(Arrahmah.com) – Belum lama ini Yayasan Media Al-Fajr, yang memiliki kompetensi mempublikasikan karya-karya mujahidin Al-Qaeda dan Daulah Islam Irak, merilis hasil kajian seorang komandan lapangan dan instruktur militer mujahidin Al-Qaeda pusat, syaikh Abu Ubaidah Abdullah bin Khalid Al-‘Adam. Situs-situs jihad internasional kemudian mempublikasikannya ulang secara lebih luas.
Meski ringkas, hanya 8 halaman, kajian itu sangat penting dan berbobot karena merefleksikan hasil evaluasi intern dari pengalaman jihad mujahidin Al-Qaeda selama sepuluh tahun terakhir pasca serangan 11 September 2001. Kajian itu diberi judul Shahwat Ar-Riddah was Sabil li-Man’iha (Gerakan Kebangkitan Kemurtadan dan Cara Mencegahnya).
Istilah Shahwat (gerakan kebangkitan) sendiri selama ini dikenal di kalangan aktivis Islam sebagai sebuah istilah positif, menunjuk kepada gerakan-gerakan Islam yang bangkit dan berjuang demi menegakkan khilafah Islamiyyah dan menerapkan syariat Islam di muka bumi. Jika kemudian sang komandan lapangan Al-Qaeda menggabungkannya dengan kata tambahan ar-riddah (kemurtadan), tentu beliau sedang membuat istilah plesetan.
Memang benar, istilah Shahwat ar-riddah (gerakan kebangkitan kemurtadan) adalah istilah plesetan beliau terhadap Majalis Ash-Shahwat (Dewan Kebangkitan). Tahukah Anda, apakah gerangan Majalis Ash-Shahwat itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mundur sembilan tahun ke belakang. Saat invasi aliansi salibis internasional pimpinan AS dan NATO berhasil menggulingkan rezim sosialis Saddam Husain di Irak pada 2003, sang panglima pasukan salib internasional George W. Bush membentuk pemerintahan AS di Irak, di bawah pimpinan Lewis Paul Bremer III yang memegang otoritas pemerintahan di Irak selama periode 3 Juli 2003 sampai 28 Juni 2004.
Lewis Bremer, mantan Dubes AS untuk Belanda, membubarkan semua lembaga pemerintahan sipil dan militer Irak peninggalan Saddam Husain. Ia membentuk lembaga pemerintahan ‘boneka’ baru yang akan menjadi pelayan kepentingan AS dan Barat di Irak. Dalam hal itu Lewis Bremer harus mengangkat boneka-boneka sipil dan boneka-boneka militer di Irak.
Milisi-milisi Syiah yang menjalani latihan militer dan bertahan di luar Irak (Iran dan Suriah) selama bertahun-tahun memasuki Baghdad di atas tank-tank AS dan NATO. Merekalah yang direkrut secara resmi oleh Lewis Bremer untuk menjadi Polisi Nasional Irak, Tentara Nasional Irak dan Dinas Intelijen Irak. Milisi-milisi Syiah yang loyal kepada rezim Syiah Rafidhah Iran itu secara resmi berdasar undang-undang menempati pos dua departemen paling menentukan dalam pemerintahan boneka Irak; Departemen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri.
Di bidang pemerintahan sipil, Lewis Bremer membentuk pemerintahan parlementer yang dipimpin oleh tokoh Syiah Rafidhah, Nuri Al-Maliki dan beranggotakan mayoritas tokoh Syiah Rafidhah, segelintir tokoh nasionalis-sekuler suku Kurdi dan segelintir ‘pengkhianat’ sunni.
Pemerintahan baru Irak adalah boneka AS yang loyal kepada Iran. Ternyata AS dan Iran memiliki kerjasama dan kesamaan tujuan di Irak; memerangi muslim sunni. Pemerintahan sipil dan militer loyalis Syiah Rafidhah Iran itu telah melakukan pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, pemenjaraan, penyiksaan biadab dan pengusiran terhadap ratusan ribu warga muslim sunni di seluruh wilayah Irak. Ratusan ribu pemuda muslim sunni juga menganggur dan kehilangan pekerjaan. Krisis kemanusiaan yang dialami oleh kaum muslim sunni di Irak membuat mereka anti terhadap pemerintahan baru sipil-militer Irak yang dibentuk oleh AS namun loyal kepada rezim Syiah Rafidhah Iran itu.
Pada saat yang sama, aliansi pasukan salibis AS dan NATO mengalami kekalahan bertubi-tubi oleh gempuran mujahidin Al-Qaeda dan belasan kelompok jihad muslim sunni di Irak. Secara psikologis, Al-Qaeda dan seluruh kelompok jihad muslim sunni itu mendapat dukungan kuat dari kaum muslim sunni Irak di daerah basis muslim sunni, terutama di Irak Selatan. Begitu telaknya kekalahan yang dialami oleh aliansi salibis AS dan NATO, sehingga mereka kebingungan untuk keluar dari Irak tanpa harus kehilangan muka.
Dalam kondisi sulit itulah, tokoh Yahudi dan mantan Mentri Luar Negeri AS, Henry Kissinger menulis sebuah artikel di koran The Washington Post. Menurutnya, strategi keluar dari krisis yang dialami oleh AS di Irak harus berangkat dari integrasi yang sistematik antara elemen politik dan elemen keamanan. Caranya adalah menggalang dan menarik tokoh-tokoh muslim sunni untuk terlibat dalam pemerintahan sipil dan militer di Irak.
Strategi yang disarankan tokoh Yahudi itu akhirnya betul-betul dijalankan di Irak. Segelintir tokoh muslim sunni diberi kursi jabatan ‘tidak terlalu strategis’ dalam pemerintahan boneka Nuri Al-Maliki. Para ulama sunni, kepala suku dan tokoh masyarakat muslim sunni direkrut dengan gelontoran dana dan senjata untuk membentuk sebuah pasukan semi-militer sunni dengan tujuan pokok memerangi kelompok teroris di wilayah muslim sunni; Al-Qaeda dan kelompok-kelompok jihad lainnya yang gigih memerangi aliansi salibis AS-NATO dan rezim Syiah Rafidhah Irak.
