Oleh: Ustadz Abu Jibriel
Perjalanan Dakwah dan Jihad adalah perjalanan hidup orang-orang mulia dan terpuji sepanjang sejarah. Itulah perjalanan para Nabi, Rasul Allah dan orang-orang Shalih. Satu perjalanan yang tidak menawarkan arama harum dari minyak kasturi, kilauan intan- mutiara dan emas berlian yang bercahaya, sebaliknya dipenuhi onak dan duri, batu dan kerikil, tanah pejal mendaki dan berkelok. Hampir tidak ada yang ingin mengikuti dan menempuhnya kecuali hamba-hamba-Nya yang diberi Rahmat dan Barakah. Teror dan berbagai ancaman ditimpakan kepada para Rasul Allah Swt, para Sahabat-sahabat dan Orang-orang Shalih dari para Ulama’ dan Para Mujahid sesudah para Sahabat, tidak ada yang terlepas dari kezaliman, siksaan, pembantaian dan pembunuhan. Perhatikanlah firman Allah Swt berikut:
1) Nabi Nuh As telah di ancam rajam.
“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti Hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan Termasuk orang-orang yang dirajam.” (QS As Syua’ara, 26:116)
2) Nabi Luth As diancam untuk diusir.
“Mereka menjawab: “Hai Luth, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu Termasuk orang-orang yang diusir.” (QS. As Syua’ara, 26:167)
3) Nabi Ibrahim As diancam untuk dibakar.
“Mereka berkata: “Bakarlah Dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.”(QS. Al Anbiya’, 21:68-69)
4) Nabi Yusuf As diancam untuk dipenjara.
“Wanita itu berkata: “Itulah Dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan Sesungguhnya aku telah menggoda Dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi Dia menolak. dan Sesungguhnya jika Dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya Dia akan dipenjarakan dan Dia akan Termasuk golongan orang-orang yang hina.” Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 21:32-33)
5) Nabi Musa As diancam penjara dan bunuh.
Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain Aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (QS. As Syua’ara, 26:29)
“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena Sesungguhnya aku khawatir Dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari Setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (QS. Al Mukmin, 40:26-27)
6) Para Nabi diancam untuk diusir dan dirajam.
“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri Kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu, dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (QS. Ibrahim, 14:13-14)
Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” (QS Yasin, 36:18)
7) Adapun Nabi Muhammad Saw dihina dan dikatakan sebagai seorang penyair gila.
“Dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?.” (QS. As Shaffat 37:36)
Dan beliau diancam untuk; ditangkap, dipenjara, diusir dan dibunuh,
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfal, 8:30)
Dan pernah juga Rasulullah Saw difitnah dalam keluarganya, isterinya yang sangat dicintainya Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq, Aisyah Ra yang terkenal dengan HADITUL IFIK (Berita Bohong). Dan hal ini merupakan suatu bentuk yang akan terus berulang pada setiap generasi, dimana sasaran utama dari tuduhan itu sebenarnya diarahkan kepada pemimpin dengan tujuan hendak menghancurkan kepercayaan para pendukung beliau terhadap kepemimpinan tersebut.
Itulah tradisi yang selalu berulang disepanjang sejarah, bila kekuatan fisik tidak mampu membunuh karakter pimpinan, maka di hadapan musuh tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuhnya selain perang psikologis terhadap kepemimpinan tersebut, dengan cara menghancurkannya lewat perang seperti ini. Karena itu, di sini ditampilkan kisah keteladanan ini (HADITUL IFIK) supaya para Da’i dan Mujahid serta para pendukungnya tidak mudah lemah dalam menghadapi segala ujian dan fitnah yang menimpanya, karena musuh selalu menggunakan isu seperti ini, sebagai perang isu yang disebarluaskan oleh musuh dikalangan barisan Islam untuk menghancurkan pimpinan.
