MAKASSAR (Arrahmah.com) – Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menjelaskan telah terjadi penangkapan dua orang pemuda pada hari Jumat (4/1/2013) mereka ditangkap Densus 88 di pasar Daya Lama, Makassar sekitar jam 14.00 Wita. Namun, penangkapan ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum.
“Perlu diungkap hal ini, agar segera diketahui korban penembakan densus 88 berada dimana?,” kata Harits kepada arrahmah.com, Senin malam(14/12013)
Hasil investigasi CIIA di lapangan, menurut Harits, peristiwa tersebut terjadi saat keduanya naik motor berboncengan hendak belanja ke pasar. Satu orang bernama Arbain Yusuf alias Yusuf alias Bain Abu Fadil alias Fadil dan yang kedua bernama Tamrin bin Pangaro. Nasib Tamrin hingga kini belum diketahui kejelasannya dan keluarga Tamrin pun kebingungan untuk mencari dan mengetahui keberadaan anggota keluarganya tersebut.
“Karena sampai hari senin (14/1) sepekan lebih paska penangkapan Tamrin, pihak aparat belum memberitahukan kepada keluarga perihal penangkapan dan penahanannya,” ungkap Harits
Kata Harits, Tamrin sendiri ditembak Densus 88 dibagian kaki atas (paha) saat penangkapan. Dan saksi mata mengatakan tidak ada perlawanan serta tidak ada diantara yang tertangkap membawa senjata.
Sementara itu, baru satu orang yang pihak keluarganya diberikan surat penangkapan dan penahanan resmi oleh Densus 88 yaitu, Arbain. Dengan nomer surat: B/17/I/2012 Densus tertanggal 07 Jan 2013 dan Surat:B/19/I/2013/Densus tertanggal 10 Januari 2013.
“Nah, untuk Tamrinnya kemana dan dimana tidak jelas juntrungannya (arah tujuannya). Menurut Saya, ini contoh betapa terdzaliminya pihak keluarga atas tindakan Densus 88 seperti yang menimpa Tamrin,” tegas Harits
Hak-hak keluarga korban seringkali diremehkan begitu saja dan kesulitan pihak keluarga untuk melakukan proses advokasi, karena pihak keluarga tidak tahu rimbanya Tamrin.
“Kalau pun sudah jelas posisi orang-orang yangg tertuduh atau diduga teroris, Densus secara sepihak memilihkan pengacara untuk mereka dan ini tidak fair,” kritik Harits
Karena itu, Lanjut Harits, seharusnya para pengusung HAM juga turun tangan mengambil tindakan advokasi. Karena, dalam proses penegakkan hukum dalam isu terorisme benar-benar mekanisme hukum (criminal juctice system) dibuang di tong sampah. Densus main tangkap, surat penangkapan dibuat menyusul berikut penahannya. Kalaupun salah tangkap, kemudian setelah 7×24 jam dilepas dan tidak ada rehabilitasi atas nama korban. Ini bentuk pelanggaran yang mengajarkan rakyat atau siapapun tidak butuh lagi pada mekanisme hukum jika mau mencapai tujuan-tujuannya.
“Atau yang pasti, cara-cara seperti ini menjadikan kepercayaan masyarakat makin tergerus,” tandasnya. (bilal/arrahmah.com)