JAKARTA (Arrahmah.com) – Rabu (24/11), Forum Kajian Sosial dan Kemasyarakatan (FKSK) bertajuk “Proyek Deradikalisasi Islam untuk Siapa?” digelar Forum Umat Islam (FUI) di Gedung Wisma Dharmala Sakti (Intiland Tower), Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Teryata, proyek deradikalisasi Islam hanya untuk menyusahkan umat Islam. Berikut laporannya.
Deradikalisasi Sama Dengan DeIslamisasi
Tak perlu diragukan lagi, bahwa kampanye deradikalisasi yang selama ini didengungkan adalah proyek yang ditawarkan AS dan sekutunya untuk menghancurkan umat Islam yang selama ini gigih ingin memperjuangkan tegaknya syariat Islam.
Demikian Diskusi Forum Kajian Sosial dan Kemasyarakatan (FKSK) bertajuk “Proyek Deradikalisasi Islam untuk Siapa?” yang digelar Forum Umat Islam (FUI) di Gedung Wisma Dharmala Sakti (Intiland Tower), Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut: Nasir Nasir Abbas (mantan anggota Jamaah Islamiyah), Permadi (mantan anggota DPR), dan KH. Muhammad Al Khaththath (Ketua Forum Umat Islam).
Menurut “mantan mujahid” Nasir Abbas, selama keyakinan boleh balas dendam atas tindakan AS menyerang Afghanistan dan Irak, dan terzaliminya umat Islam di Filipina, Palestina, maka aksi-aksi kekerasan atau terorisme tidak akan pernah berhenti. ” Pengakuan para pelaku bom di sejumlah tempat, dari bom Bali, JW Marriot, The Ritz Carlton dan sebagainya, adalah sebagai bentuk balas dendam, Keyakinan itu yang belum diluruskan hingga sekarang,” kata Nasir Abbas.
Untuk mencegah dan menanggulan terorisme, kata Nasir Abbas, tidak perlu menunggu proyek. “Sebagai Muslim, saya hanya ingin saling menasihati. Saya tidak mau pusing, soal apakah kasus teroris ada di belakang kekuatan politik tertentu atau tidak. Saya hanya ingin adik-adik kita tidak terlibat untuk membunuh orang dengan cara melakukan bom bunuh diri. Tugas saya saya menasihati mereka, terutama meluruskan pandangannya yang keliru soal jihad. Saya beri contoh Fadli Sudama yang berkali-kali melakukan aksi Fa’i dengan cara merampok beberapa bank, seperti Bank Lippo dan CIMB. Bagi mereka merampok orang kafir adalah halal. Ini pandangan salah.”
Nasir mengakui, ia sebetulnya tidak setuju menyebut kata radikal atau terorisme. Tapi menurutnya, kata radikal dan teroris adalah bahasa media dan selalu digunakan para peneliti. “Saya kira, penggunaan kata teroris itu sah-sah saja.. Saya tidak tahu, istilah apalagi yang dipakai,” ujarnya.
Deradikalisasi dalam pandangan Nasir Abbas, bisa dilakukan dengan mendatangi mereka, lalu mengajaknya berdiskusi, mencoba memahami masalah mereka, kenapa bisa terlibat, dan apa yang mereka inginkan. Dengan begitu, mereka bisa mengerti. Tugas kita adalah meluruskan mereka, agar tidak salah langkah. Ia tidak setuju deradikalisasi sebagai anonim deislamisasi. Deradikalisasi adalah usaha pemerintah untuk mengamankan Indonesia. Yang harus diluruskan, kata Nasir, adalah ideologi mereka yang keliru soal jihad. Jadi bukan Islamnya yang diluruskan.
“Pendekatan yang dilakukan adalah dengan soft of proach terhadap personal, pelaku, mantan napi, juga masyarakat, jangan sampai anak muda terekrut lagi untuk melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan. Mereka adalah saudara-saudara kita, adik-adik kita, teman kita. Karena itu, kita tidak boleh membenci mereka. Kita harus bangun dan bantu mereka agar kembali seperti warga yang lain.
Ketika ditanya kelompok Islam mana yang menurutnya radikal? “Ya kelomponya Noordin M Top,” tukas Nasir menjelaskan. Bukankah Densus 88 kerap melakukan salah tangkap, begitu juga hakim yang memvonis, terhadap mereka yang sesungguhnya tidak melakukan tindakan terorisme, seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Putri Munawaroh, dan Muhammad Jibril Abdul Rahman?
