(Arrahmah.com) – Ribuan rakyat Mesir menggelar aksi sejuta umat (milyuniyah tathbiq asy-syari’ah) di Kairo pada Jumat (9/11/2012) menuntut penegakan syariat Islam menjadi dasar bagi undang-undang dalam konstitusi baru yang sedang dirancang untuk Mesir.
Partai Al-Nur sayap politik kelompok Salafi dan Partai Kebebasan dan Keadilan sayap politik kelompok Ikhwanul Muslimin yang menduduki kursi mayoritas dalam parlemen Mesir, mengatakan mereka tidak ambil bagian dalam aksi tersebut.
Saat ini, 100 anggota Majelis Konstituante telah menggodok rancangan konstitusi baru pasca-rezim Mubarak. Konstitusi baru untuk mengganti konstitusi 1971 yang ditunda oleh dewan militer selama mereka mengambil alih kekuasaan setelah “Mubarak” digulingkan Februari lalu.
Pasal kedua Konstitusi 1971 pada era rezim sekuler Jamal Abdun Nashir menegaskan “Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi negara dan prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan”. Konstitusi 1971 tetap dipertahankan oleh Dewan Militer saat menetapkan Konstitusi Sementara pada 30 Maret 2011, paska revolusi 25 Januari yang menumbangkan rezim Husni Laa Mubarak.
Pokok persoalan adalah pernyataan berbunyi “prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan” dalam pasal kedua Konstitusi Mesir. Prinsip-prinsip syariat Islam bukanlah hukum-hukum Islam.
Prof Dr. Abdur Razzaq As-Sanhuri, adalah pakar hukum Mesir yang pertama kali merumuskan interpretasi konstitusi Mesir pada 1947. Ia merumuskan Undang-undang Sipil Mesir pada 1947 dan sampai saat ini Undang-undang Sipil Mesir tersebut tetap diberlakukan di Mesir. Interpretasi pakar hukum Mesir inilah yang sampai saat ini menjadi acuan penerapan produk-produk hukum di Mesir.
Prinsip-prinsip syariat Islam sebagaimana dirumuskan oleh Prof Dr. Abdur Razzaq As-Sanhuri adalah “prinsip-prinsip menyeluruh syariat Islam yang tidak menjadi ajang perbedaan pendapat para ulama fiqih”.
Menurut Prof Dr. Abdur Razzaq As-Sanhuri prinsip-prinsip syariat Islam ada lima perkara, yaitu prinsip “tidak boleh melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain”, “menolak kerusakan lebih didahulukan daripada meraih kemanfaatan”, “jika sebuah kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sebuah perkara, maka perkara tersebut menjadi wajib”, “hukum itu tergantung kepada ada dan tidak adanya faktor penyebab hukum” dan “kondisi darurat membolehkan dilakukannya beberapa larangan”.
Berdasar penjelasan tersebut, konstitusi Mesir dan semua produk hukum di Mesir mengklaim telah selaras dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Yang penting prinsip (Islam)nya, hukum (Islam)nya tidak perlu! Yang penting ruh (Islam)nya, jasad (Islam)nya tak perlu! Yang penting isinya, kulitnya tak perlu! Begitulah para “wakil rakyat”, pakar hukum dan pembuat undang-undang di Mesir merumuskan konstitusi dan produk hukum lainnya.
Salah satu prinsip Islam adalah menegakkan keadilan. Pencuri harus dihukum, perampok harus dihukum, pembunuh harus dihukum, agar keadilan tegak. Berdasar prinsip para “wakil rakyat” dan pakar hukum Mesir tadi, maka para pelaku kejahatan tersebut harus dihukum dan diadili. Adapun bentuk hukumannya seperti apa, maka konstitusi Mesir dan semua produk hukum turunannya tidak perlu menerapkan hukum-hukum dalam syariat Islam. Maka hukum pidana Mesir tak lain adalah “impor” dari undang-undang pidana penjajah Perancis.
