JAKARTA (Arrahmah.com) – Selasa, 30 November, Di Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat, ratusan tokoh agama dan tokoh masyarakat se-Jabodetabek dari berbagai organisasi kemasyarakatan, dikumpulkan untuk memenuhi undangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) guna membahas “proyek deradikalisasi” di Indonesia.
Bekerjasama dengan Kementerian Agama RI dan Lazuardi Biru, BNPT berupaya untuk terus merangkul tokoh-tokoh agama, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan (pesantren, madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi), serta media massa, dengan menyelenggarakan diskusi dan workshop deradikalisasi bertajuk “Peran Masyarakat dalam Penguatan Nilai-nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”.
Organisasi Sosial dan Keagamaan yang hadir, antara lain: MUI Pusat, MUI se-Jadebotabek, PBNU, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Muhammadiyah se-Jadebotabek, HMI, Lazuardi Biru, Wahid Institute, Ma’arif Institute, ICIP, ICMI, The Fatwa Center, Habibie Center, Pusat Studi Qur’an (PSQ), Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia (JPRMI), Pusat Pengkajian dan Masyarakat (PPIM), Imam Masjid se-Jadebotabek, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Lembaga Dakwah dan Taklim se-Jadebotabek.
Adapun dari pihak pemerintah diwakilkan oleh Sestama Badan Intelijen Negara, Sekjen Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Sekjen Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertahanan, Sekjen Wantanas, Sekjen Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Agama.
Dari kalangan akademis, BNPT juga mengundang beberapa perguruan tinggi, diantaranya: Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Alauddin Makassar, Universitas Triksakti, Universitas Pancasila, Universitas Nasional, Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an, Pondok Pesantren, dan Lembaga Pendidikan Islam lainnya.
Untuk membahas “proyek deradikalisasi”, BNPT menghadirkan sejumlah narasumber, seperti KH. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU), Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah), Amirsyah Tambunan (Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat), Nasarudin Umar (Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI), dan Dhyah Madya Ruth (aktivis Lazuardi Biru). Workshop dibuka secara resmi oleh Irjen Pol. (Purn) Ansyaad Mbai (Kepala BNPT), yang juga bertindak sebagai keynote speaker.
Ketua Panitia Pelaksana acara Drs Pranowo Dahlan saat ditemui menjelaskan, untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme, diperlukan suatu penanganan yang lebih komprehensif dan berkesinambungan dengan melibatkan masyarakat guna membendung berbagai aksi radikalisme dan terorisme. “Diharapkan ormas maupun organisasi keagamaan dapat memberikan ide-ide baru dalam implementasi program deradikalisasi, mengingat masih banyaknya peluang-peluang gerakan radikalisme maupun terorisme yang dapat muncul di Indonesia.
Dalam sambutannya, Kepala BNPT Ansyaad Mbai menegaskan, perlunya suatu langkah nyata dalam membendung aksi radikalisme di Indonesia. “Diperlukan penanganan yang tepat dengan melihat gejala-gejala di masyarakat yang dapat menumbuhkan benih radikalisme ini,” katanya.
Masing-masing narasumber diberi tugas BNPT untuk membahas deradikalisasi sesuai kompetensi dan disiplin ilmunya. Dirjen Bimas Kementerian Agama RI Nasarudin Umar, misalnya, memfokuskan penanganan dan beberapa kebijakan pemerintah dalam menangani berbagai aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia,
Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat memaparkan pentingnya peranan dunia pendidikan dalam membendung bibit-bibit baru radikalisme maupun terorisme, mengingat para pelaku terorisme mulai memfokuskan perekrutan anggota baru di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren maupun universitas.
Tokoh NU KH. Hasyim Muzadi menegaskan, peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam membantu pemerintah guna membendung aksi-aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia dengan cara menguatkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Sekretaris Pusat MUI Amirsyah Tambunan juga menjelaskan pentingnya lembaga MUI dalam mendampingi organisasi atau lembaga Islam yang mulai menjamur di Indonesia dalam menanggulangi terorisme di Indonesia. MUI punya peran penting dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan masyarakat Muslim khususnya yang dapat mencegah munculnya bibit radikalisme.
