JAKARTA (Arrahmah.com) – Senin lalu (6/12) Ustadz Amman membacakan Pledoinya di PN Jakarta Barat. Dalam Pledoi berjudul “Yang Bersalah Itu Fir’aun Bukan Kami” tersebut, Ustadz Amman secara panjang lebar dan tegas menjelaskan posisinya dan posisi pemerintah yang telah memenjarakannya. Berikut isi lengkap Pledoi Ustadz Amman. Semoga bermanfaat!
YANG BERSALAH ITU FIR’AUN BUKAN KAMI
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
Segala puji hanyalah milik Allah Penguasa alam semesta yang kepada-Nyalah segala putusan diserahkan, yang tiada kebenaran kecuali bila bersumber dari ajaran-Nya, dan tiada kebersalahan kecuali bila dinyatakan salah di dalam ajaran-Nya.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah yang diutus dengan membawa hukum dan ajaran yang barangsiapa menyelisihinya dan menyimpang darinya, maka dia telah sesat jalannya. Sungguh tiada kesalahan dan pelanggaran kecuali dalam pelanggaran terhadap hukum yang dibawanya. Wa ba’du:
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun, Haman dan bala tentaranya, mereka itu adalah orang-orang yang bersalah.” (Al Qashash: 8 )
Ayat ini menegaskan bahwa Raja Fir’aun, para pejabat pembantunya dan aparat keamanannya adalah orang-orang yang bersalah yang menjadi tersangka dan terdakwa di hadapan hukum Allah ta’ala. Namun sudah barang tentu mereka tidak mengaku sebagai orang-orang yang bersalah yang pantas digusur ke meja hijau, karena mereka adalah rezim yang berkuasa yang mana segala tindakan dan ucapan mereka adalah sah secara hukum dan benar sesuai undang-undang, sebabnya adalah bahwa hukum dan undang-undang yang ada adalah buatan mereka sendiri.
Ketahuilah sesungguhnya Allah ta’ala telah menyebutkan di antara kesalahan Fir’aun itu adalah karena dia telah melampaui batas dirinya sebagai makhluk:
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“Pergilah kamu (Musa) kepada Fir’aun, karena sesungguhnya dia itu telah melampaui batas,” (An Nazi’at: 17)
dimana dia mengatakan:
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhan kalian tertinggi”. (An Nazi’at: 24)
juga ucapannya:
مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Aku tidak mengetahui ada tuhan bagi kalian selain aku.” (Al Qashash: 38)
Bahkan dengan angkuh mengatakan Nabi Musa ‘alaihissalam:
لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
“Andai kamu menjadikan tuhan selain aku, sungguh aku benar-benar akan memenjarakan kamu”. (Asy Syu’ara: 29)
Jadi diantara kesalahan Fir’aun ini adalah bahwa dia mengaku dirinyalah satu-satunya tuhan yang harus diibadati, dan dia mengancam orang yang menolak ketuhanannya dengan ancaman penjara. Namun yang menjadi pertanyaan di sini adalah: ketuhanan macam apakah yang diakui dan diklaim oleh Fir’aun dan bahwa hal itu adalah hak preogatif muthlak miliknya?
Apakah dia mengklaim penciptaan langit dan bumi?
Dan apakah dia mengklaim bahwa manfa’at dan madlarrat ada di tangannya?
Dan apakah dia mengklaim pengetahuan terhadap hal-hal yang ghaib?
