JAKARTA (Arrahmah.com) –Terkait upaya legislasi “RUU Tindak Pidana Pendanaan Teroris” yang tengah digodok oleh Pansus DPR RI. Menurut Direktur The Community of Ideological Islamic Analisyst (CIIA), Harits Abu Ulya, ada beberapa catatan kritis dari hasil kajian yang dilakukan terhadap draft RUU tersebut.
Pertama, sejatinya RUU ini komplement atau pelengkap dari Undang Undang yang ada terkait pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme (UU no 15/2003). Dan ini satu paket dengan 4 Undang Undang lainya, yaitu; Undang Undang intelijen yang sudah disahkan, Undang Undang Teroris yang dalam proses revisi, RUU Kamnas, dan Undang Undang Ormas yang juga mau direvisi.
“Dan kemudian secara khusus diarahkan kepada kontra-terorisme dalam ragam Undang Undang tersebut. Serta diharapkan bisa mengabsorsi substansi penindakan terorisme yang lebih efektif,”Kata Harits kepada arrahmah.com, Jum’at (21/12) Jakarta.
Dasar pijakan pembuatan Undang-Undang tersebut berada pada 8 point yaitu; Kelemahan intelijen (dan solusinya ini sudah dirumuskan dalam Undang Undang Intelijen), Masa penangkapan dan penahanan yang terlalu singkat (dan ini perlu diperpanjang di UU yang baru), Perbuatan awal yang mengarah kepada aksi teror yang belum dapat ditindak (dan ini mengarah kepada kriminalisasi pemikiran/pendapat/ konsep), Ancaman hukuman terhadap teroris terlalu ringan (dalam UU revisi akan diperberat), Perlu ada pengadilan khusus tipiter (tindak pidana teroris) dan terpusat, Pelibatan TNI berdasarkan UU TNI No 34/2004 dan UU Polri No2/2002.7 , Deradikalisasi dengan melibatkan instansi terkait seperti depag dll, Memutus aliran dana atau pendanaan.
“Dalam RUU yang lagi ditangani pansus dan masuk tahapan dengar pendapat, mereka mengharapkan bisa mempersempit ruang gerak teroris dengan memutus semua akses pendanaan yang memungkinan,” ungkap Harits
Kedua, lanjut Harits, dalam kajian atas draft RUU ini pemerintah hendak memberangus individu atau korporasi atau juga kelompok yang di cap teroris. Dan “nafsu” ini berdiri diatas paradigma yang salah kaprah sejak awal serta bahkan sangat terkesan ini adalah langkah penyelarasan atas proyek global Barat yang bernama WOT(war on terroism) yang sangat pejoratif tendensius menjadikan umat Islam sebagai musuh dan bidikan.
Ketiga, dalam RUU ini memuat pasal karet, karena banyak frase “patut diduga”. Dan seseorang/korporasi/lembaga bisa dikenai UU ini hanya karena alasan patut diduga mendanai aksi teror baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Dan yang keempat, bahkan dalam pasal 9 ayat 4 begitu rentannya disalahgunakan oleh lembaga keuangan (lebih dari 18 jenis) untuk memfitnah seseorang atau korporasi atau juga lembaga dengan alasan “patut diduga” kemudian melaporkan ke PPATK dengan delik tindak pidana terorisme.
“Ini cara-cara jahat, melibatkan banyak pihak dengan parameter yang kabur,”lontarnya.
Kelima, menurutnya terkesan pula pemerintah seperti “perampok” atas aset korporasi jika mereka tertuduh terlibat dalam pendanaan aksi teror secara langsung ataupun tidak, dapat dilihat pada pasal 6 ayat 5d dan e.
“Dalam kejahatan besar saja korupsi tidak diterapkan pasal ini, padahal korupsi juga melibatkan persekongkolan banyak orang dengan sebuah perusahaan atau departemen,” ungkapnya.
Keenam, Harits menjelaskan, jika dicermati pada pasal 1 ayat 7b juncto pasal 22 ayat 1b.menunjukkan Indonesia mengacu kepada guiden (arahan) asing untuk menentukan apakah individu/kellompok/korporasi masuk kategori teroris atau tidak.
“Dan ini bukti Indonesia tidak independen dalam isu terorisme tetapi mengekor kepada kepentingan asing,”tegasnya
Dan terakhir, lebih parah lagi menurutnya, semua substansi RUU ini berdiri diatas definisi “teroris” yang kabur dan sangat politis.Sampai hari ini kelompok Islam yang mengusung Islam sebagai ideologi menjadi sasaran dengan berbagai rekayasa dan kriminalisasi atas nama drama terorisme. Dan ini adalah kepentingan Barat yang diaminkan pemerintah Indonesia yang sekuler.
Di samping penjelasan Menkeu Agus Marto lebih mempertegas (secara implisit) bahwa RUU ini dibuat untuk mengikuti kepentingan asing sekalipun alasanya untuk meningkatkan bargaining ekonomi Indonesia dipentas dunia.
“Indonesia terlalu jauh masuk dalam kubangan perang melawan teroris versi Barat yang dikomandani AS,” tutur Harits
Ia pun menghimbau agar Umat Islam, para ulama dan tokohnya agar melek melihat keadaan yang terjadi. Wa bil khusus para cerdik pandainya. Karena menurutnya, hal ini merupakan kezaliman sistemik melalui regulasi sehingga harus dilawan. Bisa jadi muslim Indonesia yang sumbang Rakyat Palestina dan Suria misalkan, bisa kena Undang Undang ini hanya karena di sana ada Hamas dan Jabhah an Nusroh yang di cap oleh AS atau PBB sebagai teroris.
“Dan itu hanya berdasarkan pasal karet dengan frase “patut diduga” menyumbang untuk aksi teror baik langsung ataupun tidak langsung,”pungkas Harits. (bilal/arrahmah.com)