Salah satu prinsip Islam dalah mengupayakan kemakmuran bagi rakyat. Perdagangan, pertanian, industri dan kegiatan ekonomi lainnya harus dijalankan. Itu sudah selaras dengan prinsip Islam. Adapun bentuk kegiatannya dan seluruh aturan yang terkait dengannya tak perlu mengacu kepada hukum-hukum Islam. Maka tak heran apabila sistem ekonomi kapitalis dijalankan di Mesir. Sistem perdagangan, penanaman modal asing dan kegiatan ekonomi lainnya bertumpu pada riba.
Dan begitulah seterusnya untuk semua bidang kehidupan lainnya. Teks pasal kedua konstitusi Mesir “prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan” memang sebuah pasal karet. Kalimat prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan menegaskan bahwa di samping prinsip-prinsip syariat Islam (ingat, bukan hukum-hukum syariat!), masih ada prinsip-prinsip lain dari luar Islam yang menjadi sumber perundang-undangan Mesir. Undang-undang penjajah Inggris dan undang-undang penjajah Perancis adalah sumber pokok lainnya, di samping tentu saja “tekanan” tuan besar AS dan Israel turut menjadi sumber pokok lainnya.
Maka kalimat “prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan” sejatinya adalah syirik dalam hukum dan perundang-undangan. Allah Ta’ala dijadikan sumber perundang-undangan, di samping manusia-manusia (penjajah kafir) yang juga dijadikan sumber perundang-undangan. Dan praktik penerapan konstitusi dan undang-undang di Mesir menunjukkan sumber Inggris, Perancis, AS, Israel dan lain-lain itulah yang mendominasi, bahkan menyingkirkan, sumber Allah Ta’ala.
Sebagai contoh kecil:
Satu, Undang-undang positif Mesir pasal 167, 268, 274,275, 276 dan 277 sangat berbeda dan bertolak belakang dengan hukum-hukum syariat Islam dalam mendefinsikan zina dan hukuman atas kejahatan zina.
Berdasar pasal-pasal tersebut, perbuatan zina tidak dianggap sebagai kejahatan kecuali apabila dilakukan oleh seorang istri di rumah suaminya dan tanpa kerelaan suaminya, atau dilakukan oleh seorang wanita sebagai sebuah profesi (PSK).
Kalaupun seorang wanita bekerja sebagai PSK, maka si hidung belang yang berzina dengannya tidak dianggap sebagai pelaku kejahatan, melainkan sekedar sebagai saksi atas perempuan PSK tersebut.
Hukuman atas seorang istri yang berzina menurut undang-undang Mesir adalah hukuman penjara dengan masa pidana maksimal dua tahun.
Prof. Dr. Mahmud Mahmud Musthafa dalam penjelasannya atas Undang-undang Pidana menyatakan, “Pembuat Undang-undang Mesir telah menjiplak hukum-hukum pidana perzinaan dari Undang-undang Perancis pasal 237 dan 239.”
Prof. Dr. Mahmud Mahmud Musthafa menambahkan, “Pasal 247 Undang-undang Pidana Mesir menyebutkan bahwa seorang wanita yang telah bersuami dan terbukti berzina dijatuhi hukuman penjara tidak lebih dari dua tahun, namun suaminya bisa menghentikan eksekusi hukuman tersebut jika ia rela bergaul dengan istrinya kembali seperti sedia kala.”
Inilah makna dari “prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan“.
Dua, Undang-undang Pidana Mesir pasal 313, 314, 315, 316, 317, 318, 323, dan 324 sangat berbeda dan bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam masalah pengertian dan hukuman atas kejahatan pencurian.
Tiga, Undang-undang Pidana Mesir pasal 230, 234 dan 236 sangat berbeda dan bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam masalah kejahatan pembunuhan.
Para wakil rakyat dan pakar hukum Mesir yang terlibat langsung dalam pembuatan undang-undang di Mesir sendiri mengakui bahwa undang-undang yang ditetapkan di Mesir bukanlah undang-undang Islam dan hukum Islam.
