(Arrahmah.com)– Seorang ulama besar hadits dan fiqih madzhab Hanafi, imam Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa Al-Hanafi atau lebih popular dengan nama panggilan al-hafizh Badruddin Al-‘Aini (wafat tahun 855 H) menyebutkan sebuah hadits yang sungguh-sungguh membuat jantung kita hampir copot.
Beliau mengutip dari al-hafizh Abu Musa Al-Madini dalam kitabnya, At-Targhib wa At-Tarhib, sebuah hadits yang sangat mencengangkan. Hadits tersebut adalah hadits dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salam bersabda:
إِنِّي رَأَيْتُ اْلبَارِحَةَ عَجَبًا، رَأَيْتُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي أَتَاهُ مَلَكُ الْمَوْتِ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَجَاءَهُ بِرُّ وَالِدِهِ فَرَدَّ مَلَكَ الْمَوْتِ عَنْهُ
“Sesungguhnya tadi malam aku bermimpi dengan sebuah mimpi yang mengherankan. Dalam mimpiku, aku melihat seorang laki-laki dari umatku didatangi oleh malaikat maut ‘alaihis salam untuk mencabut nyawanya. Tiba-tiba datanglah amalan berbakti kepada ayahnya lalu menolak malaikat maut dari orang tersebut.” Al-hafizh Abu Musa Al-Madini mengatakan, “Hadits ini sangat hasan.” (Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/181)
Subhanallah, masya Allah, Allahu akbar…
Sedemikian dahsyatkah amalan berbakti kepada kedua orang tua sehingga sampai mampu menolak datangnya kematian, jika hadits di atas benar-benar hasan dan bisa dijadikan hujjah?
Barangkali akan sangat sulit bagi kita untuk memahami makna hadits di atas. Terlebih ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas telah menyatakan bahwa kematian adalah ketetapan Allah Ta’ala yang telah pasti. Jika kematian telah datang niscaya ia tidak bisa diundurkan ataupun diajukan, walau hanya sedetik saja. Kematian adalah makhluk yang sangat on time.
Jika kita membaca hadits-hadits shahih lainnya yang jumlahnya sangat banyak dan satu sama lain saling menguatkan, kemudian kita kaji penjelasan para ulama Islam terhadap hadits-hadits tersebut, barangkali keterkejutan kita terhadap hadits Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu di atas akan sirna. Setidaknya, sedikit banyak akan berkurang.
Dari sekian banyak hadits shahih yang satu sama lainnya saling menguatkan tersebut, mari kita ambil contoh dua hadits saja, semoga bisa membantu kita dalam memahami maksud dari hadits Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Hadits pertama
Dari Abu Hurairah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barangsiapa senang apabila dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali kekerabatannya!” (HR. Bukhari no. 5985)
Hadits kedua
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa salam telah bersabda:
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barangsiapa senang apabila dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali kekerabatannya!” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Arti kata-kata sulit:
An Yubsatha: Diluaskan atau dilapangkan.
An Yunsa-a: Diakhirkan atau ditunda.
Atsarihi: Makna asalnya secara bahasa adalah bekasnya atau jejaknya. Adapun dalam hadits di atas maksudnya adalah ajal atau umurnya. Ajal seseorang disebut atsar atau bekas dan jejaknya, karena ia mengikuti umur seseorang.
Penjelasan makna hadits
Kedua hadits shahih di atas menjelaskan bahwa rizki seseorang bisa ditambah dan kematian seseorang bisa ditunda jika ia menyambung tali silaturahmi.
Sebagaimana telah diketahui bersama, rizki dan usia seseorang telah ditentukan oleh Allah. Secara khusus, Allah berfirman tentang usia dan kematian hamba-Nya,
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka jika kematian mereka telah tiba niscaya mereka tidak bisa menundanya walau sesaat dan tidak pula mereka bisa menyegerakannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 34)
Lahiriah hadits-hadits tentang “penambahan usia” atau “penundaan kematian” di atas bertentangan dengan lahiriah ayat di atas. Sebenarnya antara ayat tersebut dan hadits-hadits di atas tidak ada perbedaan. Sebab, makna dari semua dalil tersebut masih bisa dipadukan.
