KHARTOUM (Arrahmah.com) – Kapal barang Ukraina yang baru saja dibajak di Teluk Aden penuh dengan senjata, termasuk 32 tank tempur era Soviet, dan seluruh arsenal tengah menuju pemerintah regional di Sudan selatan. Pemerintah Ukraina dan Kenya membantah keras temuan itu, bersikukuh bahwa tank-tank itu dimaksudkan untuk militer Kenya.
“Ini adalah kerugian besar bagi kami,” ujar Alfred Mutua, juru bicara untuk pemerintah Kenya.
Tapi ternyata para bajak laut itu mengatakan yang sebenarnya, dan Kenya serta Ukraina tidak. Menurut beberapa kabel rahasia Departemen Luar Negeri yang dipublikasikan oleh WikiLeaks, tank-tank itu tidak hanya menuju Sudan selatan, tapi mereka juga merupakan angsuran terakhir dari beberapa pengiriman senjata ilegal. Ketika kapal barang itu disita, 67 T-72 tank sudah dikirimkan untuk memperkuat angkatan bersenjata Sudan selatan melawan pemerintah di Khartoum, sebuah pariah internasional untuk pelanggaran HAM-nya di Darfur.
Para pejabat pemerintahan Bush mengetahui transaksi senjata yang sebelumnya dan memilih untuk tidak menutupnya, ujar seorang pejabat Sudan selatan dalam sebuah wawancara, dan kabel-kabel itu mengakui pernyataan pejabat Kenya bahwa mereka memberitahu pejabat Amerika tentang kesepakatan tersebut. Tapi ketika bajak laur mengekspos jalur pipa senjata melalui Kenya, pemerintahan Obama memprotes pemerintah Ukraina dan Kenya, bahkan mengancam akan memberikan sanksi.
Vann H. Van Diepen, seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri, menunjukkan pada Ukraina kontrak penjualan dengan Sudan selatan sebagai pembelinya, menurut sebuah kabel bulan November 2009 dari kedutaan AS di Kiev. Ketika mereka menganggapnya palsu, Van Diepen memperlihatkan citra satelit dari tank T-72 yang dibongkar muat di Kenya, dipindahkan ke jalur kereta api untuk pengiriman selanjutnya, dan akhirnya di Sudan selatan. Hal itu menimbulkan kehebohan di pihak Ukraina.
Pengungkapan tank-tank itu terjadi di tengah salah satu masa paling sensitif dalam sejarah Sudan, dengan negara Afrika terbesar berada di ambang perpecahan menjadi dua. Pada tanggal 9 Januari, Sudan selatan dijadwalkan untuk memberikan suaranya pada referendum untuk kemerdekaan mereka dari Sudan utara, mencerminkan berakhirnya perang selama 50 tahun. Senjata dalam jumlah besar mengalir ke kedua pihak, terutama ke utara, mengubah negara itu menjadi salah satu negara yang mudah terbakar di benua Afrika. Menteri luar negeri AS Hillary Clinton baru-baru ini menyebutnya sebagai bom waktu.
Sementara koran-koran Kenya dan publikasi lainnya telah menulis tentang pengiriman senjata itu sejak episode bajak laut, konfirmasi bahwa pemerintah Sudan selatan adalah penerimanya telah menimbulkan kekhwatiran di kalangan diplomat bahwa berita itu bisa meningkatkan ketegangan yang membara. (sm/arrahmah.com)