Prof. Dr. Muhammad Hamid Al-Jamal adalah mantan kepala dewan pemerintahan dan pakar perundang-udangan anggota Parlemen Mesir pada era rezim Anwar Sadat. Ia adalah tokoh yang mengepalai komisi amandemen konstitusi Mesir 1981. Dalam wawancara dengan Koran Al-Ahram pada Jum’at, 1 April 2011 lalu, ia menegaskan:
“Kami katakan “prinsip-prinsip umum syariat Islam adalah sumber utama perundang-undangan”, kami tidak mengatakan sumber satu-satunya. Kelompok Islam menginginkan teks pasal itu berbunyi “prinsip-prinsip umum syariat Islam adalah satu-satunya sumber perundang-undangan“. Perkataan seperti ini tidak mungkin dalam sebuah Negara Hukum dan presiden Anwar Sadat menolak keinginan tersebut.
Intinya, saya menulis sebuah laporan dengan kapasitas saya sebagai pakar hukum dalam Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen), dan saya mengajukan draftnya yang berkaitan dengan pasal ini kepada tiga orang tokoh Kristen Koptik yang menentang amandemen pasal ini. Saya pun menjelaskannya. Demikian pula Dr. Shufi Abu Thalib. Mereka kemudian kembali ke Komisi Umum, merasa puas (dengan draft dan penjelasan saya dan Dr. Shufi Abu Thalib, pent) dan menerimanya.
Maka bunyi pasal tersebut setelah diamandemen adalah “Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi negara, dan prinsip-prinsip syariat adalah sumber utama perundang-undangan.”
Saya katakan, sesungguhnya prinsip-prinsip syariat tidak masuk secara langsung dalam penerapan peradilan, melainkan masuk ke undang-undang positif. Pasal kedua tidak bisa diinterpretasikan sendirian tanpa memperhatikan pasal-pasal lainnya dalam konstitusi. Di antaranya yang berkaitan dengan prinsip persamaan dan tidak adanya perbedaan di antara warga negara. Demikian juga dengan pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan kekuasaan undang-undang dan indipendensi peradilan serta kedudukan pengadilan sebagai pihak yang berwenang memutuskan segala bentuk perselisihan.”
Lebih lanjut Prof. Dr. Muhammad Hamid Al-Jamal menegaskan, “Sesungguhnya kekhawatiran-kekhawatiran saudara-saudara kita Kristen Koptik terhadap pasal kedua adalah kesalah pahaman yang besar. Itu kekhawatiran yang tidak beralasan dan tidak memiliki landasan sama sekali dari aspek interpretasi konstitusionil yang cermat terhadap hukum-hukum pasal ini…” (Lihat wawancara wartawan Sayid Shalih dengan Prof. Dr. Muhammad Hamid Al-Jamal, dimuat oleh koran Al-Ahram, edisi Jum’at 27 Rabi’ul Akhir 1432 H/1 April 2011 M).
Penegasan-penegasan serupa disampaikan oleh semua pakar hukum dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen) Mesir. Misalnya, Prof Dr. Musthafa Al-Fiqi, ketua komisi hubungan luar negeri Parlemen Mesir, menegaskan, “Sesungguhnya pemerintah tidak bisa menerima perdebatan apapun seputar masalah itu (pasal kedua), dan hal itu kembali kepada faktor-faktor non agama, karena ia bukanlah pasal agamis.” Pernyataan itu dimuat oleh Koran Al-Mishriyun, edisi 18 Maret 2007.
Dalam sidang ketiga Mahkamah Konstitusi Mesir pada September 1983, syaikh Umar Ahmad Abdurrahman selaku wakil dari kalangan ulama Islam menegaskan di hadapan Mahkamah Konstitusi Mesir bahwa konstitusi Mesir bertentangan dengan syariat Islam dan tidak merujuk kepada syariat Islam.
Pasal 86, 107, 108, 109, 112, 113 dan 189 Konstitusi Mesir menegaskan hak menetapkan hukum dan undang-undang berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat, sementara syariat Islam menegaskan hak menetapkan undang-undang dan hukum hanya berada di tangan Allah semata.
Pasal 75 Konstitusi Mesir tidak mempersyaratkan beragama Islam dan laki-laki bagi kepala negara Mesir, dan hal itu jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama Islam.
Pasal 165 konstitusi Mesir menegaskan bahwa putusan hukum di lembaga peradilan adalah berdasar undang-undang positif yang berlaku. Hal itu berarti seorang hakim dalam pengadilan di Mesir tidak boleh menetapkan hukuman atas sebuah tindakan pidana atau perdata berdasar hukum syariat. Ia harus menetapkan perkara berdasar kitab undang-undang positif yang ditetapkan oleh pemerintah dan wakil rakyat.