Pertanyaan-pertanyaan ini semua jawabannya adalah “TIDAK” berdasarkan penegasan nash-nash Al Qur’an. Adapun yang pertama, yaitu bahwa Fir’aun tidak mengakui bahwa dirinya yang menciptakan langit dan bumi, dan justeru sebaliknya dia itu meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakannya, maka itu adalah sebagaimana ucapan Nabi Musa ‘alaihissalam kepada Fir’aun:
لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلاء إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَونُ مَثْبُورًا
“Sungguh kamu telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sungguh aku benar-benar menduga kamu akan binasa, wahai Fir’aun.”. (Al Israa: 102)
Dan adapun yang kedua, yaitu bahwa Fir’aun tidak mengklaim bahwa manfa’at dan madlarrat ada di tangannya, dimana dia tidak bias menatangkan anfa’at dan tidak bias menolak madlarrat, maka itu sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan di dalam Al Qur’an dimana Allah ta’ala menimpakan adzab kepada Fir’aun dan kaumnya yang tidak bias mereka tolak dan mereka hindari. Allah berfirman:
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوفَانَ وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ آيَاتٍ مُّفَصَّلاَت
“Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas,” (Al A’raf: 133)
Dan ternyata yang dilakukan Fir’aun dan pengikutnya yang kafir tatkala adzab itu menimpa mereka adalah meminta kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar berdoa kepada Allah ta’ala agar mencabut adzab itu dari mereka, seraya mengatakan:
يَا مُوسَى ادْعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِندَكَ لَئِن كَشَفْتَ عَنَّا الرِّجْزَ لَنُؤْمِنَنَّ لَكَ وَلَنُرْسِلَنَّ مَعَكَ بَنِي إِسْرَآئِيلَ
“Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Rabbnu sesuai dengan janji-Nya kepadaimu. Jika engkau dapat menghilangkan azab ini dari kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan pasti akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.” (Al A’raf: 134)
Jadi Fir’aun itu meyakini bahwa manfa’at dan madlarrat itu hanya di Tangan Allah ta’ala, dan bahkan Fir’aun juga tidak berani menghadapi mukjizt-mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam di dalam pertarungan yang menjadi penentuan kecuali dengan mengupah para tukang sihir untuk menghadapinya, dan itupun setelah Fir’aun meminta pendapat para pembantunya:
قَالَ الْمَلأُ مِن قَوْمِ فِرْعَوْنَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ عَلِيمٌ، يُرِيدُ أَن يُخْرِجَكُم مِّنْ أَرْضِكُمْ فَمَاذَا تَأْمُرُونَ، قَالُواْ أَرْجِهْ وَأَخَاهُ وَأَرْسِلْ فِي الْمَدَآئِنِ حَاشِرِينَ، يَأْتُوكَ بِكُلِّ سَاحِرٍ عَلِيمٍ، وَجَاء السَّحَرَةُ فِرْعَوْنَ قَالْواْ إِنَّ لَنَا لأَجْرًا إِن كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ، قَالَ نَعَمْ وَإَنَّكُمْ لَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ، قَالُواْ يَا مُوسَى إِمَّا أَن تُلْقِيَ وَإِمَّا أَن نَّكُونَ نَحْنُ الْمُلْقِينَ، قَالَ أَلْقُوْاْ فَلَمَّا أَلْقَوْاْ سَحَرُواْ أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ، وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ، فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ، فَغُلِبُواْ هُنَالِكَ وَانقَلَبُواْ صَاغِرِينَ، وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ
“Pemuka-pemuka kaum Fir’aun berkata: “Orang ini (Musa) benar-benar penyihir yang pandai, yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian”. (Fir’aun berkata): “Maka apa saran kamu?” (Pemuka-pemuka itu) menjawab: “Tahanlah (untuk sementara) dia dan saudaranya dan utuslah ke kota-kota beberapa orang untuk mengumpulkan (para penyihir), agar mereka membawa semua penyihir yang pandai kepadamu”. Dan para penyihir datang kepada Fir’aun, mereka berkata: “Apakah kami akan mendapat imbalan jika kami menang?” Dia (Fir’aun) menjawab: “Ya, bahkan kalian pasti termasuk orang-orang yang dekat (kepadaku)”. Mereka (para penyihir) berkata: “Wahai Musa! Kamukah yang akan melemparkan terlebih dahulu, atau kami yang akan melemparkan?” Dia (Musa) menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka setelah mereka melemparkan, mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang banyak itu takut, karena mereka memperlihatkan sihir yang hebat (mena’jubkan). Dan Kami wahyukan kepada Musa: “Lemparkanlah tongkatmu!”. Maka ia (tongkat itu) menelan (habis) segala kepalsuan mereka. Maka terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan menjadi sia-sia. Maka mereka dikalahkan di tempat itu, dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan para penyihir itu serta merta menjatuhkan diri dengan bersujud.” (Al A’raf: 109-120)
Begitulah orang-orang upahan sang tuhan palsu itu tidak berdaya di hadapan mukjizat Musa ‘alaihissalam, dan merekapun malah berbalik beriman kepada Musa ‘alaihissalam, dan sang Fir’aun-pun murka kepada mereka dan membunuh mereka dengan kejam.