Kelompok ulama, tokoh masyarakat dan kepala suku muslim sunni yang berhasil digalang oleh Pentagon untuk memerangi mujahidin Islam Irak inilah yang disebut Majalis Ash-Shahwat (Dewan Kebangkitan). Unsur-unsur Majalis Ash-Shahwat pertama kali dibentuk pada akhir 2004 dengan nama Brigade Hamzah, yang menghimpun kelompok Hizbul lslam Al-Iraqi (Partai Islam Irak) di kota Al-Qaim, Irak Barat. Komandan lapangan dan pemimpin militernya adalah kolonel Ahmad Athiyah yang tewas pada 2005. Athiyah hanyalah komandan lapangan belaka, sebab pengendali dan pemimpin yang sesungguhnya dari Brigade Hamzah adalah syaikh (tuan) Shabbah Satham Asy-Syarji yang menetap di Oman. Tuan Asy-Syarji adalah tokoh marga Bu Mahal, salah satu marga dalam suku Dalyam. Ia adalah cucu dari syaikh (tuan) Afatan Asy-Syarji, tangan kanan Inggris semasa penjajahan Inggris terhadap Irak.
Setelah itu, AS membentuk pasukan Dziab Shahra’ (Serigala Padang Pasir), atau Quwwat Tsuwwar Al-Anbar (Pasukan Revolusioner Anbar) pada akhir tahun 2005. Salah seorang kepala suku Arbil, syaikh (tuan) Usamah Al-Jud’an diangkat sebagai pemimpin militernya, sampai ia tewas tiga bulan setelahnya. Tokoh besar di propinsi Anbar, Syaikh (tuan) Abdus Sattar Abu Raisyah akhirnya kembali dari Yordania. Dengan kehendak dan bantuan penjajah salibis AS, Abu Raisyah menyatukan seluruh tokoh, kepala suku dan pasukan semi militer sunni yang berhasil digalang AS dalam satu wadah di bawah nama Majlis Shahwah Al-Anbar (Dewan Kebangkitan Anbar). Secara resmi, Majlis Shahwah Al-Anbar diumumkan pada 2007 dengan pemimpin tertingginya Abu Raisyah.
Majlis Shahwah Al-Anbar pertama kali dibentuk di propinsi Anbar pada 2007. Kesuksesan AS menggalang kekuatan tentara bayaran sunni dengan nama Majlis Shahwah Al-Anbar itu mendorong AS untuk melakukan cloning di propinsi-propinsi lain. Majlis Shahwah lainnya akhirnya dibentuk di propinsi Diyala, Shalahuddin, Ninawa dan akhirnya di propinsi Baghdad.
Pembentukan Majlis Shahwah di propinsi Baghdad dimulai dari distrik Abu Ghuraib dengan komandan militernya Tsamir At-Tamimi. Hal itu diikuti dengan pembentukan Majlis Shahwah di distrik-distrik lain dalam propinsi Baghdad; Ad-Daurah, Al-Amiriyah, As-Sayyidiyah, Al-Khadra’, Al-Yarmuk, Al-Manshur, Al-Jami’ah, Al-Ghazaliyah, Al-A’zhamiyah, dan Al-Fadhl, kemudian wilayah sabuk pengaman Baghdad Selatan, Baghdad Utara dan Baghdad Barat.
Direktur Komuniasi pasukan koalisi salibis AS-NATO di Irak periode 2007-2008, Laksamana Gregory Smith, dalam laporannya menyebutkan telah terbentuk 186 majlis shahwah di 186 wilayah di seantero Irak, berkekuatan 100.000 pasukan bersenjata. Gabungan majlis shahwah-majlis shahwah itulah yang disebut dengan majalis shahwat.
Majalis Ash-Shahwat yang berkekuatan 100.000 personil itu dilatih, dipersenjatai dan digaji oleh penjajah salibis AS. Pentagon telah menggelontorkan dana lebih dari US $ 70 juta guna melatih, mempersenjatai dan menggaji mereka. Setiap prajurit majalis as-shahwah menerima gaji rata-rata US $ 300, atau sekitar Rp. 2,7 juta dengan kurs US$ 1: Rp. 9000,00.
Majalis ash-shahwat adalah murtaziqah Amrikan wa Iran, tentara bayaran Amerika dan Iran. Mereka terdiri dari beberapa tipe manusia “muslim sunni”:
- Para kepala marga, tetua suku dan pengikutnya yang pro penjajah salibis AS, meyakini invasi militer salibis AS dan NATO (MNF-I) di Irak akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
- Para pemuda dan orang dewasa yang menganggur dan kehilangan pekerjaan, menginginkan pekerjaan yang mudah dan penghidupan / gaji yang layak.
- Para preman, kriminal dan mantan-mantan tentara/polisi di era Saddam Husain yang menginginkan senjata dan harta untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
- Orang-orang yang menganut paham nasionalisme dan sekulerisme yang anti syariat Islam.
Tujuan utama mereka adalah melaksanakan perintah yang diberikan oleh sang majikan yang menggaji mereka, penjajah salibis AS-NATO dan rezim Syiah Rafidhah Irak, yaitu memerangi mujahidin Al-Qaeda dan seluruh kelompok jihad muslim sunni lainnya yang memerangi penjajah salibis AS-NATO dan boneka rezim Syiahnya di Irak. Dalam dialog dengan pemimpin tertinggi aliansi pasukan salibis AS-NATO di Irak (MNF-I) jendral David Howell Petraeus, pemimpin tertinggi Majalis Ash-Shahwat, Abdus Sattar Abu Raisyah mengatakan: “Kami akan mengalahkan para teroris. Jika kami telah selesai mengalahkan mereka di sini, kami dapat pergi bersama kalian untuk menghancurkan mereka di Afghanistan.”
Inilah Majalis Ash-Shahwat. Sangat tepat apabila syaikh Abu Ubaidah Abdullah bin Khalid Al-‘Adam memplesetkan nama organisasi mereka menjadi Majalis Shahwat Ar-Riddah (Dewan Kebangkitan Kemurtadan). Sebab Al-Qur’an, As-sunnah dan ijma’ ulama kaum muslimin telah menegaskan kemurtadan seorang muslim yang bekerjasama dengan musuh-musuh Islam dalam memerangi kaum muslimin. Dan itulah hakekat pekerjaan Majalis Ash-Shahwat.
