YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Fanatisme agama merupakan “pembunuh nomor satu” dialog antaragama, karena kaum fanatik tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin dialog, kata Direktur Hanns Seidel Foundation Jerman, Hans Zehetmair.
“Kaum fanatik menganggap pandangan yang berbeda tidak mungkin untuk dapat disejajarkan kembali,” katanya pada orasi ilmiah berjudul `pemikiran mengenai dialog lintas agama, pernyataan dari sudut pandang Eropa`, di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (4/10/2010).
Menurut dia, hal-hal yang membatasi dialog lintas agama di Eropa sebagai akibat dari fanatisme, tidak adanya keinginan untuk memeluk demokrasi, dan penolakan terhadap hak asasi manusia sangat jelas terlihat. Namun demikian, peluang yang ada juga cukup jelas terlihat.
“Peluang itu terletak pada upaya untuk mengikuti prinsip yang menjamin keberhasilan dialog lintas agama, kesediaan masyarakat untuk hidup bersama secara damai, dan terlibat dalam dialog yang damai,” katanya.
Ia mengatakan saat ini Eropa lebih bersifat heterogen dalam aliran kepercayaan dan budaya. Ada ribuan bidang yang menyatakan orang dengan latar belakang agama yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari, seperti di klub olah raga, tempat kerja, dan festival yang digelar.
Selain itu, jumlah pernikahan antara individu yang berbeda agama semakin meningkat. Saat ini dari setiap lima pernikahan yang terjadi di Jerman melibatkan individu dengan kewarganegaraan yang berbeda.
“Pasangan lintas agama telah menjadi hal yang biasa di Jerman dan jumlahnya juga semakin meningkat. Hal yang sama juga terjadi di berbagai kawasan Eropa lainnya,” katanya.
Menurut dia, pernikahan merupakan lahan yang subur untuk menjamin keberhasilan dialog lintas agama. Masing-masing pasangan akan berhadapan dengan kebutuhan untuk saling terciptanya dialog lintas agama yang akan berlangsung seumur hidup mereka.
“Hal lain yang juga merupakan peluang yang luar biasa untuk terciptanya dialog lintas agama adalah kondisi kehidupan bagi mereka yang percaya pada agama di seluruh dunia,” katanya.
Sementara itu, sebelumnya Kementerian Agama (Kemenag) melakukan qur’ah (pengundian) pemondokan calon jamaah haji ketika di Mekkah. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kecemburuan di kalangan jamaah.
Pengundian dilakukan untuk menentukan jamaah kloter berapa saja yang berhak mondok di ring satu atau dua di Makkah. Ring satu tentu saja menjadi tempat favorit karena hanya berjarak dua kilometer dari Masjidil Haram sebagai pusat pelaksanaan puncak ritual haji.
“Pengundian didasarkan pada prinsip keadilan dan transparansi,” kata Dirjen Pelayanan Ibadah Haji Kemenag Zainal Abidin Sufi di Hotel Sheraton Media, Jakarta.
Zainal menambahkan, untuk tahun ini jumlah jamaah yang ditampung di ring satu jauh lebih banyak yakni sebesar sebanyak 125.845 jamaah atau sekira 63 persen. Sementara jamaah di ring dua atau berjarak sekira empat kilometer dari Masjidil Haram sebanyak 75.010 jamaah atau hanya 37 persen.
Dengan fakta tersebut, maka pelayanan pemondokan tahun ini jauh lebih baik, karena tak ada jamaah yang ditempatkan di ring tiga.
Sementara untuk pemondokan di Madinah, ditentukan majmuah (grup pelayanan) berdasarkan jadwal kedatangan dan siklus masa tinggal jamaah selama di Madinah. Dengan durasi tinggal selama delapan hari.
“Ditargetkan penempatan jamaah (di Madinah) meningkat dibandingkan tahun lalu,” ujarnya. (sm/arrahmah.com)