Yang terpenting diingat dalam peristiwa ini adalah bahwa berita bohong itu sebagaimana yang telah jelas bersumber dari kaum munafik di bawah bendera pimpinan mereka, Abdullah bin ubay bin Salul. Ketika berita bohong itu masih beredar di kalangan orang-orang munafik, memang tidak ada bahaya apa pun yang bisa mereka timbulkan. Akan tetapi, ketika berita itu sudah masuk ke dalam lingkungan kaum Muslimin, dengan segera berita itu menyebar bagai api membakar jerami. Barulah saat itu tampak betapa besar bahaya keberadaan kaum munafik di tengah umat Islam.
Nash Al Qur’an sendiri, ketika menceritakan peristiwa ini, ternyata lebih banyak mengarahkan tegurannya terhadap kaum Muslimin daripada kepada kaum munafik. Agaknya Al-Qur’an hendak memberi pendidikan terhadap kaum Mukminin yang benar-benar beriman, tapi masih dapat dipengaruhi oleh berita bohong ini dan masih mau menerima pembicaraan orang yang menyangka-nyangka tanpa bukti.
Adapun pelajaran-pelajaran terpenting yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan berita bohong ini, ialah sebagai berikut.
Pertama, menghindari tuduhan yang masih bersifat prasangka adalah kewajiban pokok yang wajib ditunaikan kaum muslimin. Mereka -terutama para pemimpin- juga harus menyadari bahwa prasangka seperti itu menjadi pusat perhatian lawan maupun kawan. Karena itu, sedapat mungkin agar dapat menghindari tempat-tempat dan hal apa pun yang bisa menimbulkan prasangka buruk.
Kedua, jangan menerima isu begitu saja, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al Qur’anul Karim,
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur, 24:13)
Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap Muslim. Hendaklah pula dia menyadari bahwa menceritakan isu kepada orang lain dan menularkan berita yang tidak diperkuat dengan bukti akan mengubah statusnya menjadi pendusta. Ini adalah ketetapan Al Qur’an terhadap manusia-manusia semacam itu mereka adalah pendusta di sisi Allah, sekalipun orang itu sebenarnya bukanlah yang mengada-ngada berita tersebut dan sekalipun dia sekedar menukilkan dengan sejujurnya apa yang sebenarnya dia dengar dari seseorang, namun dia di sisi Allah tetap tergolong para pendusta.
Ketiga, untuk menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu, bandingkanlah pribadi orang yang diisukan itu dengan diri anda sendiri. Dengan demikian, pastilah Anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri Anda sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al Qur’anul Karim, yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata,
”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”
“Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”
“Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”
“Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, (As Sirah An Nabawiyah, II/303).
Semoga saudaraku, yang masih juga menyebarluaskan isu mengenai temannya atau pemimpinnya, kiranya mau menghitung-hitung barang sedikit, benarkah temannya atau pemimpinnya itu lebih jelek perhatiannya terhadap agama ketimbang dirinya dan benarkah keduanya lebih rapuh kepatuhannya kepada agama dan lebih rendah budinya ketimbang dirinya? Andaikan menimbang diri seperti itu dia lakukan pastilah prasangka buruk itu akan musnah dari pikirannya dan robohlah kabar bohong itu sampai ke akar-akarnya.
Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan dalam menyelesaikan soal tersebarnya kabar bohong.
Di sini, ada dua contoh yang saling berlawanan berkenaan dengan berita bohong tersebut di atas. Yang satu lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sedangkan yang lain tidak. Dua contoh itu ditampilkan oleh dua wanita Muslimat bersaudara kandung. Yang pertama ialah Zainab binti Jahsy Ra, salah seorang istri Rasulullah Saw dan yang kedua ialah Hamnah binti Jahsy Ra.
Al Muqrizi telah meriwayatkan dari Zainab tentang dialog yang dilakukannya dengan Rasulullah Saw, di mana istri yang baik budi itu mengatakan kepada suaminya, “Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku memang benar-benar mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al Muqrizi, Imta’ul Asma’ 1/208).
