STOCKHOLM (Arrahmah.com) – Terdapat sekitar 200 ‘ekstrimis’ Islam yang tinggal di Swedia, menurut laporan intelejen yang dipublikasikan pada Rabu (15/12/2010) setelah insiden bom bunuh diri pertama di negara tersebut menjelang perayaan Natal, kutip Al Arabiya.
“Sebuah kelompok dengan anggota aktif … terdiri kurang dari 200 orang,” kata badan intelijen Saepo dalam laporan setebal 126 halaman, berdasarkan data dari 22D9 dan dijadwalkan akan diterbitkan sebelum serangan akhir pekan di pusat kota Stockholm.
Tersangka pemboman yang terjadi pada Sabtu pekan lalu disinyalir bernama Taymour Abdelwahab, seorang warga negara Swedia yang menjadi sangat vokal dalam mendukung aktivitas jihad ketika tinggal di Inggris. Sayangnya, nama Abdelwahab tidak ada di antara 200 orang yang dimasukkan dalam daftar Saepo, dan sejauh ini masih belum jelas mengenai kemungkinan munculnya nama lain yang tidak masuk dalam daftar dugaan badan intelejen tersebut.
“Kami sedang menempatkan sumber daya yang sangat besar dalam menggali informasi mengenai keberadaan, profil, dan bagaimana proses radikalisasi tersangka bermula, serta bagaimana ia berkembang,” kata Malena Rembe, kepala analis unit anti-terorisme Saepo pada AFP.
“Saya dapat mengatakan kita sedang mempelajari semua data dengan sangat hati-hati agar dapat melihat dan menilai seberapa besar resiko atau ancaman yang dihadapi,” katanya.
Dalam laporan itupun, intelejen memperlihatkan data yang diklaimnya sebagai kekerasan yang dilakukan oleh Islam di Swedia dengan jumlah yang tetap stabil dalam beberapa tahun terakhir. Sementara, menurut laporan itu, proses radikalisasi secara umum terjadi antara laki-laki berusia 15 sampai 30, usia rata-rata dalam kelompok tersebut adalah 36 tahun.
Rembe menekankan pentingnya untuk melakukan upaya pencegahan di tengah-tengah masyarakat Swedia sejak usia dini. Karena menurutnya, kelompok ‘radikal’ ini cenderung merekrut pemuda yang putus sekolah ketika mereka mulai berkeluarga.
Laporan itu pun menunjukkan “sebagian besar dari mereka lahir atau dibesarkan di Swedia, dan di sini mereka pun kemudian sering berinteraksi datang kelompok atau ideologi yang mempromosikan kekerasan.”
“80 % dari 200 dapat dihubungkan satu sama lain,” kata Rembe sebuah konferensi pers.
“Sebagian besar jaringan ini fokus pada aksi dan propaganda melawan pasukan asing di negara-negara Muslim dan terhadap pemerintah yang menurut mereka sangat korup dan dianggap tidak mewakili penafsiran yang benar dari Islam,” kata Saepo.
Sementara itu, Rembe menekankan bahwa di negara-negara tertentu dimana xenophobia dan islamophobia terus menjadi perdebatan, maka kondisi itulah yang justru cenderung mendorong orang untuk menghimpun ke dalam gerakan karena mereka merasa terisolasi dalam masyarakat mereka sendiri.
“Jadi itulah dampak negatif,” katanya.
Dia menambahkan bahwa hari ini Swedia memiliki “dialog dan pola komunikasi yang cukup terbuka… Hal ini sangat penting untuk memastikan penyelesaian masalah yang bernuansa diskusi.” (althaf/arrahmah.com)