Para ulama mencoba untuk memberikan beberapa penjelasan yang memudahkan kita untuk memahami maksud dari “ditunda kematiannya” atau “ditambahkan umurnya” dalam kedua hadits di atas.
Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Badruddin Al-‘Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari dan al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari menjelaskan bahwa kedua hadits di atas memiliki dua kemungkinan makna yang paling kuat, yaitu makna hakekat dan makna kiasan.
Makna pertama: Makna kiasan dan aspek kwalitas
Tambahan umur dalam kedua hadits ini merupakan bahasa kiasan untuk tercapainya keberkahan pada umur, karena ia mendapat taufiq dari Allah untuk melaksanakan ketaatan, mengisi waktunya dengan hal-hal yang membawa manfaat di akhirat dan menjaga dirinya dari menyia-nyiakan waktunya dengan hal-hal yang tidak membawa manfaat di akhirat.
Di antara contoh pengertian ini adalah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam merasa umur umat beliau terlalu pendek bila dibandingkan dengan umur umat-umat terdahulu. Maka Allah mengaruniakan kepada beliau malam lailatul qadar.
Dalam lailatul qadar, seorang hamba beramal shalih dalam satu malam namun mendapatkan pahala yang lebih baik dan lebih banyak dari amalan selama seribu bulan (83 tahun 4 bulan) yang tidak ada lailatul qadarnya. Itulah pengertian umurnya dipanjangkan, yaitu seakan-aan dipanjangkan selama 83 tahun lebih. Satu malam nilai keberkahannya bahkan melebihi keberkahan umur selama 83 tahun lebih.
Intinya, menyambung tali kekerabatan menjadi sebab mendapat taufik untuk melaksanakan amal-amal ketaatan dan melindungi diri dari perbuatan-perbuatan maksiat. Dengan demikian saat ia meninggal, ia meninggalkan nama yang harum dan pujian yang baik. Pada saat itulah ia seakan-akan belum mati, meskipun jasadnya sudah mati. Ia seakan-akan belum mati karena masyarakat masih senantiasa mengenang keshalihan amalnya dan kemuliaan akhlaknya.
Di antara bentuk taufik yang Allah karuniakan kepada seorang hamba sehingga seakan-akan menambah umurnya adalah tiga amal kebaikan yang disabdakan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia telah meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga amalan; sedekah yang terus mengalir, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak shalih yang mendoakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 1631, Tirmidzi no. 1376, Ahmad no. 8844 dan Ad-Darimi no. 559)
Makna kedua: Makna hakekat dan aspek kwantitas
Tambahan usia dalam hadits tersebut memiliki makna hakekat, yaitu terjadinya penambahan usia yang sebenarnya, bukan sekedar bahasa kiasan. Penambahan usia ini di sini adalah menurut pandangan malaikat yang mendapat tugas untuk mencatat usia makhluk. Adapun menurut ilmu Allah sebenarnya usia makhluk tersebut tidak mengalami penambahan sedikit pun.
Misalnya, Allah Ta’ala berfirman kepada malaikat pencatat usia manusia: “Umur si fulan adalah 100 tahun jika ia menyambung tali kekerabatannya, dan 60 tahun jika ia tidak menyambung tali kekerabatannya.” Sementara itu Allah dengan ilmu-Nya yang azali telah mengetahui apakah si fulan tersebut akan menyambung tali kekerabatannya ataukah ia akan memutusnya.
Jadi, menurut ilmu azali yang dimiliki oleh Allah Ta’ala, umur si fulan tersebut tidak bertambah dan tidak berkurang sedikit pun. Adapun menurut ilmu yang dimiliki oleh malaikat pencatat usia manusia, umur si fulan tersebut bisa bertambah atau berkurang.