Pasukan bayaran berkekuatan 100.000 personil dengan cabang yang tersebar di 186 wilayah Irak adalah sebuah tantangan besar bagi perjalanan jihad Al-Qaeda dan belasan kelompok jihad muslim sunni lainnya di Irak. Barangkali hal itu merupakan salah satu alasan yang mempercepat penyatuan Al-Qaeda dan sebagian besar kelompok jihad muslim sunni Irak dalam satu wadah, Daulah Islam Irak dengan pemimpin pertamanya, amirul mukminin syaikh Abu Umar Al-Baghdadi, yang kemudian gugur dan kini digantikan oleh amirul mukminin syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi.
Sebagian muslim sunni yang tergabung dalam wadah Majalis Ash-Shahwat —tidak main-main, berjumlah 100.000 orang— berhasil digalang oleh penjajah salibis AS-NATO untuk menggulung Al-Qaeda dan belasan kelompok jihad muslim sunni di Irak. Sudah menjadi sunatullah, musuh-musuh Islam senantiasa melakukan segala macam makar untuk memerangi kaum muslimin. Allah berfirman,
وَقَدْ مَكَرُوا مَكْرَهُمْ وَعِنْدَ اللَّهِ مَكْرُهُمْ وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ
“Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya.” (QS. Ibrahim [14]: 46)
Syaikh Abu Ubaidah tak memungkiri bahwa Majalis Ash-Shahwat alias Majalis Shahwat Ar-Riddah yang dibentuk oleh aliansi penjajah AS-NATO di Irak —dan kemudian dikembangkan di wilayah-wilayah jihad di luar Irak: Afghanistan, Pakistan, Yaman, Somalia dan lain-lain— merupakan salah satu tantangan besar dalam jihad. Namun begitu, beliau hanya membahas hal itu sekilas saja, karena bagaimanapun juga makar orang-orang kafir merupakan sunatullah dalam perjuangan Islam.
Dalam kajian ringkasnya ini, syaikh Abu Ubaidah lebih menyoroti kemunculan Majalis Shahwat Ar-Riddah jenis yang lain, yang bahayanya boleh jadi tidak kalah dari Majalis Shahwat Ar-Riddah buatan aliansi pasukan salibis AS-NATO. Majalis Shahwat Ar-Riddah yang beliau maksudkan adalah Majalis Shahwat Ar-Riddah yang terbentuk secara tidak sengaja karena beberapa kesalahan langkah dan blunder yang dilakukan oleh mujahidin sendiri!
Tanpa bermaksud menghakimi, kajian ringkas ini beliau saripatikan dari pengalaman jihad Al-Qaeda Negeri Dua Sungai (Al-Qaeda fi Biladir Rafidain) di Irak dan Al-Qaeda pusat selama 10 tahun terakhir jihad di Afghanistan-Pakistan. Kajian ini merupakan bentuk muhasabah dan evaluasi intern beliau bagi seluruh mujahidin Al-Qaeda sendiri, kelompok-kelompok jihad lainnya dan seluruh kaum muslimin secara umum.
Sebab, Al-Qur’an dan as-sunnah telah mengajarkan kepada setiap mujahid untuk senantiasa bermuhasabah. Faktor utama musibah yang menimpa kaum muslimin, termasuk mujahidin di medan jihad, adalah faktor kesalahan dan dosa pribadi, bukan karena kehebatan dan kecanggihan makar orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. (QS. An-Nisa’ [4]: 79)
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hal yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Anfal [8]: 53)
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian). (QS. Asy-Syura [42]: 30)
Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, seorang sahabat yang dijamin masuk surga, menulis surat kepada Khalid bin Walid dan seluruh komandan pasukan Islam sebelum dimulainya perang Yarmuk:
فَأَنْتُمْ أَعْوَانُ اللَّهِ، وَاللَّهُ نَاصِرٌ مَنْ نَصَرَهُ، وَخَاذِلٌ مَنْ كَفَرَهُ، وَلَنْ يُؤْتَى مِثْلُكُمْ عَنْ قِلَّةٍ، وَلَكِنْ مِنْ تِلْقَاءِ الذُّنُوبِ، فَاحْتَرِسُوا مِنْهَا، وَلْيُصَلِّ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ بِأَصْحَابِهِ
“Kalian adalah para penolong (dien) Allah, Allah akan menolong orang yang menolong (dien)-Nya dan menelantarkan orang yang kafir kepada-Nya. Orang seperti kalian tidak akan dikalahkan oleh sebab sedikitnya jumlah pasukan, namun bisa saja dikalahkan karena faktor dosa-dosa kalian sendiri. Maka waspadailah dosa-dosa dan hendaklah satu sama lainnya di antara kalian saling mendoakan.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 9/547 karya Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi)
Salah seorang sahabat yang juga dijamin masuk surga dan panglima tertinggi pasukan Islam di Irak, Sa’ad bin Abi Waqash, saat memimpin pasukan Islam menyeberangi sungai Tigris untuk menaklukkan ibukota imperium Persia, Madain, mengatakan:
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ، وَاللَّهِ لَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ وَلِيَّهُ، وَلَيُظْهِرَنَّ اللَّهُ دِينَهُ، وَلَيَهْزِمَنَ اللَّهُ عَدُوَّهُ، إِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْجَيْشِ بَغْيٌ أَوْ ذُنُوبٌ تَغْلِبُ الْحَسَنَاتِ
“Cukuplah Allah bagi kita dan Dialah sebaik-baik pelindung. Demi Allah, Allah benar-benar akan menolong wali-Nya, memenangkan agama-Nya dan mengalahkan musuh-Nya jika dalam pasukan Islam tidak terdapat tindakan aniaya atau dosa-dosa yang lebih banyak dari amal-amal kebaikan.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/12)
Berikut ini terjemahan atas kajian syaikh Abu Ubaidah Abdullah bin Khalid Al-‘Adam yang berjudul Shahwat Ar-Riddah was Sabilu li-Man’iha, dengan tambahan catatan kaki berupa takhrij hadits dan penjelasan ringkas tentang beberapa istilah yang asing.