Dan adapun perihal bahwa Fir’aun itu tidak mengetahui yang ghaib, adalah bahwa tatkala dia memiliki kekhawatiran bahwa kekuasaannya akan hancur oleh pria Bani Israil, maka dia memerintahkan aparat keamanannya agar membunuhi semua pria Bani Israil, namun dia malah memelihara dan memungut bayi laki-laki Bani Israil yang dikemudian hari menjadi penghancur kekuasaannya, yaitu Musa ‘alaihissalam:
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا
“Maka dia (Musa) dipungut oleh keluarga Fir’aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka,” (Al Qashash: 8 )
Dari ayat-ayat tadi diketahuilah bahwa Fir’aun meyakini bahwa Allah ta’ala sajalah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Dia sajalah yang mengkabulkan doa dan Dia sajalah Dzat yang mengetahui yang ghaib.
Jadi kalau demikian, ketuhanan macam apakah yang Fir’aun sematkan kepada dirinya dan dia tolak dari selainnya, termasuk Allah ta’ala?
Untuk memahami hal ini, maka simaklah uraian berikut ini:
Allah ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Hak menentukan hukum hanyalah milik Allah.” (Yusuf: 40)
Ayat ini menjelaskan bahwa wewenang pembuatan hukum, undang-undang dan putusan hanyalah hak khusus (preogatif) milik Allah. Ini dikarenakan kewenangan pembuatan hukum itu adalah berkaitan dengan penciptaan, sebagaimanaFirman-Nya ta’ala:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ
“Ingatlah, hanyalah milik-Nyalah penciptaan dan perintah.” (Al A’raf: 54)
Dikarenakan yang menciptakan itu hanyalah Allah, maka hanya Allah sajalah yang berhak memerintah, melarang dan menentukan hukum dan aturan. Dan sebagaimana Allah ta’ala itu tidak menyertakan satu makhluk-pun di dalam penciptaan, maka Dia-pun tidak mengizinkan dan tidak menyertakan satu makhluk-pun di dalam kewenangan pembuatan hukum dan undang-undang, sebagaimana Firman-Nya:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun di dalam hukum-Nya.”(Al Kahfi:26)
Dan bahkan Dia ta’ala melarang menyertakan atau menyekutukan seorangpun di dalam kewenangan pembuatan hukum yang merupakan hak khusus Allah ta’ala. Dia ta’ala berfirman:
وَلَا تُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan janganlah kamu menyekutukan seorangpun di dalam hukum-Nya.”(Al Kahfi:26 sebagaimana di dalam qira’ah ibnu ‘Amir yang mutawwatir)
Sebagaimana orang yang meyakini adanya pencipta selain Allah ta’ala adalah musyrik lagi kafir juga telah mempertuhankan selain Allah itu, ini dikarenakan hak penciptaan adalah hak khusus Allah, maka begitu juga orang yang menyandarkan kewenangan pembuatan hukum dan undang-undang atau sebagiannya kepada selain Allah adalah musyrik, kafir lagi telah mempertuhankan selain Allah.
Sebagaimana orang yang mengaku bahwa dirinya telah ikut andil bersama Allah ta’ala di dalam penciptaan adalah divonis telah mengaku dirinya sebagai tuhan sekutu Allah ta’ala, maka begitu juga orang yang mengaku bahwa dirinya itu berhak membuat hukum dan undang-undang di samping Allah, adalah telah mengklaim bahwa dirinya itu adalah tuhan sekutu Allah ta’ala. Dan sebagaimana orang yang mengklaim bahwa dirinyalah yang menciptakan manusia dan bahwa tidak ada yang menciptaka mereka kecuali dia, maka dia itu adalah telah mengklaim sebagai tuhan tertinggi satu-satunya bagi manusia, maka begitu juga orang yang mengklaim bahwa hanya dirinyalah yang berhak membuat hukum dan tidak ada hukum yang harus dijadikan rujukan kecuali hukumnya, maka dia itu berarti telah mengaku bahwa dirinya adalah tuhan tertinggi.