Pengertian ini telah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 39)
lmu yang dimiliki oleh malaikat itulah yang bisa mengalami penghapusan atau penetapan sesuai kehendak Allah. Adapun ilmu dalam ummul kitab atau Lauh Mahfuzh adalah ilmu Allah yang tidak mengalami penghapusan sama sekali. Ia bersifat tetap dan berlaku sejak seluruh ala mini diciptakan oleh Allah sampai Allah mewarisinya kembali. (Syarh Shahih Muslim, 16/114, ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 22/91 dan Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 10/416)
Imam Ath-Thibi, Az-Zamakhsyari, qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani cenderung menguatkan kemungkinan makna yang pertama.
Makna ketiga
Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan kemungkinan makna ketiga dari kedua hadits di atas. Makna tersebut seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir dengan sanad yang lemah dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwasanya:
ذُكِرَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَصَلَ رَحِمَهُ أُنْسِيءَ لَهُ فِي أَجَلِهِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ زِيَادَةً فِي عُمُرِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ الْآيَةَ وَلَكِنَّ الرَّجُلَ تَكُونُ لَهُ الذُّرِّيَّةُ الصَّالِحَةُ يَدْعُونَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Disebutkan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bahwa barangsiapa menyambung tali kekerabatannya, niscaya akan dipanjangkan umurnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Maksudnya bukanlah tambahan pada umurnya, karena Allah telah berfirman: “Jika ajal mereka telah datang kepada mereka, maka mereka tidak bisa memundurkannya walau sesaat dan tidak pula mereka mampu menyegerakannya.”
Akan tetapi maksudnya adalah seseorang memiliki anak-anak keturunan yang shalih, yang mau mendoakan dirinya setelah ia meninggal.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, imam Ath-Thabarani juga meriwayatkan dari hadits Abu Musyajji’ah Al-Juhani bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُؤَخِّرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمُرِ ذُرِّيَّةٌ صَالِحَةٌ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menunda usia seorang pun jika kematian telah datang kepadanya. Akan tetapi yang dimaksud dari penambahan usia adalah anak keturunan yang shalih.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 10/416)
Makna keempat
Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa menurut imam Al-Furak, yang dimaksud dengan penambahan umur dalam hadits-hadits di atas adalah Allah Ta’ala akan menyingkirkan berbagai macam musibah yang mengancam pemahaman dan akal orang yang melakukan amal kebajikan (yaitu menyambung tali kekerabatan).
Sebagian ulama lainnya menyatakan berbagai macam musibah yang disingkirkan tersebut bersifat umum, tidak sebatas musibah yang mengancam pemahaman dan akal pikiran orang yang melakukan amal kebajikan. Selain itu, ia juga bermakna turunnya keberkahan atas rizkinya, ilmunya dan hal-hal lainnya. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 10/416)
Makna kelima dan makna–makna lainnya
Imam Ibnu Al-Jauzi Al-Hambali juga menyebutkan sedikitnya lima makna dari hadits-hadits di atas:
Pertama, yang dimaksud dengan penambahan umur adalah dilapangkannya rizki dan dikarunikannya kesehatan badan. Sebab (dalam tradisi bahasa Arab, pent), kekayaan (kecukupan harta) disebut kehidupan, sedangkan kemiskinan disebut kematian.
Kedua, usia seorang hamba —misalnya— ditetapkan oleh Allah 100 tahun dengan masa penyucian jiwa dan amal-amal kebaikan sampai usia 80 tahun. Jika ia telah mencapai usia 80 tahun, maka Allah menambahkan masa-masa beramal kebaikan sehingga ia masih hidup sampai 20 tahun berikutnya. Makna pertama dan kedua ini disebutkan oleh imam Ibnu Qutaibah.