***
Gerakan Kebangkitan Kemurtadan dan Jalan Pencegahannya
Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga, sahabat dan semua orang yang setia mengikuti sunnahnya.
Selama masa invasi militer salibis ke Irak dan setelah pasukan salibis Barat benar-benar mengalami kekalahan yang tidak bisa dihindari lagi di tangan pelopor-pelopor jihad umat ini sehingga para pemimpin Barat hampir saja mengumumkan kekalahannya; pemikiran para pemimpin Barat ‘tercerahkan’ dengan apa yang pada saat itu dikenal dengan nama Majalis ash-Shahwat (Dewan Kebangkitan). Nasrani Barat mendapatkan pada diri Majalis ash-Shahwat ini tujuan yang telah lama ia cari dan impi-impikan, sekaligus jembatan yang menyelamatkannya dari terjatuh dalam kekalahan dini secara militer dan ekonomi di Irak. Dan memang tujuan Barat tercapai lewat Majalis ash-Shahwat.
Dewan Kebangkitan (Majalis ash-Shahwat) yang murtad ini memang memberikan pengaruh yang sangat jelas bagi perjalanan gerakan-gerakan jihad di Irak, dengan membendung perluasan dan kemajuan gerakan jihad, bahkan menjadi salah satu sebab yang menjaga nama baik aliansi salibis Barat di Irak, walau secara parsial.
Oleh karena itu akal bulus aliansi salibis Barat AS merancang penggunaan Dewan Kebangkitan (Majalis ash-Shahwat) ini di kawasan-kawasan lain yang menjadi ajang pertempuran antara aliansi salibis Barat melawat pelopor-pelopor jihad umat Islam di belahan bumi timur dan barat.
Saya tidak sedang menilai proses clonning Dewan Kebangkitan (Majalis ash-Shahwat) ini atau sejauh mana kesuksesan dan kegagalannya di kawasan-kawasan lain. Pembicaraan tentang hal itu ada tempatnya tersendiri, bukan dalam kesempatan ini. Hanya saja ada satu hal yang menurut dugaan saya merupakan hal terpenting sehingga mendorong saya untuk menulis tema ini. Hal terpenting itu adalah bagaimana cara kita, dengan kekuatan dan bimbingan Allah semata, mencegah timbulnya Dewan Kebangkitan-Dewan Kebangkitan seperti ini di tempat-tempat lain yang menjadi ajang peperangan kita melawan musuh-musuh agama Islam?
Sebab, kemunculan musuh dalam bentuk seperti ini — Dewan Kebangkitan— merupakan sebuah pengalaman baru bagi putra-putra pergerakan jihad, sebelumnya mereka belum pernah terbiasa berinteraksi dengannya. Hanya kepada Allah semata tempat meminta pertolongan.
Tidak selamanya Dewan Kebangkitan muncul karena dibentuk dan dipersenjatai oleh musuh. Justru terkadang Dewan Kebangkitan muncul sebagai reaksi atas sebagian kesalahan yang dilakukan oleh mujahidin tanpa ada kesengajaan, disebabkan oleh keterbatasan mujahidin dalam memahami tuntutan-tuntutan skala prioritas fase jihad yang sedang mereka terjuni. Allah semata Yang Maha Menjaga dari segala bentuk ketergelinciran.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang baru saja saya sebutkan ini, menurut keyakinan saya berdasar pengalaman praktek jihad, hal yang harus dilakukan oleh putra-putra gerakan jihad dan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah pada hari esok dengan berjihad melawan musuh-musuh-Nya adalah melakukan hal-hal berikut ini. Hal itu guna mencegah kemunculan fitnah seperti Dewan Kebangkitan ini dan menguburnya begitu ia muncul, bahkan mencegah agar bibit-bibitnya yang keji sama sekali tidak bisa muncul, dengan bimbingan dan pertolongan Allah semata. Kita senantiasa memohon kepada Allah petunjuk dan kelurusan dalam segala perkara.
Pertama: Memahami skala prioritas fase jihad
Sesungguhnya perkara terpenting yang harus dipahami dengan baik oleh sebuah kelompok mujahidin adalah memahami hakekat-hakekat setiap fase jihad yang dilaluinya. Setiap fase dari fase-fase jihad memiliki metode dan tata-cara jihad yang dipaksakan oleh realita kehidupan yang harus dihadapinya.
Setiap kondisi memiliki cara tertentu yang tepat dalam menyampaikan, baik penyampaian pemikiran dengan berkomunikasi dengan masyarakat maupun metode beramal dalam realita lapangan.
Sebagai contoh, daf’us shail (menghadapi musuh yang menyerang kaum muslimin) memiliki kekhususan-kekhususan dan fiqih haraki (fiqih pergerakan) yang khusus, yang menuntut kita untuk mengerahkan seluruh potensi dan mengarahkan usaha pokok kita untuk menolak serangan musuh, menyatukan seluruh masyarakat dan gerakan-gerakan Islam untuk memerangi musuh. Bukannya menyibukkan diri dengan perkara-perkara lain yang lebih sering memecah belah daripada memersatukan, bahkan bisa jadi tanpa sengaja menyebabkan masyarakat terjatuh dalam ‘pelukan’ musuh yang kafir dan menyebabkan kawan yang semula mencintai berbalik menjadi musuh yang membenci.
Contoh lainnya adalah menegakkan hukum hudud (potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina yang telah menikah, jilid bagi peminum khamr, dan hukuman mati bagi pembunuh, pent) di darul harbi dan di wilayah yang tidak Anda kuasai sepenuhnya. Maksudnya sebuah wilayah yang kekuasaan Anda terhadapnya hanyalah kekuasaan “fiktif” belaka; boleh jadi di waktu malam Anda yang menguasai wilayah itu, tapi di waktu siang musuh kafirlah yang menguasainya. Atau musuh kafir bisa merebut kembali dan menguasai wilayah tersebut dengan mudah, jika mereka mau.
