PARIS (Arrahmah.com) – Seorang petugas kepolisian perempuan Perancis merilis sebuah buku yang memperlihatkan rasisme dan diskriminasi dari undang-undang yang dipaksakan pada orang-orang Arab dan Afrika dan diperkirakan akan menarik perhatian sejumlah kelompok HAm serta memicu perdebatan di antara kalangan politisi.
Dalam bukunya, “Omerta In The Police” yang diterbitkan pada hari Kamis (14/10/2010) ini, Sihem Souid (29) mencela rasisme dan diskriminasi yang dipraktekan salah satunya oleh polisi perbatasan Perancis (PAF) di bandara Orly (selatan Paris), tempat dia bekerja selama lebih dari tiga tahun.
‘Omarta ‘adalah kode atas aksi diam yang biasa dipraktekkan oleh mafia pada saat ditanya oleh penegak hukum tentang masalah kegiatan ilegal anggota lainnya dari suatu organisasi mafia.
Souid tidak ingin lagi berdiam diri. Kemudian dia memutuskan untuk melaporkan fakta yang dia saksikan.
“Perkara ini sebetulnya hanya minoritas yang menodai mayoritas, tetapi jika tidak ada yang memperjuangkannya, jika tidak ada yang melawannya, kami yang akan melawan,” kata pejabat kepolisian asal Tunisia ini.
“Perancis telah menyulitkan polisinya. Saya dibuat takut pada negara kami, saya dibuat takut pada Perancis. Namun pada saat yang sama, kami dibuat melanggar ‘garis putih’, wilayah hak asasi manusia … Kami tidak dapat menerimanya.”
Souid bergabung dengan polisi pengawas perbatasan Perancis, tapi ia dengan cepat kecewa setelah menghadapi kasus seksisme dan kekerasan terhadap imigran, dan homophobia.
Souid mengutip kasus seorang wanita dari Brazzaville (Congo) yang dicurigai memasuki Perancis secara ilegal. “Dia harus melepaskan seluruh pakaiannya di dalam sel yang kemudian direkam oleh seorang petugas polisi dengan kamera ponsel,” katanya.
Salah satu harian Perancis menyebut Souid sebagai “polisi yang berani”. Souid menyatakan ia memiliki keyakinan penuh atas laporan yang ditulisnya dan dia siap untuk memperjuangkan agar negaranya memiliki undang-undang yang menghormati hak asasi manusia terlepas dari latar belakang dan warna kulit seseorang dan warna. (althaf/arrahmah.com)
Dalam bukunya, “Omerta In The Police” yang diterbitkan pada hari Kamis (14/10/2010) ini, Sihem Souid (29) mencela rasisme dan diskriminasi yang dipraktekan salah satunya oleh polisi perbatasan Perancis (PAF) di bandara Orly (selatan Paris), tempat dia bekerja selama lebih dari tiga tahun.
‘Omarta ‘adalah kode atas aksi diam yang biasa dipraktekkan oleh mafia pada saat ditanya oleh penegak hukum tentang masalah kegiatan ilegal anggota lainnya dari suatu organisasi mafia.
Souid tidak ingin lagi berdiam diri. Kemudian dia memutuskan untuk melaporkan fakta yang dia saksikan.
“Perkara ini sebetulnya hanya minoritas yang menodai mayoritas, tetapi jika tidak ada yang memperjuangkannya, jika tidak ada yang melawannya, kami yang akan melawan,” kata pejabat kepolisian asal Tunisia ini.
“Perancis telah menyulitkan polisinya. Saya dibuat takut pada negara kami, saya dibuat takut pada Perancis. Namun pada saat yang sama, kami dibuat melanggar ‘garis putih’, wilayah hak asasi manusia … Kami tidak dapat menerimanya.”
Souid bergabung dengan polisi pengawas perbatasan Perancis, tapi ia dengan cepat kecewa setelah menghadapi kasus seksisme dan kekerasan terhadap imigran, dan homophobia.
Souid mengutip kasus seorang wanita dari Brazzaville (Congo) yang dicurigai memasuki Perancis secara ilegal. “Dia harus melepaskan seluruh pakaiannya di dalam sel yang kemudian direkam oleh seorang petugas polisi dengan kamera ponsel,” katanya.
Salah satu harian Perancis menyebut Souid sebagai “polisi yang berani”. Souid menyatakan ia memiliki keyakinan penuh atas laporan yang ditulisnya dan dia siap untuk memperjuangkan agar negaranya memiliki undang-undang yang menghormati hak asasi manusia terlepas dari latar belakang dan warna kulit seseorang dan warna. (althaf/arrahmah.com)