Jika seorang ‘madu’ sedemikian hebatnya mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak ikut-ikut menyebarkan isu, itu menunjukkan betapa tinggi derajat keluhuran budi yang telah dicapai oleh wanita Muslimat ini. Kemudian menyatakan bahwa Zainab sama sekali tidak terlibat dalam menyebarkan berita bohong ini. Dalam suatu pembicaraan, Aisyah Ra. Bahkan pernah mengatakan, “Tidak seorang pun yang menyaingiku di sisi Rasulullah Saw selain Zainab binti jahsy.”
Dengan pernyataan ini, agaknya Aisyah menempatkan Zainab pada posisinya secara tepat dalam persaingannya dengan dirinya sebagai sesama istri Rasulullah Saw. Namun demikian, dia tidak berkeberatan untuk memuji madunya itu berkenaan dengan kasus berita bohong tersebut. Aisyah mengatakan, “Adapun Zainab benar-benar dipelihara Allah, berkat kepatuhannya kepada agamanya. Dia tidak berkata apa-apa.”
Lain halnya dengan sikap kedua yang ditunjukkan oleh Hammah, saudara perempuan kandung Zainab. Dia justru ikut menyebarluaskan berita bohong itu dari rumah ke rumah, seolah-olah tak ada halangan apa pun di depan matanya, meski semua itu sebenarnya dia lakukan demi membela posisi Zainab di sisi Rasulullah Saw. Sampai-sampai Aisyahsberkata, menanggapi perbuatan saudara madunya itu, “Adapun saudara perempuan Zainab, Hammah, dia menyebarkan berita bohong itu seluas-luasnya. Dia melawan aku demi saudaranya. Tapi gara-gara itu, dia celaka.”
Bagaimanapun, kita kagum sekali kepada Aisyah Ra. Karena ternyata dia mampu membedakan antara dua sikap yang berbeda dari kedua wanita bersaudara kandung itu dan sama sekali tidak menimpakan kepada Zainab kesalahan yang dilakukan saudaranya itu.
Kelima, beban terberat dalam mengahdapi haditsul-ifki adalah sikap yang mesti diambil oleh orang yang diisukan.
Adapun manhaj yang harus menjadi pegangan dalam hal ini ialah janganlah membalas berita bohong dengan berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang dusta dengan isu lain yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu menahan diri. Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar kehormatan orang lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai terbukti dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu.
Sekarang, baiklah kita perhatikan teladan yang baik yang telah dicontohkan oleh tiga contoh yang terlanggar kehormatannya dalam kasus haditsul ifki tersebut di atas.
Muhammad Rasulullah Saw, junjungan seluruh umat manusia, yang diwaktu itu beliau juga berstatus sebagai panglima, kepada Negara, dan pemegang kekuasaan. Dengan hanya satu isyarat saja dari beliau, sebenarnya dapat saja melayang nyawa siapa pun yang berani mempecundangi kehormatan beliau. Namun demikian, dalam mengahdapi masalah ini -setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka- beliau hanya berpidato di hadapan kaum muslimin di atas mimbar seraya berpesan, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, “Hai sekalian manusia, mengapa ada orang-orang yang menyakitiku mengenai keluargaku dan mengatakan yang tidak benar mengenai mereka. Demi Allah, aku lihat keluargaku baik-baik saja. Orang-orang itupun mengatakan pula hal yang serupa terhadap seorang lelaki, yang demi Allah, aku lihat dia pun baik-baik saja dan dia tak pernah masuk ke salah satu rumah di antara rumah-rumah (keluarga)ku kecuali bersamaku.”