Untuk supaya lebih jelas masalahnya, maka perhatikan kandungan ayat-ayat ini:
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan alim ulama dan para pendetanya sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Tuhan yang Esa, tidak ada tuhan yang berhak diibadati kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah: 31)
Di dalam ayat ini Allah ta’ala telah memvonis orang-orang nasrani dengan banyak vonis, diantaranya:
1. Mereka telah mempertuhankan alim ulama dan para pendeta mereka.
2. Mereka telah beribadah kepada alim ulama dan para pendeta itu.
3. Mereka melanggar laa ilaaha illallaah.
4. Mereka musyrik.
5. Dan alim itu memposisikan dirinya sebagai tuhan.
Apa gerangan kemusyrikan orang-orang nasrani itu, dan bentuk peribadatannya, serta apa sebab alim ulama dan pendeta itu disebut telah memposisikan dirinya sebagai arbab selain Allah? Apakah karena sebab ruku dan sujud atau karena sebab lain? Amatilah tafsir Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang ayat ini di dalam hadits hasan yang diriwayatkan At Tirmidzi, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Raasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dihadapan ‘Adi Ibnu Hatim (waktu itu seorang nasrani dan kemudian masuk Islam), dan saat ‘Adi mendengar ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka dia mengatakan: “Kami (orang-orang nasrani) tidak beribadah kepada mereka” yaitu kami tidak pernah mempertuhankan mereka dan tidak pernah shalat dan berdoa kepada mereka, jadi kenapa kami dianggap telah beribadah kepada mereka, apa bentuk peribadatan kami kepada mereka itu, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bentuk peribadatan yang mereka lakukan kepada alim ulama dan pendeta itu dengan sabdanya:
أليسوا يحلون ما حرمه الله فتحلونه ويحرمون ما أحله الله فتحرمونه
“Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian menghalalkannya dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian mengharamkannya?”
Maka ‘Adi menjawab: Ya benar.
Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka”.
Jadi peribadatan disini adalah penyandaran hukum kepada alim ulama dan pendeta dan penerimaan hukum mereka itu sebagai rujukan dan sandaran, yang padahal hal itu adalah hak khusus Allah ta’ala yang bila dipalingkan kepada selain-Nya maka itu adalah syirik akbar dan bila diklaim oleh makhluk maka dia itu telah melampaui batas dan mengaku tuhan. Al Imam Hamd Ibnu ‘Atiq mengatakan di dalam Kitab Ibthalut Tandid hal 76:
أجمع العلماء علي أن من صرف شيئا من نوعي الدعاء لغير الله فقد أشرك ولو قال لا إله إلا الله وصلي وصام وزعم أنه مسلم
“Para ulama telah sepakat bahwa barangsiapa memalingkan sesuatu dari ibadah itu kepada selain Allah, maka dia telah musyrik walaupun mengucapkan laa ilaaha illallaah, walaupun dia shalat dan shaum serta walaupun dia mengaku muslim.”
Sedangkan penyandaran hukum itu adalah ibadah yang murni hak Allah ta’ala, dan bila disandarkan kepada selain Allah ta’ala maka itu adalah syirik dan orang yang menjadikan hukum itu sebagai rujukan maka dia itu orang musyrik walaupun hanya satu hukum saja, sebagaimana yang Allah ta’ala jelaskan di dalam Al Qur’an perihal bangkai:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al An’am: 121)
Ayat ini diantaranya berkaitan dengan perdebatan antara Auliya Ar Rahman dengan Auliya Asy Syaithan (kafirin Quraisy), dimana orang-orang kafir itu menghalalkan bangkai dan mendebat kaum muslimin agar ikut menghalalkannya. Al Hakim meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘anhuma berkata tentang ucapan orang-orang kafir itu: “Apa yang disembelih oleh Allah (yaitu bangkai) maka kalian tidak mau memakannya, sedangkan yang kalian sembelih maka kalian memakannya,” maka Allah menurunkan “Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu.”
Di sini hanya satu hukum saja yaitu penghalalan bangkai, namun Allah memvonis orang yang menurutinya sebagai orang musyrik, “dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik,” sedangkan orang yang menggulirkannya sebagai wali (teman) syaitan, “sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kanu.” dan hukum buatannya itu dicap sebagai wahyu dan bisikan syaitan.
Bila saja penyandaran hak pembuatan satu hukum kepada selain Allah ta’ala adalah kemusyrikan dan menjadikan hukum buatan tersebut sebagai rujukan di dalam putusan, dakwaan, fatwa atau vonis adalah syirik akbar yang merupakan pembatal keislaman, maka bagaimana halnya dengan pembuatan dan perujukan lebih dari satu hukum buatan.
