Kriteria primer thaifah manshurah adalah “yuqaatiluuna fii sabilillah” membunuh atau terbunuh di jalan Allah l. Sebuah thaifah manshurah mungkin kurang ilmu, kurang pembinaan, tapi tidak pernah ada dalam kamus thaifah manshurah menanggalkan senjata untuk tidak melawan musuh Allah SWT.
Maka dalam hadits tentang thaifah manshurah, teks kalimatnya adalah “yuqaatiluun” bukan “yujaahiduun”. Karena agar tidak bisa ditawar lagi dengan yang lainnya. Mungkin kalau nashnya “yujahiduun”, seseorang bisa memberikan interpretasi “jihad hawa nafsu”. Tapi kalau “qital”, tidak ada kalimat “qital hawa nafsu” dengan demikian tidak ada kata, kecuali memanggul senjata, membunuh atau terbunuh di jalan Allah SWT.
Sesunguhnya pada prinsip yang baku dalam ibadah jihad, bahwa ibadah ini tidak tergantung pada satu tokoh pun. Apakah ia telah berguguran syahid atau dipenjara sebagai tawanan musuh Allah.
Allah telah mendidik shahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk hanya bergantung kepada-Nya saja dan kepada agama-Nya. Allah menerangkan kepada mereka bahwa menggantungkan diri dengan tokoh adalah cara yang tidak benar. Hal ini akan berdampak pada tergantungnya perjuangan dengan orang tersebut. Sehingga, bisa jadi perjuangan berhenti dengan meninggalnya seorang tokoh.
Allah melarang para shahabat menggantungkan diri kepada tokoh-tokoh tertentu. Belum pernah Allah melarang orang lain seperti larangan ini kepada mereka. Allah melarang shahabat menggantungkan syiar-syiar agama dengan makhluk terbaik yang pernah Allah ciptakan. Dialah Muhammad bin Abdullah. Allah melarang mereka bergantung dengan pribadi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam Allah berfirman:
{وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِينْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللهَ شَيْئاً وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ}
“Muhammad tidak lain adalah seorang rasul yang telah lewat sebelumnya para rasul. Apakah ketika ia meninggal atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang? Siapa yang berbalik ke belakang, tidaklah ia membahayakan Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Ali imran : 144)
Ayat ini turun untuk mendidik shahabat Melarang mereka menggunakan metode (manhaj) yang rusak, yang bisa merusak ibadah; yaitu menggantungkan amal kepada orang tertentu.
Menggantungkan amal di sini bukan selalunya mempersekutukan Allah dengan tokoh tersebut. Bukan, karena ini bisa menjadi syirik kecil, bahkan bisa juga menjadi syirik besar. Tapi, ketika seorang muslim beranggapan bahwa ibadah yang ia lakukan (khususnya jihad) tidak maju dan tidak akan menuai sukses kalau bukan karena Allah menjadikan seorang tokoh itu berada di barisan depan para pejuang yang lain. Inilah gambaran minimal yang Allah larang menjadikannya sebagai manhaj.
Adh Dhohak berkata: “Orang-orang munafik berkata, ‘Muhammad telah terbunuh, kembalilah kalian kepada agama pertama kalian’, maka turunlah ayat ini.
Qotadah berkata: “Sebagian orang mengatakan, ‘Seandainya ia nabi tentu ia tidak terbunuh’.”
Penulis Fathul Qadir berkata (I/ 385) menafsirkan ayat ini: “Muhammad tak lain adalah seorang rasul yang telah lewat para rasul sebelumnya…”. “Sebab turun ayat ini adalah sebagai berikut: Ketika Nabi terluka di perang Uhud, syetan berteriak: Muhammad telah terbunuh! Mendengar itu sebagian kaum muslimin merasa putus harapan sampai ada yang mengatakan: “Muhammad terbunuh, menyerah saja kita, mereka pun saudara kita juga.”
Prinsip ini juga tercermin pada diri Umar bin Khattab R.A yang mengatakan ketika Rasulullah wafat: “Barangsiapa beribadah kepada Muhammad, sesungguhnya beliau telah meninggal. Barangsiapa beribadah kepada Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan Tidak Akan Pernah Mati.”
Juga tercermin dalam diri ‘Ali bin Abi Thalib setelah ia membaca ayat: “Muhammad tidak lain adalah seorang rasul…”, ia mengatakan: “Demi Allah, kami tidak akan pernah mundur setelah Allah memberi kami hidayah. Demi Allah, kalaulah beliau meninggal atau terbunuh, aku akan tetap berperang membela beliau sampai aku mati.”
Inilah salafus shalih, shahabat seluruhnya merekalah orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Setelah Rasulullah n wafat, merekalah yang menyambung jalan dan tidak patah arang dalam berjihad, dakwah dan ibadah. Mereka tetap berjalan di atas manhaj yang diajarkan Rasulullah kepada mereka. Ketika menderita kekalahan, mereka praktekkan firman Allah:
{وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ}
“Janganlah kalian merasa hina dan rendah, kalian adalah tinggi jika kalian beriman.”
