JAKARTA (Arrahmah.com) – Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Ustadz Muhammad Al Khaththath menilai keterlibatan intelijen Indonesia dalam operasi rahasia CIA dalam penangkapan dan pemindahan tertuduh teroris, Intelijen Indonesia secara tidak langsung menjadi sub ordinat CIA.
“Paralelnya, menjadikan NKRI sub ordinat negara Amerika Serikat (USA) dan itu berarti pengkhianatan terhadap Konstitusi, terhadap rakyat, dan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Coba mereka berfikir, apakah perbuatan mereka diridhoi Tuhan Yang Maa Esa” Katanya kepada arrahmah.com menanggapi Laporan study organisasi Nirlaba Open Society Foundation (OSF), Senin (11/2/2013) Jakarta.
Lebih dari itu, ia mendukung upaya DPR untuk mengkaji laporan keterlibatan intelijen Indonesia dalam operasi rahasia CIA.
“Komisi I harus membahas persoalan itu atau Komisi berapa yang menangani itu, karena ini menyangkut kemandirian bangsa dan Kemandirian negara,” ungkap Ustadz Khaththath.
Persoalan keterlibatan Intelijen Indonesia dalam operasi rahasia CIA itu, lanjutnya, merupakan persoalan yang sangat signifikan sehingga perlu dikaji dan diusut oleh DPR, karena menyangkut kedaulatan negara.
“Ini persoalan yang sangat penting, karena jika intelijen kita sudah menjadi sub ordinat negara lain, maka rahasia negara bisa dikasih ke mereka, ini berbahaya” tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, Komisi Pertahanan, Komunikasi, dan Informasi DPR RI akan mengkaji laporan Hasil studi Open Society Foundation (OSF) yang menyebut adanya keterlibatan intelijen Indonesia dalam program rahasia dengan Dinas Rahasia AS, CIA (Central Intelligence Agency). “Ini harus dikaji dulu, apakah seperti itu persoalannya,” kata Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR Ramadhan Pohan, di Jakarta, Kamis (7/2/2013).
Sebagaimana diketahui, Setidaknya ada tiga penangkapan oleh intelijen Indonesia yang disebut laporan OSF tersebut sebagai bagian dari kerjasama operasi rahasia ini, yaitu terhadap Muhammad Saad Iqbal Madni, Nasir Salim Ali Qaru, dan Omar al-Faruq. Madni ditangkap di Jakarta, sebelum dikirim ke Mesir. Nasir ditangkap di Indonesia tahun 2003 dan ditransfer ke Yordania, sebelum akhirnya ditemukan di Yaman. Faruq ditangkap di Bogor tahun 2002, lalu dipindahkan ke Bagram, Afganistan.
Dalam studi itu OSF itu disebutkan, masing-masing negara memiliki peran yang berbeda-beda dalam membantu operasi CIA itu. CIA menahan orang yang diduga teroris di fasilitas penahanan di Lithuania, Maroko, Polandia, Rumania, dan Thailand –di samping di Afghanistan dan Guantanamo, Kuba. Sedangkan negara-negara seperti Azerbaijan, Kanada, Denmark, Malawi, Kenya, Zimbabwe, Malaysia, dan Sri Lanka, berpartisipasi melalui interogasi, penyiksaan, atau penangkapannya.
Setidaknya ada 136 orang yang dilaporkan menjadi korban operasi ini. Dalam penahanan itu, mereka mengalami sejumlah penyiksaan. Karena itu, tulis laporan OSF itu, Amerika Serikat dan dan negara-negara yang membantunya harus bertanggungjawab atas pelanggaran hukum domestik dan internasional itu. Hingga kini hanya Kanada yang meminta maaf atas perannya. Sedangkan Australia, Inggris, dan Swedia, menawarkan kompensasi kepada korban operasi rahasia itu.
Amrit Singh, penulis laporan itu mengatakan, Presiden AS Barrack Obama pada tahun 2009 mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang penggunaan penyiksaan, teknik interogasi keras dan penutupan fasilitas penahanan rahasia. Tapi, kata Singh, perintah itu tidak menanggalkan praktik rendition. “Kenyataannya, perintah itu memungkinkan penahanan jangka pendek untuk rendition,” kata Singh.
Pendukung program rendition dan penahanan mengatakan, ini merupakan komponen penting kebijakan keamanan nasional AS menghadapi ancaman tak menentu setelah peristiwa 9/11 itu. “Semua plot (teroris) yang direncanakan setelah serangan 9/11 tidak pernah terjadi,” kata Marc Thiessen, penulis utama untuk pidato Presiden AS George W. Bush. Jika tak ada program rahasia itu, kata Marc, belum tentu AS melewati 12 tahun ini tanpa serangan teroris. (bilal/arrahmah.com)