Dhyah Madya Ruth dari Lazuardi Biru menyampaikan pentingnya program dakwah yang komprehensif dan menyentuh langsung ke masyarakat. “Pendampingan bagi para takmir masjid dan pendakwah dapat dijadikan sebagai alternatif program. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah penerbitan bulletin lembar Jum’at dan buku khutbah Jum’at dengan tema-tema yang dapat menguatkan nilai-nilai karakter bangsa dan pemahaman akan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.”
Ba’da Zuhur, peserta diskusi dan workshop melanjutkan pembahasan secara lebih detil dengan membagi beberapa komisi. Diskusi dari berbagai tokoh agama dan masyarakat tersebut, dimaksudkan untuk menampung aspirasi dan ide pemikiran yang datang dari masyarakat luas, untuk kemudian diteruskan dalam bentuk usulan atau rekomendasi kepada pemerintah. Seterusnya, hasil pembahasan akan disosialisasikan melaui program-program yang menyentuh masyarakat umum secara langsung untuk lebih mamahami deradikalisasi yang telah dirumuskan oleh tokoh agama, masyarakat, dan kalangan akademis.
Ulama Harus Kritis
Yang menarik, salah seorang peserta workshop yang tak mau disebut namanya mengingatkan, para ulama yang diundang BNPT hendaknya bersikap kritis terhadap program deradikalisasi yang hendak dirumuskan. Jangan sampai, program deradikalisasi justru menggiring ulama untuk menjadi corong dan jurubi cara Densus 88.
Jika ada penanganan kasus teroris yang dirasa amat berlebihan dan penuh kejanggalan, ulama dan tokoh masyarakat juga harus peka, sekaligus mendakwahi pemerintah dalam menangani teroris. Jika tidak terbukti terlibat terorisme, ulama tentu harus melakukan pembelaan terhadap pihak yang tertuduh. Ulama sejogianya tidak dibrand-washing untuk menelan mentah-mentah proyek deradikalisasi. Jangan pula tergiur dengan proyek deradikalisasi yang pada akhirnya dapat merugikan umat Islam sendiri.
Ulama tetap harus mengatakan yang haq itu haq, dan yang batil itu batil. Jangan karena pesanan tertentu, ulama menjadi tidak kritis. Sehingga menyampaikan informasi yang salah, dan belum terbukti kebenarannya. Ulama bisa menjadi jembatan terhadap pihak yang memiliki pola pikir yang salah. Ulama tidak boleh didikte dengan kekuatan politik tertentu atas nama deradikalisasi. “Penanganan terorisme tidak boleh pake perasaan,” tandasnya.
Hasil rekomendasi dari workshop tersebut salahsatunya adalah menerbitkan bulletin lembar Jum’at dan buku khutbah Jum’at dengan tema-tema deradikalisasi dan penanggulangan teroris. Sepertinya, ulama dan ormas Islam “pesanan” mulai dan telah tergiur dengan proyek deradikalisasi. Boleh jadi, mereka menganggap, proyek ini sangat prospektif dan menjanjikan. Mubazir jika ditolak! Sangat memprihatinkan, jika ulama malah terwarnai, bukan mewarnai.
Berkumpulnya para ulama yang mendukung proyek deradikalisasi, merupakan legitimasi bagi BNPT, untuk bertindak lebih jauh tanpa menimbang asas praduga tak bersalah. Kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asyir umpamanya. Entah kenapa tak ada satupun ulama yang bersikap kritis dan membela Ustadz Abu yang jelas-jelas terzalimi. Inilah potret ulama “pesanan” yang cuma mencari aman saja, dan ingin kecipratan “proyek” basah itu.
(Ahmad Zidan/arrahmah.com)