Begitu pula terjadi suatu krisis hubungan antara dua kelompok, Aus dan Khajraj, berkenaan dengan berita bohong ini, Rasulullah Saw tak lebih hanya menjadi penengah, sekalipun salah satu pihak menyatakan pembelaannya terhadap orang-orang yang terlibat dalam mencaci maki Aisyah s. Sedang yang lain menyerangnya dengan berbagai tuduhan. Walaupun demikian, beliau hanya meredakan emosi masing-masing dan tidak berpihak kepada siapapun karena beliau tidak memiliki bukti-bukti untuk membantah pihak yang menuduh. Walaupun ketika Shafwan Ra. Melampiasakan kekesalannya yang amat sangat dalam membela dirinya, lalu dipukulnya Hasan bin Tsabit atas tuduhannya, Rasulullah Saw tetap tidak mendorongnya atau pun memberinya semangat untuk meneruskan tindakannya itu selagi belum ada bukti, padahal beliau tengah berupaya membersihkan segala tuduhan atas diri orang yang paling ia cintai, Aisyah ra.
Pada waktu itu, Hassan maupun Shafwan telah hadir di hadapan Rasulullah Saw. Marilah kita perhatikan pengadilan yang tenang itu terhadap dua orang prajurit yang telah bertindak melampaui batas.
Shafwan Ibnul Mu’athal berkata, “Ya Rasul Allah, dia telah menyakiti hatiku dan mengejekku, lalu aku marah sampai aku memukulnya.”
Bersabdalah Rasulullah Saw kepada Hassan, “Bersikap baiklah kamu hai Hassan, Tegakah kamu menjelek-jelekkan kaumku, padahal Allah telah menunjuki mereka kepada Islam?” Beliau lalu menasehatinya pula seraya bersabda, “Berbuat baiklah kamu, hai Hassan, mengenai pukulan yang telah menimpa dirimu.”
Hassan pun menerima nasihat beliau, lalu dia serahkan diyat (denda) atas pukulan itu kepada beliau, seraya berkata, “Diyat-nya untukmu wahai Rasul Allah.”
Menurut riwayat Ibnu Ishak, “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa Rasulullah Saw kemudian memberi Hassan sebidang tanah sebagai pengganti dari diyatnya itu dan ditambahnya pula dengan seorang budak wanita mesir bernama Sirin. Wanita itu dikemudian hari melahirkan untuknya seorang anak bernama Abdurrahman bin Hassan.” (Ibnu Hisyam, II/305-306)
Demikian pukulan yang di lakukan Shafwan terhadap Hassan telah dibayar dengan sebidang tanah dan seorang budak wanita. Rasulullah-lah yang membayarnya kepada Hassan bin Tsabit, setelah dia menyatakan memberi maaf kepada Shafwan Ibnu Mu’aththal, padahal orang yang diberi itu tadinya telah mengubah sya’ir yang berisi tuduhan terhadap istri beliau sendiri dan dengan sya’irnya itu ia pergi ke mana-mana menyebarluaskan isu itu tanpa henti.
Abu Bakar Ra dan istrinya, Ummu Ruman. Mereka berdua telah mendapat cobaan luar biasa yang tak pernah menimpa seorang Muslim lainnya. Walau demikian, yang dikatakan oleh ibu yang penyabar itu, yang telah dipecundangi kehormatannya, dikecam dan dihina, tak lebih dari, “Anakku, tenangkan dirimu. Demi Allah, seorang wanita cantik menjadi istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan madunya pun banyak, jarang sekali yang luput dari omongan-omongan yang di lontarkan oleh madu-madunya maupun oleh orang lain.”
Adapun Abu Bakar Ra tak bisa berbicara apa-apa selain, “Saya tak pernah melihat satupun keluarga di kalangan bangsa Arab yang mengalami cobaan seperti yang dialami keluarga Abu bakar. Demi Allah, omongan-omongan ini tak pernah di ucapkan orang terhadap kami di zaman Jahiliyah, di kala kami tidak menyembah Allah. Tetapi, di masa Islam, justru kami mengalaminya!”