Contoh nyata dari hal itu adalah apa yang dialami oleh Taliban Pakistan di lembah Swat, wilayah Persukuan Pakistan yang berbatasan dengan Afghanistan.[1] Pada pengalaman mereka terdapat banyak pelajaran bagi orang yang mau merenungkannya. Padahal penduduk lembah Swat sangat mencintai mujahidin dan keimanan mengakar kuat dalam hati mereka. Namun sungguh jauh perbedaan antara penguasaan yang sebenarnya dengan penguasaan “fiktif” yang temporal.
Contoh lainnya adalah mewajibkan masyarakat untuk menyerahkan sebagian harta mereka guna membiayai jihad fi sabilillah. Meskipun tindakan itu dibolehkan oleh sebagian ulama fiqih dengan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam kitab-kitab fiqih, namun hal yang harus selalu diperhatikan adalah dampak dari setiap tindakan, maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Biasanya tindakan itu justru menyebabkan masyarakat bersatu untuk gerakan jihad, apalagi dalam kondisi kelemahan. Hal ini juga pernah terjadi di sebagian wilayah persukuan Pakistan, hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Sebagian kecil contoh yang saya sebutkan ini dan contoh-contoh lain yang belum saya sebutkan sangat banyak, adalah perkara yang harus dijaga dan diperhatikan dengan baik dalam memanage peperangan. Dengan demikian musuh tidak akan mendapatkan pintu masuk untuk merusak masyarakat dan memprovokasi mereka untuk memerangi mujahidin.
Kedua: Berkomunikasi dengan masyarakat sesuai madzhab yang mereka pahami
Hal ini termasuk perkara yang penting dan sangat perlu dalam praktek jihad, yaitu berkomunikasi dengan masyarakat sesuai dengan madzhab yang berkembang luas, mereka pahami dan mereka ikuti di tengah mereka, memperhatikannya (menjaganya) dengan sangat serius. Terkhusus lagi apabila para pemimpin jihad dan orang-orang yang berjihad bukan berasal dari daerah setempat, alias muhajirin.
Saya masih ingat peristiwa yang saya alami pada awal-awal peperangan melawan pasukan salibis AS di Afghanistan, tepatnya di wilayah persukuan Pashtun, di mana pangkalan-pangkalan militer kami pada waktu itu tersebar luas di wilayah perbatasan Afghanistan-Pakistan. Beberapa orang mujahid lokal dari wilayah itu mendatangi saya. Mereka mengajukan kepada saya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah takfir dan beberapa masalah fiqih lainnya. Saya katakan kepada mereka, “Silahkan bertanya kepada fulan,” seorang kyai di tengah mereka. Padahal saya mengetahui jawaban atas pertanyaan mereka tersebut. Tujuan dari hal itu saya anggap sudah sangat jelas, al-hamdu lillah, tidak perlu penjelasan panjang lebar lagi.
Termasuk dalam hal ini adalah amar ma’ruf nahi munkar. Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar diharuskan memenuhi beberapa syarat sebagaimana telah dibahas dalam buku-buku fiqih. Terkhusus jika merubah kemungkaran dengan tangan dan kekuatan militer. Kita sampai saat ini masih berada dalam fase menolak musuh yang menyerang (daf’us shail) dan fase kelemahan (ketertindasan) yang memang pada hari ini dialami oleh kemunculan gerakan jihad apapun di dunia. Tiada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah Ta’ala.
Dalam masalah ini kita harus memperhatikan satu perkara yang sangat penting, yaitu bertahap dalam merubah kemungkaran dan bertahap dalam berkomunikasi dengan manusia, di mana kita berbicara kepada mereka sesuai kadar pemahaman mereka (apa yang mereka pahami), bukan sesuai kadar pemahaman kita (apa yang kita pahami); memperhatikan pemahaman dan penalaran mereka, terkhusus lagi dalam perkara-perkara tersamar (al-masail al-khafiyah; tersembunyi, perkara yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat awam) yang telinga masyarakat belum biasa mendengarnya. Khususnya lagi masalah takfir dan hal-hal yang berkaitan erat dengannya.
Mengenai hal ini, saya masih ingat dengan baik bagaimana masyarakat awam suku-suku di Waziristan, bahkan para mujahidinnya sekalipun, memerlukan waktu yang cukup lama sampai menjadi jelas bagi mereka kekafiran Tentara Pakistan. Mereka belum percaya sepenuhnya atas kekafiran Tentara Pakistan, sampai mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana Tentara Pakistan memerangi mereka. Barulah saat itu mereka melihat langsung kekafiran dan kebiadaban Tentara Pakistan.
Sesungguhnya berkomunikasi dengan masyarakat sesuai kadar pemahaman mereka merupakan perkara yang sangat penting dan sangat perlu. Jika kita tidak pandai mempergunakannya, niscaya dampak yang akan timbul akanlah buruk. Oleh karenanya, mujahidin harus menguasainya dengan baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha:
لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُوعَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لَهَدَمْتُ الْكَعْبَةَ وَبَنَيْتُهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ
“Seandainya bukan karena kaummu belum lama meninggalkan jahiliyah (belum lama masuk Islam, pent) tentulah aku akan meruntuhkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai bangunan yang dibuat oleh nabi Ibrahim.”[2]
Saya katakan, sabda beliau yang bijaksana ini harus menjadi semboyan perjalanan, penunjuk jalan dan tempat mengembalikan perkara dalam perjalanan jihad yang panjang ini.
Ketiga: Tidak bersikap ekstrim (ghuluw) dalam beragama
Pengertian dari bersikap ekstrim (ghuluw) dalam beragama di sini adalah membebankan kepada masyarakat hal-hal yang tidak sanggup mereka tanggung, “mengkorek-korek” keyakinan mereka, dan menggiring masyarakat untuk mengikuti keyakinan kita dengan kekuatan senjata, sikap kasar dan keras. Barangsiapa tidak sependapat dengan kita dalam setiap keyakinan yang kita yakini, maka ia adalah musuh bagi kita. Atau minimal ia bukan dari kelompok kita, kita harus menjauhinya dan mengingatkan (pengikut) kita untuk mewaspadai dan menjauhinya.