“Itu merupakan upaya pemerintah Indonesia, khususnya polisi untuk menjaga stabilitas keamanan di negeri ini. Setidaknya untuk meredam dan mencegah aksi terorisme. Karenanya perlu ada pencerahan, perlunya sikap toleran terhadap sesama,” jelas Nasir yang sepakat jika Densus 88 terus melakukan evaluasi dalam penanganan kasus terorisme. “Evaluasi itu tak boleh terhenti.”
Deradikalisasi=DeIslamisasi
Baik Permadi maupun Nasir Abbas tidak setuju, jika deradikalisasi identik dengan deIslamisasi. Namun, Permadi menegaskan, deradikalisasi adalah bentuk penjinakan terhadap kelompok Islam tertentu untuk tidak melakukan sesuatu yang dianggapnya radikal dan fanatik. Kasus terorisme merupakan masalah politik, ini bukan soal balas dendam, tapi ada kekuatan politik tertentu yang ingin Indonesia kacau balau terus menerus. “Kekuatan politik itu kemudian dikemas atas nama teroris, yang sesunguhnya membawa pesan, seolah ini adalah perbuatan umat Islam.
Kasus teroris, lanjut Permadi, merupakan rekayasa politik. Intelijen berada di balik ini semua. Kenapa umat Islam selalu yang tertuduh? “Itu wajar, karena umat Islam merupakan mayoritas. Orang tidak percaya ketika minoritas melakukan tindakan terorisme. Apalagi jika umat Islam tidak kompak untuk membela diri atas tuduhan cap terorisme. Akibatnya Islam akan terus menjadi stigma,” kata Permadi.
Sebetulnya Pemerintahan SBY, lanjut Permadi, dalam keadaan panik dan ketakutan. SBY sekarang senang membentuk tim, senang menghabiskan anggaran negara, ujung-ujungnya agar APBN dicairkan. “Saya kira kasus terorisme adalah bagian dari operasi intelijen. Terorisme adalah proyek untuk mendapatkan uang recehan.”
Sementara itu Ketua FUI KH. Muhammad Al Khaththath mengatakan, persoalan teroris sesungguhnya adalah proyek AS. Ia menyesalkan seorang peneliti AS yang menggiring opini, bahwa mereka yang pernah berjihad di Afghanistan layak mendapat stigmatisasi teroris. “Ada grand design terhadap mereka yang jihad ke Afghan,” katanya.
Seperti diketahui, dulu, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yeuw, sering menyebut bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Ternyata statemen itu terbantahkan, bahwa Indonesia bukan sarang teroris. Bahkan, teroris sudah menjadi “industri” alias proyek sejak Megawati sebagai presiden. Kemudian, Kementrian Polkam Menteri Keamanan dalam Negeri AS pernah mendesak pemberantasan teroris di Indonesia, yakni dengan menangkap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Jelas ini desain AS dengan menjadikan Densus 88 sebagai kepanjangan tangannya. Bahkan di Mabes Polri, sebelum bom Bali, sejumlah ulama sempat dikumpulkan dan mendapat arahan dari Kapolri. Tak lama kemudian Bom Bali terjadi.
Menurut Al Khaththath, deradikalisasi adalah sebuah upaya pendangkalan pemikiran dari memperjuangkan penegakan syariat Islam menjadi pejuang pluralisme dan mulkulturalisme. “Mendirikan negara Islam itu bukan kriminal. Tapi saya setuju jangan ngebom sembarangan. Saya dengar, proyek deradikalisasi dibiayai APBN. Termasuk Depag dan Diknas sudah bagian dari Densus untuk membuat kurikulum tentang deradikalisasi. Targetnya radikalisasi harus dibabat habis hingga akar-akarnya. Yang terjadi sekarang adalah, negara kita hanya berani menakut-nakuti rakyat, dan tidak tidak berani menakut-nakuki AS. Karena memang, AS sudah menjadi tuan dan imamnya pemerintah Indonesia,” ungkap Al Khaththath yang pernah dicap sebagai sosok radikal yang baik.
(Adhes Satria/arrahmah.com)