Dan bila saja pengklaiman kewenangan pembuatan satu hukum itu merupakan pengklaim ketuhanan, maka bagaimana halnya dengan pengklaiman bahwa dirinyalah dan lembaganyalah yang berwenang membuat hukum, dan bahwa hukum apapun tidaklah menjadi hukum yang sah lagi memiliki kekuatan undang-undang kecuali setelah disahkan dan ditetapkan oleh dirinya dan lembaganya. Dan inilah ketuhanan yang fir’aun maksudkan dengan ucapannya:
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhan kalian tertinggi”. (An Nazi’at: 24)
dan ucapannya:
مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Aku tidak mengetahui ada tuhan bagi kalian selain Aku.” (Al Qashash: 38)
yaitu bahwa akulah satu-satunya yang berkuasa membuat hukum dan tidak ada hukum yang boleh kalian taati selain hukum aku.
Sedangkan peribadatan yang Fir’aun inginkan dari rakyatnya bukanlah shalat dan doa kepadanya, akan tetapi ketaatan dan loyalitas kepada hukum dan perintahnya.
Jadi inilah diantara kesalahan dan tindak pidana yang didakwakan oleh Allah ta’ala kepada Fir’aun, dimana dia telah merencanakan dan atau menggunakan orang lain untuk melakukan tindak pidana penentangan terhadap Allah dan hukum-Nya, sedangkan dakwaan yang dililitkan kepada para pejabat dan aparat keamanan Fir’aun adalah karena mereka telah dengan sengaja memberikan bantuan dan kemudahan terhadap Fir’aun di dalam melakukan tindak pidana penentangan terhadap kekuasaan Allah. Dan mereka semua itu, yaitu Fir’aun, para pejabatnya dan aparat keamanannya, telah dengan sengaja dan secara sadar melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana penentangan terhadap hukum Allah ta’ala dan teror terhadap orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah ta’ala dengan teror pemenjaraan sebagaimana yang dimaksud di dalam surat Asy Syu’ara ayat 29:
لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
“Andai kamu menjadikan tuhan selain aku, sungguh aku benar-benar akan memenjarakan kamu”.
dan teror pembunuhan sebagaimana yang dimaksud di dalam surat Al Mu’min ayat 26:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى
“Dan Berkata Fir’aun (kepada para pembesarnya): “Biarkanlah Aku membunuh Musa.”
dan teror penyiksaan sebagaimana yang dimaksud dengan ucapannya:
فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُم مِّنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ
“Maka sungguh, akan kupotong tangan dan kakimu secara bersilang, dan sungguh, akan aku salib kamu pada pangkal pohon kurma” (Thaha: 71)
dan Fir’aun-pun melakukan teror dengan memerintahkan aparat keamanannya membunuhi kaum pria yang dikhawatirkan membahayakan ideologi dan pemerintahannya serta membiarkan kaum wanitanya terlantar tanpa pengayom:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berkelompok-kelompok, dia menindas segolongan dari mereka, dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya dia (Fir’aun) termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash: 4)
Itulah dakwaan dan tuduhan yang dijeratkan kepada Fir’aun dan kaki tangannya.
Dan mari kita bandingkan realita Fir’aun itu dengan realita Pemerintah Republik Indonesia…..
Bukankah di negeri ini hak kewenangan pembuatan hukum dan undang-undang itu bukan di Tangan Allah saja dan tidak diserahkan kepada-Nya saja, akan tetapi diserahkan kepada banyak sosok orang dan lembaga, yaitu diserahkan kepada MPR, DPR, DPRD dan Presiden serta yang lainnya. Sebagai contoh lihat buktinya:
* Terdapat di dalam UUD 1945 Bab II Pasal 3 ayat 1: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”
Ini artinya bahwa MPR adalah arbab (tuhan-tuhan) pembuat hukum selain Allh ta’ala, dan orang-orang yang duduk sebagai anggotanya adalah orang-orang yang mengaku sebagai tuhan seperti Fir’aun.
* Di dalam UUD 1945 Bab VII Pasal 20 ayat 1 dinyatakan bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” padahal di dalam ajaran Allah ta’ala Penguasa langit dan bumi bahwa yang memegang kekuasaan membuat hukum dan undang-undang hanyalah Allah ta’ala:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Sesungguhnya hak menentukan hukum hanyalah milik Allah.” (Yusuf: 40)
Dan makna pasal 20 ayat 1 UUD 1945 adalah sama dengan ucapan Fir’aun:
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhan kalian tertinggi”. (An Nazi’at: 24)
yaitu bahwa akulah yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang diberlakukan kepada kalian.