Hal ini, tidak diragukan lagi, bukan perbuatan yang terpuji dalam berinteraksi dengan kaum muslimin. Sikap ekstrim dalam sebuah perkara hanya akan memperburuk perkara tersebut, bahkan menghancurkan perkara tersebut sekaligus menghancurkan pelakunya.
Sahabat Ibnu Abbas radhiayllahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya pada pagi hari melempar Jumrah ‘Aqabah, “Ambilkan untukku kerikil-kerikil!” Maka Ibnu Abbas mengambilkan tujuh bijih kerikil ukuran sedang. Beliau membolak-balikkan kerikil itu di telapak tangannya, lantas bersabda, “Melemparlah dengan kerikil seperti ini.” Beliau lalu bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ؛ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Wahai masyarakat, jauhilah oleh kalian sikap ekstrim dalam beragama, karena hal yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah sikap ekstrim dalam beragama.” (Hadits shahih) [3]
Termasuk contoh dari sikap ekstrim dalam beragama adalah cepat-cepat menjatuhkan vonis kafir, fasik, atau ahli bid’ah terhadap masyarakat dan melemparkan tuduhan-tuduhan yang tidak layak kepada mereka; tanpa memperhatikan kondisi masyarakat, jauhnya mereka dan asingnya mereka dari pemahaman yang benar terhadap agama Islam. Juga tanpa memperhatikan kebodohan yang mereka alami sejak masa dekade-dekade yang lama, atas usaha secara sengaja dari politik penguasa murtad dan aliansi salibis yang mendukungnya.
Sesungguhnya wajib untuk bersikap lemah-lembut dan berbuat baik kepada masyarakat, bahkan kepada orang-orang yang menyelisihi mujahidin sekalipun. Barangsiapa yang bisa kita tarik kepada barisan kita —barisan kebenaran—, maka kita menariknya dan itulah kewajiban kita selalu. Barangsiapa yang tidak bisa kita tarik ke dalam barisan kita, maka kita usahakan agar bersikap netral kepada kita. Barangsiapa yang tidak bisa kita usahakan bersikap netral kepada kita, maka kita berusaha tidak menjadikan perasaannya condong untuk memihak musuh kita. Kita harus waspada sepenuhnya jangan sampai ia menjadi musuh atau bergabung ke dalam barusan musuh.
Sesunggguhnya menampakkan permusuhan secara terang-terangan kepada masyarakat, baik kepada individu-individu atau kelompok-kelompok terhitung sebuah kekeliruan yang mematikan dalam praktek jihad, terkhusus lagi jihad pada fase daf’us shail. Tindakan itu akan menyebabkan masyarakat jatuh dalam “pelukan” musuh dengan mudah tanpa musuh Allah dan musuh agama ini tanpa perlu bersusah payah. Hal itu seperti halnya invasi militer kaum kafir asli terhadap negeri-negeri kaum muslimin yang menyebabkan masyarakat berpihak kepada mujahidin Islam. Maka wasapadalah, waspadalah, jangan melakukan tindakan ceroboh dengan memusuhi kaum muslimin yang awam. Terkhusus lagi jika ada kelonggaran untuk tidak menampakkan permusuhan tersebut.
Keempat: Menahan diri dari sebagian orang yang berhak mendapatkan hukuman
Di antara sikap yang bijaksana di darul harbi adalah menahan diri dari sebagian orang yang berhak menerima hukuman, sebagai antisipasi dari timbulnya kerusakan yang lebih besar jika hukuman tersebut dilaksanakan. Medan-medan jihad sepanjang zaman telah membiasakan kita dengan keberadaan sebagian orang yang berhak mendapatkan hukuman karena kemurtadan mereka dan loyalitas mereka dengan musuh-musuh (dalam memerangi kaum muslimin).
Mereka terdiri dari beberapa golongan manusia dan kedudukan serta pengaruh mereka di tengah masyarakat juga bertingkat-tingkat. Sebagian mereka adalah tokoh yang ditaati di tengah kaumnya, ada yang kedudukannya di bawah itu, dan ada juga yang tidak memiliki kedudukan.
Orang yang seperti ini, khususnya orang yang ditokohkan dan ditaati di tengah kaumnya, sementara kemurtadannya belum terbongkar secara jelas, gamblang dan meyakinkan di hadapan kaum muslimin yang awam, sehingga masyarakat luas masih mengelilinginya dan mencintainya; orang seperti ini memerlukan “kebijaksanaan” (siasat) khusus dalam berinteraksi dengannya, khususnya jika urusannya telah berkaitan dengan pembunuhan dan “penghilangan” fisiknya.
Termasuk siasat yang cerdas adalah menunda eksekusi atas orang seperti itu sampai suatu masa tertentu. Mengeksekusi orang seperti itu saat ini akan menyebabkan seluruh kaumnya memusuhi putra-putra jihad demi menolong pemimpin mereka yang terbunuh dan membela fanatisme (ta’ashub) kebatilan. Telah shahih riwayat yang menyatakan bahwa ketika Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu meminta izin untuk memenggal kepala pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
دَعْهُ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ
“Wahai Umar, biarkan saja dia, jangan sampai masyarakat justru mengatakan: “Muhammad membunuhi kawan-kawannya sendiri.”[4]
Ini sekedar contoh dari sikap menahan diri dari sebagian orang yang harus menerima hukuman, supaya dampaknya tidak bertolak belakang dengan apa yang kita harapkan. Dampak yang bertolak belakang dengan harapan itu sudah sangat terkenal dan diketahui oleh orang-orang yang telah berpengalaman terjun dalam praktek jihad di lapangan. Kesimpulan ini juga dipetik oleh orang-orang non muslim sekalipun, contohnya para gerilyawan Vietnam.
Pengarang buku Pengalaman Vietnam, Ali Fayadh menulis:
“Terdapat sejumlah pembunuhan politis yang justru memberi dampak negatif terhadap revolusi Vietnam. Pembunuhan terhadap Truong Anh, pemimpin kelompok Cao Dai [5], telah mendorong banyak pengikutnya untuk berpihak kepada Perancis dalam perang 1948 M. Pembunuhan terhadap Huynh Phu So[6], pemimpin kelompok Hoa Hao, pada tahun yang sama juga menyebabkan sebagian pengikutnya bekerja sama dengan Perancis.”