Oleh karena itu, ketika Prof Dr. Muhammad Mahmud Gharrab, selaku seorang hakim di pengadilan Mesir, menetapkan hukuman cambuk 80 kali atas seorang pria yang meminum minuman keras sampai mabuk di jalan raya, maka Mahkamah Konstitusi Mesir membatalkan vonis tersebut karena dianggap melanggar konstitusi dan undang-undang positif Mesir.
Padahal putusan sang hakim tersebut sesuai as-sunnah. Namun tetap saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Mesir. Tentu saja, sebab Mesir bukanlah negara Islam yang menerapkan syariat Islam. Mesir adalah negara sekuler yang menerapkan konstitusi dan undang-undang positif sekuler!
Atas kasus tersebut, Direktorat Umum Pengawasan Peradilan pada Departemen Hukum Mesir telah menetapkan surat keputusan no. 5/81/1981, yang membatalkan keputusan hukum sang hakim. Tak lama setelah itu sang hakim dimutasikan kepada tugas-tugas administrasi dan dijauhkan dari tugas peradilan, agar menjadi pelajaran bagi para hakim lainnya untuk tidak menerapkan hukum Islam dan menyelisihi undang-undang sekuler negara! Sang hakim sendiri telah mengarang buku berjudul Ahkam Islamiyah Idanatun lil-Qawanin Al-Wadh’iyah.
Perlu diketahui pasal kedua Konstitusi 1981 yang sampai saat ini masih berlaku di Mesir, dan diterapkan kembali dalam Konstitusi Sementara Mesir oleh Dewan Militer pada 30 Maret 2011 M lalu, disusun bukan karena mengikuti hukum Allah Ta’ala. Ia disusun atas dasar amandemen konstitusi, di mana lebih dari sepertiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Mesir mengajukan tuntutan amandemen sebagian hukum dalam konstitusi Mesir pada 16 Juli 1979 M.
Dalam sidang pada 30 April 1980 M, Dewan Perwakilan Rakyat Mesir menyetujui rancangan amandemen sebagian pasal dalam konstitusi yang diajukan banyak anggotanya tersebut. Berdasar pasal 189 konstitusi, rancangan amandemen itu kemudian diajukan kepada rakyat Mesir melalui sebuah referendum yang digelar pada 22 Mei 1980. Amandemen itu disetujui oleh mayoritas rakyat. Itulah yang secara resmi menjadi pasal kedua konstitusi Mesir sejak 1981 sampai hari ini.
Kini mayoritas rakyat muslim Mesir menginginkan syariat Islam dijadikan konstitusi Mesir. Mereka menginginkan hukum-hukum Islam diterapkan dalam semua lini kehidupan di Mesir. Mereka menginginkan idelogi, ekonomi, politik, budaya dan keamanan diatur sesuai hukum Islam. Bukan berdasar prinsip-prinsip palsu yang sejatinya jiplakan dari undang-undang sekuler penjajah Perancis, Inggris dan AS.
Akankah partai An-Nur sayap politik kelompok Salafi dan Partai Kebebasan dan Keadilan sayap politik kelompok Ikhwanul Muslimin mendukung penerapan syariat Islam secara kaafah di bumi Mesir? Akankah wakil-wakil kedua partai “Islam” yang menduduki mayoritas kursi di Parlemen Mesir itu benar-benar memperjuangkan penerapan syariat Islam? Ataukah logika kursi kekuasaan dan ketakutan kepada AS-Barat lebih dominan, sehingga tidak mengapa menerapkan undang-undang sekuler dan menyingkirkan syariat Islam, asalkan kursi tidak bergoyang?
Apapun jawabannya, ribuan rakyat muslim Mesir telah kembali ke pangkuan Islam. Mereka telah sadar sepenuhnya hanya syariat Allah yang ma’shum yang mampu mengeluarkan mereka dari segala krisis yang selama puluhan tahun terakhir mendera mereka. Kehadiran dan aksi mereka di Tahrir Square pada hari Jum’at kemarin adalah bukti nyata atas hal itu.
(muhib almajdi/arrahmah.com)