* Kemudian tercantum di dalam UUD 1945 Bab VII Pasal 21 ayat 1 pernyataan bahwa: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang,” yang makna syar’inya bahwa para anggota DPR itu diberikan hak ketuhanan oleh UUD 45.
* Juga di dalam UUD 1945 Bab III Pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat,” maknanya bahwa Presiden dan DPR sama-sama memiliki sifat ketuhanan yang diklaim oleh Fir’aun.
Bahkan masalahnya tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada lembaga-lembaga Fir’aun semacam itu, akan tetapi semua diikat dan dibatasi dengan kitab hukum tertinggi, yaitu UUD yang merupakan buatan MPR (lembaga Fir’aunisme tertinggi), dimana DPR boleh membuat hukum apa saja.
Tapi harus sesuai dengan UUD, sebagaimana di dalam UUD 45 pasal 1 ayat 2: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Dan Presiden pun kekuasaannya dibatasi UUD buatan arbab (tuhan-tuhan) yang duduk di MPR bukan dibatasi oleh hukum Tuhan langit dan bumi, sebagaimana yang diatur di dalam UUD 45 Bab III pasal 4 ayat 1 bahwa: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan, menurut Undang-Undang Dasar.”
Jadi ternyata perbuatan penguasa dan pemerintah negeri ini sama persis dengan perbuatan Fir’aun, dan begitu juga tindakan aparat keamanan negeri ini sama dengan aparat keamanan Fir’aun.
Bila Fir’aun mengancam setiap orang yang membangkang kepada ketuhanannya dan menolak tunduk kepada hukumnya dengan ancaman penjara:
لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
“Sungguh jika kamu menjadikan tuhan selain aku, pasti aku masukkan kamu ke dalam penjara”. (Asy Syu’ara: 29)
Maka begitu juga pemerintah negeri mengancam orang-orang yang membangkang kepada hukumnya dan ingin menggantinya dengan hukum Islam dengan ancaman penjara, karena penegakkan hukum Islam saja artinya adalah menolak ketuhanan Pancasila dan ketuhanan para pembuat hukum di dalam sistim kafir demokrasi.
Bila Fir’aun telah menuduh Nabi Musa ‘alaihissalam dan para pengikutnya yang mengajak manusia ke dalam ajaran Allah ta’ala dan hukum-Nya dengan tuduhan sebagai perusak tatanan dan ingin merubah ideologi negara sehingga pantas dibunuh dan diberantas, sebagaimana ucapannya:
ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَاد
“Biarkanlah aku membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Rabbnya, sesungguhnya Aku khawatir dia akan mengganti dien (ajaran/hukum/ideologi) kalian atau menimbulkan kerusakan di bumi”. (Al Mu’min: 26)
dimana diantara makna dien adalah hukum dan undang-undang, sebagaimana firman-Nya:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tidak mungkin dia (Yusuf) itu membawa saudaranya ke dalam undang-undang raja,” (Yusuf: 76)
Maka begitu pemerintah negeri ini juga telah menuduh para dai dan mujahid tauhid yang berjuang ingin menegakkan kalimat Allah di negeri ini dengan dakwah tauhid yang suci dan dengan jihad yang tulus, pemerintah menuduh mereka sebagai perusak tatanan dan ingin merubah ideologi negara, yang harus segera ditumpas dan diberantas serta diberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana tersebut dan para pelakunya.
Bila Fir’aun memerintahkan semua aparatnya di semua daerah agar waspada terhadap gerakan dakwah Musa ‘alaihissalam dan para pengikutnya yang berbahaya dan agar menghati-hatikan masyarakat darinya, mengawasinya serta agar tidak terpengaruh oleh kelompok kecil yang membawa pemahaman yang sesat, ganjil, berbahaya dan meresahkan itu, sebagaimana yang Allah ta’ala ceritakan:
فَأَرْسَلَ فِرْعَوْنُ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ، إِنَّ هَؤُلَاء لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ، وَإِنَّهُمْ لَنَا لَغَائِظُونَ، وَإِنَّا لَجَمِيعٌ حَاذِرُونَ
“Kemudian Fir’aun mengirimkan orang-orang ke kota-kota untuk mengumpulkan (bala tentaranya). (Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) hanya sekelompok kecil, Dan Sesungguhnya mereka telah berbuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, Dan Sesungguhnya kita semua tanpa kecuali harus selalu waspada”.” (Asy Syu’ara: 53-56)
Maka begitu juga pemerintah negeri ini melakukan hal yang sama, dimana mereka menuduh para pemuda yang menginginkan kejayaan agama Islam dengan tauhid dan jihad sebagai kaum yang sesat yang memaksakan kehendak yang perlu diwaspadai dan diawasi gerakannya, sehingga perlu dibentuk detasemen khusus anti jihad untuk menanganinya dan perlu dibuat Polisi masyarakat untuk mempersempit gerakan dakwahnya dan pengajiannya serta perlu dibuatkan undang-undang khusus untuk menjerat para pelaku dan para pendukungnya sehingga muncullah undang-undang Republik Indonesia no 15 tahun 2003 tentang Penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang no 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana jihad menjadi undang-undang.