Andaikata diperlukan sebuah operasi yang saya namakan “pembunuhan pembuat jera dan penghentian kejahatan yang jelas” sekalipun, haruslah dilakukan dalam bentuk yang menghilangkan semua bentuk keragu-raguan, di mana tidak ada pembunuhan yang tidak memiliki alasan pembenaran atau alasan penjelas. Alangkah baiknya jika dilakukan pengadilan umum secara terbuka terhadap orang tersebut, jika hal itu memungkinkan. Sebab, seperti kata pepatah, akal (mayoritas) manusia terletak pada matanya. Hukuman bunuh lalu dilakukan oleh salah seorang anggota keluarganya sendiri, atau kerabatnya sendiri, atau kaumnya sendiri di depan masyarakat umum. Hal itu akan lebih menenangkan pikiran dan hati masyarakat.
Waspadalah! Waspadalah! Jangan sekali-kali hal seperti itu dipimpin dan dilaksanakan oleh mujahidin yang datang dari luar, alias muhajirin. Sungguh dampaknya tidak akan baik. Jangan sampai terpedaya oleh kekuasaan temporal (sesaat) atau kemenangan temporal (sesaat), terutama pada wilayah-wilayah di mana suku-suku memiliki pengaruh dan kekuasaan. Sungguh saya telah menyaksikan sendiri bagaimana hal itu memiliki dampak yang sangat buruk terhadap sebagian kelompok jihad, saya menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang yang semula mencintai mujahid kemudian berbalik menjadi orang-orang yang membenci, bahkan memerangi dan mengusir, mujahidin.
Sesungguhnya manajemen jihad dan fiqih (ilmu) jihad memerlukan berlipat-lipat kali upaya melebihi upaya yang kita kerahkan dalam bidang kekuatan militer. Sesungguhnya peperangan tidak lain hanyalah sebuah sarana untuk merealisasikan sebuah tujuan politis, dan tujuan politis kita adalah mengarahkan manusia untuk beribadah kepada Rabb mereka.
Kelima: Menarik dukungan
Sesungguhnya salah satu pondasi pokok amal jihadi dan pilar utama eksistensinya adalah meraih dan menarik dukungan orang-orang besar dan terpandang di tengah masyarakat, yaitu para ulama, pemimpin, ketua suku dan orang-orang yang ditaati di tengah masyarakat secara umum.
Mereka adalah tiang utama yang sangat penting bagi dukungan dan keikut sertaan masyarakat pada dakwah jihadiyah. Bukan hanya pada kondisi lapang semata, namun juga dalam kondisi yang paling sempit dan sulit. Ia adalah jaminan keamanan bagi seluruh amalan jihad ketika taupan badai menerjang, barisan tergoncang dan musuh bersatu padu memerangi mujahidin.
Seorang pemimpin dan tokoh yang ditaati di tengah kaumnya sangat layak untuk menggerakkan sukunya atau mayoritas anggota sukunya untuk berbaris di belakang mujahidin, guna menolong dan mendukung mujahidin.
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa salam telah berdoa kepada Allah Ta’ala agar menjayakan Islam melalui salah satu dari dua orang yang lebih Allah cintai; Abu Jahal (Amru bin Hisyam) atau Umar bin Khathab. Ternyata laki-laki yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala adalah Umar bin Khathab.[7]
Ini adalah salah satu sunatullah dalam meraih pembelaan, kejayaan dan kemenangan. Itulah sunnah mencari simpati dan menarik dukungan orang-orang kuat di tengah kaumnya. Metode untuk hal itu sangatlah banyak. Di antaranya, pernikahan dan permisanan, musyawarah dan meminta pendapat, mengangkatnya sebagai ketua dan pemimpin, mendakwahi dengan sungguh-sungguh dan menerangkan kebaikannya bagi dien dan dunia mereka. Metode terakhir ini merupakan tiang pokok dalam masalah yang sedang kita bahas ini.
Metode-metode meraih dukungan yang sebagiannya saya sebutkan ini, saya telah melihat kebaikannya dengan kedua mataku sendiri dan mengalaminya sendiri di wilayah-wilayah persukuan Pakistan. Beberapa keluarga besar di sana telah bangkit dengan mengerahkan seluruh anggotanya untuk menolong sebagian kelompok mujahidin dan berperang bersama mereka. Lebih dari itu, mereka bahkan melakukan hijrah dan meninggalkan kampong halamannya. Sebagian kepala suku-suku di sana telah berhijrah dan meninggalkan kampong halaman serta tempat penggembalaan ternak suku-suku mereka, semata-mata demi membantu dan mendukung mujahidin. Padahal hijrah itu memiliki kesulitan-kesulitan yang hanya diketahui oleh orang-orang yang pernah merasakan langsung pahit getirnya.
Sesungguhnya rahasia kesuksesan amalan jihad dalam sebuah pergerakan (amal jihadi haraki) dengan seluruh unsurnya dan kesinambungannya dalam bentuk yang menjamin penegakan daulah Islamiyyah dan merealisasikan tujuan jihad, adalah terletak dalam banyak aspeknya pada kuatnya ikatan antara penduduk dan mujahidin yang bertempur, sementara itu mencegah shahwat (gerakan sebagian elemen umat Islam yang bekerja untuk kepentingan musuh) merupakan salah satu pondasi pokok yang penting bagi eksistensi dan kesinambungan “nyawa” jihad.
“Allah Maha Melaksanakan urusan-Nya akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf [12]: 21)
Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
Abu Ubaidah Abdullah bin Khalid Al-‘Adam
16 Jumadil Awwal 1433 H
Markaz Al-Fajr lil-I’lam
Al-Fajr Centre for Media
Catatan kaki:
[1]. Lembah Swat adalah sebuah lembah dan distrik administratif dalam provinsi Khyber Pakhtunkhwa, dekat perbatasan Afghanistan-Pakistan. Ibukota distrik lembah Swat adalah Shaidu Syarif, namun kota terbesarnya adalah Mingora. Provinsi Khyber Pakhtunkhwa dahulunya disebut Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan atau North-West Frontier Province (NWFP) adalah salah satu provinsi dari empat provinsi dalam negara Pakistan yang terletak di sebelah Barat Laut Pakistan, dekat perbatasan Pakistan-Afghanistan.
