JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo ingin supaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan dan Pendanaan terorisme dipercepat, sehingga bisa segera menjadi UU pada Februari 2013.
Percepatan pengesahan RUU ini dinilai penting, karena hampir semua negara anggota G-20 memiliki aturan antisipasi pendanaan teroris, kecuali RI dan Turki. Apabila RI belum juga memiliki RUU Anti Pencegahan Pendanaan Terorism, maka lembaga internasional FATF (Financial Action Task Force), akan memberikan stempel sebagai negara dengan yurisdiksi tidak kooperatif (non cooperatif jurisdiction).
“(RUU) itu perlu kita selesaikan segera karena FATF, satu lembaga internasional yang juga diterima oleh G-20, akan mereview Indonesia di tahun 2013.Kita memerlukan UU itu untuk bisa menjawab bahwa Indonesia sudah punya UU untuk pencegahan anti teroris, pembiayaan teroris itu,” ujar Menkeu usai menghadiri rapat rencana privatisasi PT Semen Baturaja di Komisi XI DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (12/12).
Menurut Menkeu FATF akan menurunkan standar kelayakan bertransaksi keuangan dengan Indonesia apabila dalam reviewnya belum mendapati adanya aturan pencegahan pendanaan teroris. Namun dia menyatakan tidak ingin terjadi salah presepsi di masyarakat bahwa Indoensia bisa didikte lembaga asing.
“Mohon jangan ditangkap salah ya, saya nggak mau didikte orang. tapi kita harus tahu bahwa di negara G-20 itu semuanya sudah punya UU pencegahan dan penghindaran pembiayaan terrorisme. Kalau kita diturunkan jadi non cooperative jurisdiction itu kita akan disamakan dgn negara yang dianggap tidak layak utk bertransksi keuangan international,” jelas dia.
Dia berpendapat apabila terjadi penurunan peringkat transaksi itu, maka akan berpengaruh kepada kondisi ekonomi RI yang kinerjanya sedang baik. Selain itu peringkat utang RI yang telah masuk investment grade dari Fitch Rating dan Moody’s juga dinilai akan terpengaruh penilaian FATF yang memiliki batas waktu hingga 23 Februari 2013.
Oleh karenanya Menkeu berpendapat pemerintah dan DPR harus bekerjasama dan lebih cepat memberikan putusan pengesahan UU tersebut. Dia tidak ingin supaya terjadi penyesalan, yang akan berdampak buruk bagi keadaan ekonomi RI
“Ini kan (DPR) sudah mau reses. Kita pembahasan kan tinggal satu kali masa sidang. Ini bisa nggak kita selesaikan? Saya nggak bermaksud untuk harus. Tapi kita alokasikan wktu utk bs menyelesaikan ini supaya jangan nanti sudah di putuskan bahwa kita masuk dalam kategori itu batu kita ramai. Kita mencegah supaya ekonomi kita tidak bahaya gitu,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Pansus RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme DPR RI Adang Daradjatun memastikan bahwa dalam masa persidangan mendatang pembahasan RUU akan segera selesai dan menjadi UU.
Terlebih, pembahasan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini sudah diperpanjang hingga dua kali masa sidang.
“Sehingga pembahasan RUU pada masa sidang mendatang merupakan kesempatan yang terakhir. Karena sesuai UU MD3, pembahasan RUU di DPR hanya bisa dilakukan perpanjangan sebanyak tiga masa persidangan saja,” ujar Adang kepada jurnalparlemen.com, Kamis (13/12).
Adang mengatakan, sebenarnya pembahasan RUU ini tinggal menyisakan beberapa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Namun, karena masa persidangan saat ini relatif singkat dan pekan depan DPR sudah reses kembali, akhirnya pembahasan akan dilanjutkan dalam persidangan mendatang. “Akan kita lanjutkan Januari 2013 mendatang,” ujarnya.
Tidak jauh berbeda, Politisi PKS ini menegaskan, kehadiran UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini sangat penting sekali dalam mendapatkan kepercayaan negara-negara luar.
“Karena ini menyangkut kepercayaan dari dunia internasional juga bahwa kita nantinya setelah memiliki UU tersebut memiliki payung hukum yang jelas dalam pencegahaan aliran dana untuk kegiatan terorisme,” kata mantan wakapolri ini.
Konsekuensi penetapan UU
Jika UU ini disahkan, maka konsekuensinya lembaga-lembaga milik umat Islam yang kerap dituding melakukan terorisme atau yang dicurigai berbau radikal akan dipantau oleh sebuah lembaga pengawas seperti tertuang dalam Bab IV Pasal 10:
Lembaga Pengawas dan Pengatur berwenang melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap Pihak Pelapor dan badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan.
Begitu juga dengan ganjaran bagi mereka para donatur. Pihak berwenang tidak segan untuk memberikan sanksi berat hukuman penjara belasan tahun dan denda satu milyar seperti tertuang dalam BAB II Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Pasal 2:
Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (bilal/arrahmah.com)