Sungguh sangat serupa langkah-langkah pemerintah ini dengan langkah-langkah pemerintah Fir’aun.
أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah mereka saling berpesan dengannya? (Tidak) namun mereka itu kaum yang melampaui batas.” (Adz Dzariyat: 53)
تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ
“Sangat serupa hati mereka.” (Al Baqarah: 118)
Bila tentu jelas hal ini, maka jelaslah bahwa yang bersalah di dalam permasalahan pelatihan militer di Aceh itu adalah Fir’aun-fir’aun negeri ini, para pembantu mereka dan aparat keamanannya yang telah melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana penentangan terhadap kekuasaan Allah ta’ala yang telah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan latihan militer di dalam Firman-Nya:
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka berupa kekuatan yang kamu miliki dan pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuh kamu.” (Al Anfal: 60)
Sedangkan diantara kekuatan yang wajib dipersiapkan itu adalah memanah atau menembak, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :
أَلا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ
“Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah menembak, Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah menembak.” (HR Muslim)
Sedangkan menembak itu adalah menggunakan panah, senjata api dan alat lainnya sesuai zaman dan perkembangan teknologi.
Sehingga wajib atas setiap laki-laki muslim cakap menggunakannya dalam rangka i’dad dan jihad fi sabilillah. Namun pemerintah Indonesia yang kafir ini justru melarang orang Islam dari memiliki dan menggunakan senjata api, amunisi dan yang lainnya, apalagi bila digunakan untuk ibadah jihad, sebagaimana yang dinyatakan undang-undang anti jihad pasal 9 bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Perhatikanlah pasal karet ini yang menjerat semua pihak yang memiliki andil di dalam pengadaan senjata api, amunisi dan bahan lainnya untuk tujuan jihad. Dan diantara bukti yang menunjukkan bahwa tindak pidana terorisme yang dimaksud di dalam pasal karet tadi adalah ibadah I’dad dan jihad adalah realita bahwa orang yang merampok untuk menjarah harta orang lain dengan menggunakan senjata api hanyalah dijerat pasal 365 KUHP bukan dengan UU anti terorisme yang vonisnya sangat ringan yang membuat para perampok makin ketagihan. Bahkan penggunaan senjata api, amunisi dan yang lainnya adalah hal yang legal bahkan wajib kalau tujuannya untuk membela negara dan pemerintah serta ideologi para penguasa yang kafir, maka dari itu tentara dan polisi dipersenjatai. Sungguh jahat dan durjana para penganut hukum kafir semacam ini, dimana senjata api dilarang penggunaannya dan bahkan sekedar menyimpannya kalau tujuannya membela agama dan hukum Allah, bahkan mengetahui informasi perihal keberadaannya pun dan terus tidak melaporkannya adalah tidak lepas dari jeratan pidananya. Namun kalau yang memakainya adalah aparat yang menegakkan hukum kafir dan yang menjaga sistim negara yang kafir ini maka itu adalah hal yang sah.
Dan itu adalah makar musuh-musuh Allah ta’ala agar mereka tetap kuat lagi bersenjata dan umat Islam ini tetap lemah jauh dari kekuatan dan senjata supaya tetap mudah digiring dan diatur dan dibinasakan bila menentang, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً
“orang-orang kafir ingin agar kalian lengah terhadap senjata dan barang-barang kalian, lalu mereka menyerbu kalian sekaligus.” (An-Nisa: 102)
Pemerintah Fir’aun negeri ini ingin mematikan cahaya agama Allah ta’ala dengan berbagai cara, tapi mana mungkin sinar matahari bisa dilenyapkan walaupun bisa saja sementara waktu ditutupi awan di sebagian tempat.