Ketiga, penundaan kematian dan penambahan umur ini pada dasarnya telah selesai dicatat oleh Allah, namun Allah mengaitkan hal itu dengan adanya amalan menyambung tali kekerabatan. Seakan-akan Allah telah menetapkan bahwa usia fulan 50 tahun, lalu jika ia menyambung tali kekerabatannya niscaya ia akan berusia 60 tahun (mendapat tambahan usia 10 tahun, pent).
Keempat, penambahan usia ini berada dalam catatan yang tertulis (yang dicatat dan dibawa oleh malaikat), namun catatan tertuis tersebut tidak mesti sama dengan ilmu yang diketahui oleh Allah Ta’ala. Ilmu Allah tentang akhir dari usia seorang hamba tidak pernah berubah, namun apa yang dicatat oleh malaikatnya terkadang bisa dihapus dan terkadang dipertahankan sebagaimana adanya tanpa perubahan. Sebagaimana firman Allah:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 39)
Kelima, penambahan umur adalah dengan diberkahinya umur tersebut dan orangnya diberi taufik untuk mengerjakan amal-amal kebaikan dan mencapai hal-hal yang ia cita-citakan. Dengan demikian, meski usianya pendek namun ia bisa menggapai hal-hal yang baru bisa digapai oleh orang-orang yang usianya panjang.”
Imam Ibnul Jauzi Al-Hambali kemudian menulis:
“Menurut qadhi Iyadh, maksudnya adalah nama seseorang tetap disebut-sebut oleh lisan masyarakat dengan baik setelah ia meninggal, sehingga seakan-akan ia belum meninggal. Adapun imam Al-Hakim At-Tirmidzi menyebutkan bahwa maknanya adalah ia akan tinggal sebentar saja dalam alam kubur.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/181-182)
Pengertian dari menyambung tali kekerabatan
Apakah yang dimaksud dengan tali kekerabatan itu? Para ulama berbeda pendapat tentang hal itu:
1. Sebagian ulama menyatakan tali kekerabatan adalah setiap orang yang memiliki hubungan darah dan tidak boleh dinikahi.
2. Sebagian ulama lainnya menyatakan tali kekerabatan adalah setiap orang yang bisa menjadi ahli waris.
3. Sebagian ulama lainnya menyatakan tali kekerabatan adalah setiap kerabat, baik orang yang tidak bisa dinikahi maupun orang yang bisa dinikahi.
Adapun tentang pengertian dari menyambung tali kekerabatan, imam Badruddin Al-‘Aini berkata: “Menyambung tali kekerabatan adalah dengan melakukan amal-amal kebaikan kepada kaum kerabat. Terkadang dilakukan dengan memberikan bantuan harta, terkadang dengan melayani keperluannya, terkadang dengan mengunjunginya dan lain sebagainya.”
Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshibi menjelaskan: “Tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwasanya menyambung tali kekerabatan secara umum hukumnya wajib dan memutuskan tali kekerabatan adalah perbuatan dosa besar. Hadits-hadits menegaskan hal ini.
Namun, menyambung tali kekerabatan itu bertingkat-tingkat, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian lainnya. Tingkatan menyambung tali kekerabatan yang paling rendah adalah tidak mendiamkannya dan mengajaknya berbicara, walau sekedar mengucapkan salam kepadanya.
Menyambung tali kekerabatan itu berbeda-beda sesuai dengan kadar kemampuan dan kebutuhan. Ada sebagian menyambung tali kekerabatan yang hukumnya wajib dan ada pula sebagian menyambung tali kekerabatan yang hukumnya sunah.
Seandainya ia melakukan sebagian bentuk menyambung tali kekerabatan namun tidak sampai pada bentuk menyambung tali kekerabatan yang paling tinggi tingkatnya, maka ia tidak disebut orang yang memutus tali kekerabatan.”(‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/181)
Wallahu a’lam bish-shawab
(muslimahzone.com/arrahmah.com)