudah termasuk biaya distribusi hanya untuk pulau Jawa saja. Sementara untuk wilayah luar Jawa biasa bisa lebih besar lagi.
”Harga segitu baru Alqurannya saja plus terjemah lho, bandingkan dengan Alqurannya orang awas, 30 juz mungkin harganya hanya Rp.150.000. Itu juga sudah ada terjemah, tafsir, tajwid, dan lainnya,” ujar Entang.
Pihaknya sendiri selama lima tahun terakhir (2005-2010) baru mampu mengadakan dan mendistribusikan sebanyak 2300 set Alquran Braile ke seluruh Indonesia. Sementara jumlah tuna netra yang mengajukan mencapai 800 orang tiap tahunnya.
Entang sendiri mengakui jika pendanaan masih menjadi masalah. Hingga 2010 ini dana sebanyak 4 miliar rupiah telah berhasil dihimpun LSM-nya. Dana tersebut sebagian besar berasal dari donatur umat Islam. Sementara dari catatannya dana 250 juta berasal dari pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Jawa Barat. Namun dirinya enggan bilang jika kepedulian pemerintah terhadap pengadaan
Alquran Braile dinilai masih minim.
”Silakan simpulkan sendirilah, segitu juga sudah kita anggap peduli meski kebutuhan kita masih lebih besar, kita syukuri saja,” ujar pria yang tahun ini bisa naik haji atas biaya seorang donatur ini.
Disinggung rencana selanjutnya ,Entang mengatakan, untuk lima tahun ke depan (hingga 2015) pihaknya menargetkan 10.000 set Alquran Braile dapat tercetak dan terdistribusikan. Sementara dana yang dibutuhkan mencapai 24 miliar rupiah. Namun dirinya meminta agar jangan melihat besarnya biaya, tetapi besarnya manfaat bagi kaum tuna netra.
”Kami berikhtiar agar kebutaan ini tidak belanjut hingga ke akhirat, cukup di dunia saja kami buta mata, namun tidak buta mata hati,” ujarnya di kantor LSM Ummi Maktum Voice Jl. Pasir Salam No. 29 Bandung telp. 022-5228552 dan 08112233494
Pemberdayaan Muslim
Entang sendiri buta sejak lahir, namun dirinya tidak menyerah untuk bisa membaca Alquran Braile. Kini Entang selain memimpin LSM yang fokus terhadap pemberdayaan kaum muslim tuna netra, terutama pengadaan Alquran Braile, juga menjadi trainer bagi teman-temannya yang ingin belajar membaca Alquran Braile.
Untuk itu dirinya mengajak kaum muslim yang awas untuk lebih peduli kepada yang tuna netra, terutama dalam pengadaan Alquran Braile, yakni dengan cara berwakaf. Saat ini harga 1 Alquran Braile (1 juz) sebesar Rp.55.000.
Sementara ditemui terpisah, Kepala Percetakan Alquran Braile Yayasan Penyantun Wiyata Guna (YPWG) Bandung, H Ayi Ahmad Hidayat (55), membenarkan apa yang dikatakan Entang Kurniawan.
Menurut Ayi, penyebab mahalnya biaya Alquran Braile salah satunya tingginya harga kertas yang digunakan. Pihaknya juga mengaku tidak mengambil untung dari pencetakan tersebut.
”Jujur saja kita tidak ambil keuntungan dari pencetakan ini, semua untuk kemaslahatan umat. Ada yang pesan Alquran Braile saja kita sudah senang, berarti ada yang peduli pada mereka,” ujarnya.
Diakui Ayi, kualitas kertas sangat mempengaruhi harga Alquran Braile. Saat ini pihaknya sengaja menggunakan kertas khusus yang masih diimpor untuk menjaga kualitas agar lebih lama digunakan.
”Sebenarnya kita bisa cetak dengan harga murah, tentu dengan kertas apa adanya, tetapi umurnya pun tidak lebih satu tahun. Namun dengan kertas ini insya Allah bisa bertahan hingga sebelas tahun, dengan catatan jangan terendam air,” aku pria yang sudah dua belas tahun bergelut mencetak Alquran ini.
Perlu diketahui Alquran Braile sendiri menggunakan huruf braile, yakni huruf berupa titik-titik timbul pada kertas, sehingga jika sering dibaca (diraba) akan cepat rata.
Ayi menambahkan, harga segitu sudah tergolong murah karena sudah termasuk biaya distribusi. Pihaknya juga mengaku sudah menekan seminim mungkin menekan biaya cetak.
Dengan mesin tua yang ada saat ini dan dibantu lima orang karyawan, pihaknya mampu mencetak 100 set Alquran Braile tiap bulannya (1 set = 30 juz,red). Ayi juga mengaku bahwa saat ini tinggal pihaknya yang masih mencetak Alquran Braile di Indonesia. Sementara yang di Yogyakarta dan Jakarta sudah tidak beroperasi lagi. Itu yang menjadi mahalnya biaya distribusi.
Namun dirinya tetap sabar dan bahagia melayani permintaan Alquran Braile dari seluruh tanah air ini. Salah satu yang membuat dirinya tetap bertahan dan membuatnya bahagia, selain bisa membantu kaum tuna netra bisa memiliki Alquran Braile, adalah dirinya masih dipercaya mengoperasikan mesin pencetak braile yang tinggal satu di dunia.
”Menurut Mr. Smit dari Helen Keller International (sebuah LSM yang peduli pada tuna netra, red) mesin ini tinggal satu-satunya di dunia dari enam mesin yang pernah dibuat. Jadi boleh dikata kami ini salah satu penjaga ‘warisan dunia’,” canda Ayi.
Hal ini bisa jadi benar, mengingat mesin buatan Jerman tersebut tertulis dibuat tahun 1950, sehingga telah 60 tahun beroperasi. (hid/arrahmah.com)