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُون
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.” (At Taubah: 32)
Maka silahkan pemerintah ini melakukan apa yang diinginkannya terhadap kami!…tapi ingatlah kita semua akan mati, dan di hadapan Allah ta’ala kita semua akan mengetahui apakah ideologi Pancasila yang sekarang ini dijunjung tinggi, UUD 1945 yang selama ini dijadikan rujukan dan NKRI yang katanya harga mati itu bisa menyelamatkan dari adzab Allah ta’ala atau justru malah membinasakan?
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
“Dan orang-orang dzalim itu akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy Syu’ara: 227)
Sekarang karena rezim mirip Fir’aun yang sedang berkuasa, maka segala tindakan jahat yang dilakukan aparatnya bila dalam menjalankan hukumnya adalah sah-sah saja walaupun itu terror atau penyiksaan yang mengerikan di tempat-tempat rahasia yang jauh dari jangkauan media dan bahkan pembunuhan dengan cara aniaya dan begitu juga perampasan harta benda…. Semua ini sah saja karena sudah sesuai hukum …. Hukum apa? Ya hukum buatan Fir’aun-Fir’aun negeri ini … Intinya bahwa kekuasaan dan kekuatanlah yang bisa menjadikan sesuatu itu sah atau tidak….
Namun ketika datang suatu hari yang mana kekuasaan dan kerajaan di hari itu hanya milik Allah ta’ala dan semua rezim Fir’aun telah sirna dan menjadi hina, maka di situlah kita akan berjumpa dan mengadakan persengketaan kita kepada Allah Yang Maha Perkasa:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِندَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sungguh mereka akan mati (pula), kemudian di hari kiamat sesungguhnya kalian akan saling mengadakan persengketaan di sisi Rab kalian.” [Az Zumar: 30-31]
Ya kita akan bersengketa … kami di pihak yang berusaha melaksanakan hukum Allah ta’ala yang di dunia ini dituduh sebagai penjahat oleh rezim Fir’aun negeri ini, sedangkan pemerintah ini dan aparat hukumnya berada di pihak yang bersikukuh menjalankan hukum thaghut dan memaksakan hukum itu kepada umat manusia ….
Mari kita bersama-sama menunggu putusan dan vonis Penguasa alam semesta di akhirat kelak:
قُلْ كُلٌّ مُّتَرَبِّصٌ فَتَرَبَّصُوا فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ أَصْحَابُ الصِّرَاطِ السَّوِيِّ وَمَنِ اهْتَدَى
“Katakanlah: Masing-masing (kita) sedang menunggu, maka tunggulah oleh kalian! Dan kelak kalian akan mengetahui siapa yang menempuh jalan yang lurus dan orang yang mendapatkan petunjuk.” [Thaha: 135]
Adapun di dalam persidangan ini, maka silahkan diputuskan apa yang ingin diputuskan, karena putusan yang akan diputuskan itu sudah tertulis di dalam Al Lauh Al Mahfudh 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, sehingga tidak akan kami takutkan atau kami risaukan, namun yang harus khawatir dan takut adalah pihak-pihak yang ikut andil di dalam mendhalimi kami tanpa sebab dosa kecuali karena kami beriman kepada Allah ta’ala dan taat kepada hukum-Nya, karena sesungguhnya kezaliman sekecil apapun akan Allah ta’ala segerakan hukumannya di dunia di samping yang Allah sediakan di akhirat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
بابان معجّلان عقو بتهما فيالدنيا: البغي والعقوق
“Dua pintu yang disegerakan hukumannya di dunia: aniaya dan durhaka.”
Juga sabdanya:
إن الله ليملي للظالم حتى إذا أخذه لم يفلته
“Sesungguhnya Allah benar-benar mengulur (waktu) bagi orang dzalim, sehingga bila Dia menghukumnya maka dia tidak bisa lolos dari-Nya.”
اللهم يا منزل الكتاب ويا مجري السحاب ويا هازم الأحزاب أعز الإسلام والمسلمين وأهلك الكفرة الظالمين ودمر أعداء الدين
وصلى الله على نبينا محمد واله وصحبه وسلم
والسلام على عباد الله المؤمنين
Aman Abdurrahman
Source : lintastanzhim.wordpress.com