SURABAYA (Arrahmah.com) – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur menilai konflik Syiah di Sampang sudah diselesaikan dengan kesepakatan di tingkat lokal Sampang maupun SK Gubernur Jatim 55/2012, namun ada pelanggaran kesepakatan sehingga konflik pun meletus pada 2011 dan 2012.
“Syiah itu melanggar HAM, karena mereka melecehkan Islam. Solusinya, kami tidak melarang, tapi kami meminta Syiah untuk menghindari kiprahnya di ranah publik, kalau mereka tidak memasuki ranah publik atau hanya internal keluarga, tentu mereka akan aman,” kata Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah di Surabaya, Selasa (28/8) seperti dilansir ANTARA.
Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi tentang solusi bentrok komunitas Syiah dengan masyarakat Desa Karanggayam, Omben, Sampang, Madura yang terjadi dua kali yakni 29-30 Desember 2011 dan 26 Agustus 2012.
Menurut dia, bila jamaah Syiah memasuki ranah publik, maka dipastikan akan terjadi konflik, karena masyarakat sekitar akan merasa dilecehkan. “Buktinya, masyarakat Sampang aman-aman saja dengan Muhammadiyah, Kristen, Buddha, dan sebagainya, karena memang tidak ada pelecehan itu,” katanya.
Ditanya pelecehan yang dilakukan Syiah, pengasuh Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo itu menjelaskan, Ustaz Tajul Muluk dengan ajaran Syiah-nya menyebut Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan sebagai “perampok” posisi Sayidina Ali bin Abi Thalib.
“Ustaz Tajul Muluk juga tidak mengakui Al Quran sebanyak 30 juz serta tidak mengakui Hadits Bukhari-Muslim, kecuali hadits dari Syiah sendiri. Mereka juga tidak mengakui imam di luar Sayidina Ali, sehingga mereka tidak menerima kepemimpinan presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan seterusnya,” katanya.
Oleh karena itu, SK Gubernur Jatim Nomor 55/2012 tentang Pembinaan Kehidupan Beragama dan Aliran Sesat sebenarnya merupakan “solusi” karena tidak memberi ruang kepada ajaran yang melecehkan Islam untuk memasuki ranah publik.
“Kalau SK itu diterapkan, maka Syiah di Indonesia akan aman. Itu jauh lebih baik daripada pelarangan terhadap Syiah yang dilakukan Aljazair, Mesir, Yordania, Cassablanca, dan sebagainya. Hanya Indonesia, Lebanon, dan Iran yang menerima Syiah. Indonesia masih toleran, asalkan sifatnya pribadi atau internal keluarga, bukan disyiarkan,” katanya.
Dengan demikian, katanya, konflik yang terjadi di Sampang sesungguhnya bukan konflik agama, melainkan konflik mazhab atau aliran yang bisa diselesaikan dengan memposisikan masing-masing kelompok secara proporsional dan penyelesaian ala Indonesia itu hendaknya tidak dilanggar.
“Kami juga bukan tidak mau berdialog, melainkan justru Syiah selalu menolak untuk datang bila diundang berdialog. Ada pula pimpinan Syiah di tingkat lokal yang mau berdialog, tapi mereka selalu lemah dalihnya,” katanya.
Namun, katanya, PWNU Jatim juga sepakat bila polisi bertindak sesuai hukum tatkala melihat konflik aliran yang mengandung unsur pidana. “Silakan saja, asalkan penanganannya sesuai fakta, transparan, dan terukur,” katanya.
Ia menambahkan PWNU Jatim juga sudah membentuk tim pencari fakta (TPF) yang melibatkan LPBHNU Sampang dan LPBHNU Jatim. “Kami akan terbuka dengan hasil TPF dan tidak ada masalah dengan proses hukum yang berjalan,” katanya. (bilal/arrahmah.com)