[2]. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam tentang keinginan meruntuhkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai bentuk bangunan yang dibangun oleh nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam telah diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim dan lain-lain dengan beragam lafal. Di antaranya diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dengan lafal sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الجَدْرِ أَمِنَ البَيْتِ هُوَ؟ قَالَ: «نَعَمْ» قُلْتُ: فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوهُ فِي البَيْتِ؟ قَالَ: «إِنَّ قَوْمَكِ قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ» قُلْتُ: فَمَا شَأْنُ بَابِهِ مُرْتَفِعًا؟ قَالَ: «فَعَلَ ذَلِكَ قَوْمُكِ، لِيُدْخِلُوا مَنْ شَاءُوا وَيَمْنَعُوا مَنْ شَاءُوا، وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ، فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوبُهُمْ، أَنْ أُدْخِلَ الجَدْرَ فِي البَيْتِ، وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِالأَرْضِ»
Dari Aisyah RA berkata, “Saya bertanya kepada Nabi SAW apakah Hijr Ismail di sekitar Ka’bah termasuk bagian dari Ka’bah?” Beliau menjawab, “Ya.” Saya bertanya, “Kenapa mereka tidak memasukkannya ke dalam Ka’bah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya kaummu kehabisan biaya (saat merenovasi Ka’bah pada zaman jahiliyah).” Saya bertanya, “Kenapa pintu Ka’bah tinggi?” Beliau menjadab, “Itu perbuatan kaummu, agar mereka bisa memasukkan siapa pun yang mereka kehendaki ke dalam Ka’bah dan mereka bisa menghalangi siapa pun yang tidak mereka kehendaki. Sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah dan khawatir jika hati mereka mengingkarinya, tentulah aku akan memasukkan Hijr Ismail ke dalam Ka’bah dan aku akan menempelkan pintu Ka’bah ke tanah.” (HR. Bukhari no. 1584 dan Muslim no. 1333)
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ – قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ – بِكُفْرٍ، لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ ” فَفَعَلَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ
Nabi SAW bersabda, “Wahai Aisyah, sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran, tentulah aku akan meruntuhkan Ka’bah (lalu merenovasinya) dan aku buatkan dua pintu padanya; satu pintu untuk memasukinya dan satu pintu untuk keluar darinya.” Maka (khalifah) Abdullah bin Zubair (pada tahun 64-65 H, pent) melaksanakan keinginan beliau SAW tersebut. (HR. Bukhari no. 126 dan Muslim no. 1333 dengan lafal Bukhari)
[3]. Hadits Ibnu Abbas ‘radhiyallahu ‘anhuma tentang larangan sikap ekstrim dalam beragama diriwayatkan oleh imam Ahmad no. 3248, An-Nasai no. 3057, Ibnu Hibban no. 3871, Abu Ya’la no. 2427, Al-Baihaqi no. 9534 dan lain-lain. Sanadnya shahih menurut syarat imam Muslim. Dinyatakan shahih oleh syaikh Syuaib Al-Arnauth, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Husain Salim Asad dan para ulama muhaqqiq lainnya.
[4]. Hadits Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu meminta izin untuk memenggal kepala Abdullah bin Ubay bin Salul diriwayatkan oleh imam Bukhari no. 3330, 4905, 4907, Muslim no. 2584, Tirmidzi no. 3315, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8812 dan 11535, Ahmad no. 15223, Ibnu Hibban no. 5990, 6582, Al-Baihaqi no. 17866, Abu Ya’la no. 1957, Abdur Razzaq no. 18041 dan lain-lain.
[5]. Cao Dai adalah sebuah sekte keagamaan dan politik yang didirikan pada tahun 1920an oleh sekelompok intelektual Vietnam Selatan. Kelompok ini menggabungkan tiga agama terbesar di Vietnam (Budha, Konfusianisme dan Kristen) dengan tata cara pemujaan ala Vietnam dan kepahlawanan Barat. Sekte ini merupakan sebuah kelompok yang kuat, memiliki lebih dari 1, 5 juta pengikut dan berperang dengan gigih melawan kelompok Komunis Vietnam (terutama di propinsi Tay Ninh), bahkan setelah penarikan mundur pasukan AS dari Vietnam. Lihat: http://freepages.military.rootsweb.ancestry.com/~karmen/TermA-L.html.
[6]. Hoa Hao adalah sebuah sekte dalam agama Budha, memiliki sekitar dua juta pengikut di sebelah barat Sungai Mekong. Sekte ini dibentuk pada tahun 1930an. Sejak pemimpin dan pendiri gerakan ini, Huyn Phu So, dibunuh oleh pasukan Ho Chi Minh, sekte ini berbalik menjadi penentang dan musuh yang gigih bagi kelompok Komunis Vietnam. Lihat: http://freepages.military.rootsweb.ancestry.com/~karmen/TermA-L.html.
[7]. Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam untuk keislaman Abu Jahal atau Umar bin Khathab telah diriwayatkan oleh para ulama hadits dari jalur banyak sahabat; Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khathab, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Barra’ bin ‘Azib, Ibnu Abbas, Utsman bin Al-Arqam, Anas bin Malik, Aisyah dan Tsauban radhiyallahu ‘anhum. Sebagian riwayat tersebut berderajat shahih menurut syarat imam Bukhari dan Muslim, sebagaimana dikatakan oleh imam Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Salah satu contoh hadits doa tersebut adalah riwayat dari jalur Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اللهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَكَانَ أَحَبُّهُمَا إِلَى اللهِ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Ya Allah, jayakanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Abu Jahal atau Umar bin Khathab.” Ternyata orang yang lebih dicintai oleh Allah adalah Umar bin Khathab. (HR. Ahmad no. 5696, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab no. 759, Tirmidzi no. 3681, Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah 2/215-216, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra 3/267 dan Ibnu Hibban no. 6881. At-Tirmidzi berkata: Hadits hasan shahih)
(muhib almajdi/arrahmah.com)