JAKARTA (Arrahmah.com) – Makin eksisnya kaum monoritas, khususnya etnis Tionghoa, tak terlepas dari peran dan “perjuangan” Gus Dur.
Maka, terutama di kalangan minoritas, Gus Dur amat “dipuja”. Karena, dengan ‘perjuangan’ Gus Dur itulah, kelompok minoritas negeri ini tak hanya kian berjaya di bidang ekonomi, tapi juga merambah ke dunia politik.
Dulu, hari raya imlek tak libur nasional, lalu saat Gus Dur jadi presiden, hari besar kaum China itu ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Sebelum merambah dunia politik, mereka sudah tampil luar biasa di bidang ekonomi, menguasai 90% sektor ini di Indonesia. Bahkan dunia pendidikan pun mereka ‘kunci’. Banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi adalah milik kaum minoritas. Begitu pula di bidang media. Bahkan media–khususnya televisi–digunakan untuk bisa eksis di dunia politik.
Sekarang, di bidang politik kelompok minoritas kian giat. Bahkan untuk melengkapi tangga sukses mereka, banyak pula pejabat menjadi pelayan yang baik bagi golongan ini. Ini sejak dulu.
Padahal, umat mayoritas yang kebanyakan hidup nelangsa di negeri ini kian miskin. Tak punya peluang untuk menjadi hidup lebih baik.
Sementara umat Islam yang minoritas di Eropa, Amerika, dan di mana pu, mereka tetap diperlakukan sebagai warga minoritas yang hak-haknya jauh berbeda dibanding kelompok mayoritas. Mereka mendapat perlakuan yang amat diskriminatif.
Nah, di negeri mayoritas Muslim ini, golongan minoritas hidup supermakmur, bahkan bisa mengatur para pejabat dan sangat menguasai roda kehidupan, utamanya bidang ekonomi, pendidikan, media–dan kini politik.
Begitulah fakta dan realitasnya, memang. Jika di satu negeri yang mayoritasnya adalah kaum Muslimin, maka kelompok minoritas sangat dilindungi–banyak pembelanya dan didukung media, sehingga ironisnya sampai mengalahkan kaum mayoritas dan si mayoritas pun jadi “tertuduh”–meskipun kekeliruan ada pada sang minoritas.
Sebaliknya, jika di sebuah negeri umat Islam pada posisi minoritas, jangan harap berkehidupan dalam semua aspek berada di pihak mereka. Yang ada, mereka tetap menjadi warga kelas rendah, tertindas dan ditindas!
“Mereka harus bersyukur atas perjuangan Gus Dur dilanjutkan oleh SBY sekarang,” kata Koordinator Gerakan Diskusi 77/78, Muhammad Hatta Taliwang, Rabu (26/9/2012).
Karena Gus Dur memperjuangkan kaum minoritas atas dasar kemanusiaan, Hatta pun meminta kelompok minoritas pendukung Gus Dur giliran mendukung kelompok mayoritas atas nama kemanusiaan.
“Atas nama kemanusiaan pula, saya bertanya, terutama ke pendukung Gus Dur minoritas yang sudah superkaya dan supermakmur, sejauh mana perjuangan Anda untuk berjuang bersama kaum mayoritas miskin yang ratusan juta dan tertindas di negeri ini? Mereka tidak butuh charity atau kedermawanan atau belas kasihan dari Anda dengan memberi angpau seperti memberi makan bebek. Mereka butuh supporting agar perjuangan mereka dalam hal upah, tanah, hasil pertanian, perkebunan, kesempatan kerja dan lain-lain bisa sukses,” gugat Hatta.
Hatta mengingatkan bahwa kelompok mayoritas miskin dan tertindas itu bukan karena malas, bodoh, tidak kreatif dan tidak memiliki sumber daya. Persoalan kemiskinan dan pemiskinan massif justru terjadi dan menimpa mereka karena ada kebijakan yang tak berpihak kepada mereka, sebagimana dikatakan Henry Veltemeyer, sebagai akibat dari proses akumulasi kekayaan di satu sisi, serta penghisapan serta pemiskinan di sisi lain.
Masih mengutip Veltmeyer, Hatta mengingatkan bahwa kemiskinan kelompok mayoritas itu bukan terjadi alamiah, melainkan karena desain kebijakan politik-ekonomi neoliberalisme dan globalisasi kapitalis.
“Maka pertanyaanku kepada pemuja Gus Dur yang sudah supermakmur, atas nama humanisme, apakah Anda peduli pada masalah-masalah yang dihadapi mayoritas rakyat di sini? Dan berjuang melawan neoliberalisme? Atau malah Anda enjoy dan menjadi aktor aktif dari sistem yang menindas ini?” tanya dan sekaligus gugatan Hatta atas kaum minoritas yang pada makmur di negeri ini.
Sesungguhnya kaum mayoritas negeri ini pun tak berharap kelompok minoritas membantu mereka. Yang penting minoritas itu tahu diri. Sudah dibantu dan hidup makmur jangan malah ngelunjak! Begitu kira-kira.
Dan yang diharapkan kelompok mayoritas negeri ini adalah kebijakan yang berpihak pada mereka. Masak penduduk mayoritas negeri ini malah ditelantarkan, dan lebih melayani minoritas.ur
Tapi begitulah, memang realitasnya. Mayoritas yang menjadi pekerja minoritas, misalnya, jika menggugat kecilnya gaji, tak manusiawinya perlakuan atas mereka, atau sistem ketenagakerjaan yang acak-adut, umumnya policy pemerintah tak berpihak pada mereka.
Begitulah jika syariat Islam tak dipakai dalam kehidupan, kehidupan berpolitik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Jika syariat Islam jadi panglima untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, maka, baik mayoritas maupun minoritas diperlakukan adil dan sama-sama dilindungi.
Itulah pemerintahan Islam yang pernah dipraktikkan di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Khulafa -ur-Raasyidiin. (salam-online.com/arrahmah.com)