Dan firman Allah:
{أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ}
“Apakah ketika kalian ditimpa musibah yang sebelumnya telah menimpa kalian, kalian mengatakan: Bagaimana ini bisa terjadi? Katakan (hai Muhammad): Itu berasal dari diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali Imran : 165)
{وَاذْكُرُوْا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيْلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فيِ اْلأَرْضِ تَخَافُوْنَ أَنْْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ}
“Ingatlah ketika dulu kalian sedikit dan tertindas di bumi, kalian takut manusia menerkam kalian kemudian Allah memberikan tempat kepada kalian dan menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya serta memberi kalian rezeki berupa kebaikan-kebaikan agar kalian bersyukur.” (Q.S. Al-Anfal : 26)
Sesungguhnya menggantungkan jihad atau pertempuran dengan orang-orang tertentu hanya akan membuahkan kekalahan yang jelas. Kalau kekalahan itu bukan di medan pertempuran, secara moril kekalahan berupa rasa futur (patah arang) dari berjihad. Karena mereka sangka kemenangan hanya bisa diraih dengan keberadaan sang komandan idaman, sedang saat itu mereka kehilangannya.
Keliru kalau kaum muslimin menggantungkan urusan kepada orang atau tokoh tertentu. Sebab itu, jihad ini harus dibebaskan dari ikatan berupa tokoh-tokoh. Kita memang memerlukan ke-qiyadah-an untuk mempersatukan para mujahidin. Kita juga memerlukan qiyadah untuk menyusun langkah dan strategi. Tetapi, hilangnya qiyadah bukan berarti ikatan antar kaum muslimin dengan jihad harus lepas. Karena sebagaimana dulu, jihadlah yang melahirkan para komandan sekelas mereka. Dengan terus berlangsungnya jihad, kelak akan lahir juga komandan-komandan baru yang profesional.
Sejarah menjadi bukti tidak ada satu zaman pun berlalu setelah wafatnya Nabi kecuali di sana ada singa-singa yang membela agama ini. Sampai-sampai tidak mungkin orang bisa mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada singa-singa pembela agama. Para wanita muslimat tak pernah mandul untuk melahirkan orang-orang sekelas Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Miqdad, ‘Ikrimah, Shalahuddin dan Komandan Quthz (atau Qatazh). Umat ini ibarat hujan, tidak bisa ditebak di mana berkah kebaikannya berada. Apakah saat pertama kali turun atau ketika hujan mau berhenti.
Walaupun kaum muslimin kehilangan komandannya, mereka yang sudah tergembleng untuk tidak menggantungkan jihad dengan simbol tokoh akan semakin mantab berjalan di atas manhaj yang ia yakini. Sebab, mereka beribadah kepada Rabb yang mewajibkan jihad, bukan kepada komandan jihad. Komandan itu akan muncul di bumi pertempuran ketika ia sendiri menantang maut sebagaimana prajuritnya menantang maut. Bahkan komandanlah yang senantiasa mencari kesyahidan. Dia yang menunggu-nunggu hari dimana ia bertunangan dengan huurun ‘iin (bidadari nan bermata jeli). Dia yang menunggu saat-saat mulia untuk bisa melihat Allah Rabb semesta alam. Para komandan itu sangat merindukan hari itu. Ia selalu mencita-citakan dan berusaha meraihnya.
Jika para komandan itu berhasil meraih apa yang ia cita-citakan, maka tercapainya cita-cita mereka berarti kemenangan besar bagi mereka. Misalnya Mulla Muhammad Umar terbunuh, Syaikh Usamah terbunuh, Komandan Syamil Basayev terbunuh, Komandan Khattab terbunuh, atau komandan jihad di bumi manapun terbunuh -semoga Allah l tetap melindungi mereka semua-, atau yang dipenjara oleh thaghut semisal Abu Mushab as Shury, Syeikh Abu Abdullah al Muhajir, dan Syeikh KH. Abu Bakar Ba’asyir -semoga Allah menjaga mereka-. Adapun jihad tidak akan pernah terbengkalai, sebab Allah telah jamin keberlangsungannya hingga hari kiamat. Dan Allah menjanjikan kemenangan jika mereka memenuhi syarat-syarat terperolehnya kemenangan, baik para komandan itu bersama mereka atau terbunuh di jalan Allah.
Tidak selayaknya kita menggantungkan jihad dengan orang atau mengikat suatu peperangan dengan tokoh. Syaikh Sulaiman Abu Ghaits belum lama ini mengatakan: “Kalau Usamah terbunuh, seribu Usamah akan lahir memikul panji jihad sepeninggalnya.”
Syaikh Usamah sendiri mengatakan dalam salah satu tayangan wawancara. Beliau ditanya tentang kemungkinan hancurnya jaringan yang menghubungkan antara tanzim Alqaeda dengan mujahidin Afghan dan Arab jika beliau terbunuh. “Terbunuhnya saya, saya rasa itu adalah kesyahidan di jalan Allah. Inilah yang justru saya cita-citakan. Saya memohon kepada Allah agar berkenan menganugerahi saya kesyahidan”. Usamah tidak lain hanyalah satu dari umat Islam seluruhnya. Masih banyak perwira-perwira yang siap menjadi tumbal agama ini dengan menggadaikan nyawa dan apa saja yang ia miliki. Usamah bukan satu tokoh yang mewakili umat. Ia hanyalah pemikul manhaj yang oleh anggota umat Islam lainnya juga diyakini.
Semoga kita selalu di barisan thaifah manshurah yang mengambil dakwah dan jihad sebagai manhaj untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin. karena thaifah manshurah tidak pernah menyerah dengan tokohnya yang telah syahid atau yang masih di penjara.
Sumber : Shoutussalam