Dua minggu setelah pembantaian Daraya, di mana rezim brutal pimpinan Assad menyalahkan kelompok “teroris” atas peristiwa tersebut dan sebaliknya, oposisi menolak tuduhan dan memperlihatkan bukti-bukti kekejaman rezim, beberapa penduduk masih mencari kerabat mereka di puing-puing reruntuhan bangunan.
Seorang mekanik muda kehilangan penglihatan di mata kanannya selama pertempuran Daraya. Ia masih mencari ayahnya yang hilang selama tiga hari berturut-turut, menyisir bangunan-bangunan yang hancur dan puing-puing. Ia akhirnya menemukan ayahnya dalam keadaan tewas di pinggiran kota, di lahan pertanian dengan tiga jenazah lainnya, para remaja yang berusia sekitar 16-20 tahun. “Kenapa mereka membunuh pria tua?” tanyanya.
Ia bukanlah satu-satunya orang yang mengeluarkan pertanyaan tersebut. Sekitar 500 orang dibantai di Daraya selama dua setengah hari dan berakhir pada akhir bulan lalu. Meninggalkan kehancuran di kota tersebut.
Menurut organisasi HAM internasional, Human Right Watch (HRW), yang telah mewawancarai penduduk Daraya dan menganalisis pertempuran melalui satelit, mengungkapkan bahwa rezim Suriah bertanggung jawab atas pembunuhan, meskipun tidak jelas apakah itu dilakukan oleh militan Shabiha atau pria berseragam setelah kota dibombardir melalui udara oleh helikopter rezim.
“Apa yang tidak kami ketahui dengan pasti adalah siapa yang melakukan pekerjaan kotor, eksekusi-antara pria berseragam atau shabiha,” ujar Ole Solvang, dari HRW. “Kami masih menyelidikinya.”
Saksi mata mengatakan tembakan yang terus-menerus dari helikopter rezim dengan senapan mesin, mortir yang diangkut dari bandara militer di dekat pemukiman Mezzah dan para penembak jitu di atas beberapa gedung di utara kota. Mereka berbicara mengenai jenazah yang terbaring di jalan, sekelompok sipil yang bersembunyi di ruang bawah tanah hanya untuk ditemukan dan secepatnya menemui kematian.
Dua minggu, Daraya masih dipenuhi bau kematian. Wilayah miskin di selatan Damaskus, sebelumnya dikenal dengan penghasil furniture, dan wilayah yang damai sebelum konflik berkecamuk. Kini kota tersebut menjadi kota hantu, pecahan kaca dan tembok-tembok yang runtuh, toko-toko yang hancur, menjadi pemandangan di sana.
Kota tersebut masih ada, namun kehidupan telah lenyap. Tidak ada cara untuk mengonfirmasikan jumlah korban tewas. Laporan pihak oposisi mengatakan lebih dari 1.000 orang telah tewas sedangkan rezim suriah hanya menyebut ratusan. Seorang penggali kubur mengatakan ia telah mengubur sekitar 1.000 jenazah dan setiap harinya jenazah demi jenazah terus ditemukan.
Seorang wanita yang datang ke pemakaman untuk mengecek berita mengenai anak lelakinya yang hilang, mengatakan : “Kami masih menyusuri reruntuhan rumah demi rumah, mencoba menemukannya.” Ia melanjutkan bahwa setiap orang menunggu ketika penggali kubur datang dan terdapat jenazah yang telah diidentifikasi.
“Masalah di sini adalah tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada listrik,” ujar seorang anggota keluarga yang selamat. Di luar, dua anaknya bermain di tengah-tengah reruntuhan. “Tidak ada yang dapat dilakukan, tidak ada teman yang bisa diajak bermain,” ujar Rauda, enam tahun. “Teman-temanku pergi ketika pemboman dimulai. Saya tetap berada di dekat ibu saya dan memeluknya. Namun ia mengatakan kami tidak akan pergi.”
Banyak yang khawatir mereka akan menjadi pengungsi sama seperti kekhawatiran mereka akan kekerasan. “Apakah Anda akan meninggalkan rumah Anda?” tanya Rashid, pemilik sebuah toko yang kini telah hancur. “Apakah kalian akan menyerahkan kehidupan?”
Serangan di Daraya dimulai pada 20 Agustus dan terus-menerus dilancarkan selama dua setengah hari. Tentara Pembebasan Suriah (FSA) mulai menarik diri dari kota pada 23 Agustus dan militer rezim mulai masuk satu hari setelahnya. “Penembakan dimulai pada pukul 7.30 pagi. Tidak ada suara lain kecuali tembakan roket,” ujar Rashid, warga lainnya.
Orang-orang bersembunyi di ruang bawah tanah dan ketika tentara datang, mereka diseret keluar dan dibunuh di luar rumah, yang lainnya dibunuh dengan senapan otomatis. “Kami mendengar beberapa informan menunjukkan dimana posisi pejuang oposisi. Mereka membiarkan perempuan lari namun mulai menembaki para pria satu persatu. Dalam beberapa kasus, tentara memasuki ruang bawah tanah dan membunuh anak-anak dan orang tua,” lanjut Rashid.
Istrinya, empat saudaranya dan tiga keponakannya termasuk di antara korban.
Seorang wanita yang memiliki anak berusia 20 tahun dan ditembak mati, mengatakan bahwa jenazah anaknya dibawa keluar kota. Terdapat rumor bahwa beberapa korban dibawa keluar kota dan dikubur di pemakaman rahasia.
“Kami menunggu bantuan Allah, kami menunggu kemenangan,” ujar Rashid yang melihat sekeliling jalan. “Tapi sepertinya kemenangan tidak akan terlihat dalam waktu dekat.” (haninmazaya/arrahmah.com)