Aisyah, yang tak henti-hentinya menangis sehingga dia yakin tangis itu akan menghentikan detak jantungnya. Ketika dia berhadapan dengan Rasulullah Saw dan beliaupun menanyakan kepadanya mengenai berita itu, dan dia hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku, demi Allah, telah tahu betul bahwa tuan-tuan telah mendengar berita ini, lalu hati tuan tuan-tuan termakan olehnya lalu mempercayainya. Jadi, kalaupun aku katakan kepada tuan-tuan bahwa aku tidak bersalah, tuan-tuan takkan mempercayaiku. Kalau pun aku mengakui kepada tuan-tuan tentang sesuatu, yang Allah pasti tahu aku bersih darinya, barulah tuan-tuan akan mempercayaiku. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak mendapatkan suatu teladan untuk diriku selain ayah nabi Yusuf ketika dia berkata, “….maka kesabaran baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu sekalian ceritakan. (QS. Yusuf : 18).
Sungguh, itulah sikap yang tiada taranya dalam sejarah dari sebuah keluarga paling suci di muka bumi ini. Mereka dipecundangi kehormatan dan kemuliaanya, namun tidak seorang pun dari mereka yang keluar batas dan tidak terlontar sepatah kata pun dari mereka yang meninggung perasaan orang lain, bahkan masing-masing tetap mampu mengendalikan urat sarafnya.
Adapun yang keluar batas hanyalah Shafwan Ibnu Mu’aththal Ra. Saking kesalnya, dia pukul Hassan dengan pedangnya dan hampir saja ketelanjurannya mengakibatkan perisyiwa besar seandainya tidak segera dilerai oleh Rasulullah Saw.
Demikianlah adab Islam yang luhur terhadap orang-orang yang menyebarluaskan isu yang keliru dan berita bohong.
Keenam, sikap terakhir yang dapat kita simpulkan dari peristiwa haditsul-ifki ialah menghukum orang-orang yang terpedaya yang terlibat dalam menyebarkan fitnah. Dengan demikian, berarti tidak cukup dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak bersalah dan tidak cukup dengan sekadar sang pemimpin menolak segala perkataan buruk yang dilontarkan kepada pihak yang terkena fitnah, lalu habis perkara. Harus ada hukuman tegas yang dilaksanakan di tengah masyarakat muslim terhadap siapa pun yang menyebarkan isu, setelah dilakukan pemeriksaan secermat-cermatnya.
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang, gerakan Islam malah membiarkan begitu saja si penyebar isu dan berita bohong. Karenanya, masyarakat tak habis-habisnya digoncang oleh berbagai macam fitnah.
Sebagai contoh, cukuplah kita sampaikan bahwa hukum Islam terhadap tiga tokoh penyebar berita bohong tersebut, Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hammah binti Jahsy, ialah dijatuhkannya hukuman had al-qadzaf kepada mereka, yakni didera delapan puluh kali, sekalipun ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa jenis hukuman ini baru diterapkan sesudah itu. Jadi, tidak dilaksanakan terhadap ketiga orang itu. Hal ini karena mereka melakukan tuduhan sebelum turunnya ayat mengenai hukuman-hukuman had.
Peristiwa seperti ini justru terjadi pada periode da’wah ini karena sejarah da’wah sebelumnya memang tak pernah menyaksikan terjadinya peristiwa yang serupa di kalangan masyarakat Islam sendiri. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa terjadinya isu biasanya pada saat lemahnya bangunan internal dan pada saat ada kesiapan untuk menerima isu. Sebaliknya, di kala umat sibuk dengan perjuangan dan peperangan menghadapi musuh, jarang sekali isu dapat memengaruhi jiwa mereka.
Dari pelajaran diatas cukuplah bagi kaum Muslimin dan Muslimah yang baru bergabung dalam perjuangan ini menjadikannya sebagai teladan hidup yang paling berharga.Semoga keberkatan untuk kita.
Wallahu’alam…
Oleh: Ustadz Abu Jibriel
Source: http://www.abujibriel.com