(Arrahmah.com) – Jika ingin negeri ini selamat, mari kembalikan Indonesia pada dasar Islam! Jangan lagi mau dikhianati…
Umat Islam di negeri ini tak akan pernah lupa, betapa politik kaum sekular begitu khianat dengan menelikung kesepakatan luhur (gentlement agreement), Piagam Jakarta. Sehari pasca kemerdekaan, lobi-lobi politik kelompok sekular dan Kristen berhasil menghapuskan sebuah tonggak sejarah bagi penegakan syariat Islam di negeri ini.
Ya, hanya sehari pasca proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri, tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini pada 22 Juni 1945, yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dihapuskan oleh tipu licik kelompok yang tidak menginginkan syariat Islam tegak di negeri ini.
Inilah tragedi besar dalam sejarah perjuangan umat Islam Indonesia, yang pada masa revolusi fisik berjuang dan bercita-cita, jika nanti negeri ini merdeka, mereka menginginkan kemerdekaan ini dilandaskan pada sistem Islam. Tak heran jika, Haji Agus Salim, tokoh nasional bangsa ini, dengan lantang dan tegas mengatakan, cita-cita kemerdekaan bangsa ini adalah kemerdekaan dalam bingkai dan semangat keislaman.
Apakah ini sebuah cita-cita yang berlebihan? Silakan bentangkan fakta-fakta sejarah dengan kejujuran, siapa sesungguhnya yang lebih banyak berjuang dan menggerakkan perlawanan dalam mengusir penjajah? Siapa yang merekatkan tali persatuan dalam menggelorakan semangat perjuangan mengusir bangsa asing yang datang merampas kekayaan negeri ini?
Inilah bentangan fakta-fakta sejarah yang bisa menjawab pertanyaan tersebut…
Perlawanan umat Islam misalnya bisa dilihat dalam perjuangan yang dilakukan KH Zainal Musthafa di Tasikmalaya, Jawa Barat, Kiai Subki di Wonosobo, Imam Bonjol di Sumetera Barat (1821-1837), Pangeran Diponegoro (1825-1830), Perang Sabil di Aceh (1837-1904), serta perlawanan para sultan dari kerajaan-kerajaan Islam yang mengerahkan pasukannya untuk mengusir penjajah. Semua perang yang terjadi bersukma dari seruan jihad, dengan motor penggerak para pejuang Islam.
Perang Sabil yang berlangsung di Aceh, dan digerakkan oleh Teungku Cik Di Tiro, Tengku Umar dan Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1904 misalnya, adalah jihad melawan apa yang disebut oleh mereka sebagai kape-kape (kafir-kafir) Belanda. Perlawanan sengit yang dalam catatan sejarah terekam dalam hikayat perang Sabil itu mampu menjadikan Aceh sebagai daerah yang sulit ditaklukkan oleh penjajah.
Saat kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sudah bertekuk lutut pada bangsa kolonial, yaitu Inggris, Portugis, dan Belanda, daerah berjuluk Serambi Mekkah itu justru sulit ditaklukkan hingga akhir abad ke-18. Ruhul jihad rakyat Aceh yang tangguh menggema hingga pelosok Nusantara.
Pada masa selanjutnya, para ulama Aceh, di antaranya Tengku Muhammad Daud Beureueh, terus menggelorakan semangat jihad melawan penjajah. Daud Beureueh menyebut perlawanannya sebagai “perang Aceh dalam bentuk baru”, dengan terlebih dahulu menyiapkan kader-kader pejuang yang sebelumnya digambleng dalam pusat-pusat pendidikan Islam (dayah).
Dari dayah inilah lahir pejuang-pejuang tangguh yang berperan aktif mengusir penjajah, baik menjelang pendudukan militer Jepang, maupun pada masa revolusi tahun 1945.
Tengku Daud Beureueh yang juga tokoh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), mengorganisir gerakan bawah tanah untuk melakukan pemberontakan terhadap Belanda di seluruh pelosok Tanah Rencong. Maka, pada tahun 1942, pecah pemberontakan di beberapa wilayah Aceh yang dimotori para ulama, hingga seluruh tentara Belanda hengkang dari tanah Aceh.
Selain itu, semangat untuk mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, juga terus diserukan oleh para ulama di Serambi Makkah.
Pada 15 Oktober 1945, seruan untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang berusaha merebut Pangkalan Brandan di Sumatera Utara, bergema di Aceh. Para ulama yang terdiri dari Tengku Haji Hassan Krueng Kalee, Tengku Haji Muhammad Daud Beureueh, Tengku Haji Jakfar Shiddiq Lamjabat, dan Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, mengeluarkan seruan jihad kepada rakyat Aceh untuk berjuang mengangkat senjata melawan penjajah.
Berikut isi seruan para ulama tersebut:
“…Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Belanda adalah satu kerajaan kecil serta miskin. Satu negeri yang kecilnya, lebih kecil dari negeri Aceh yang hancur lebur. Mereka telah bertindak melakukan pengkhianatan kepada tanah air kita Indonesia yang sudah merdeka untuk dijajah kembali. Kalau maksud jahanam itu berhasil, maka pastilah mereka akan memeras segala lapisan rakyat, merampas segala harta benda negara dan harta rakyat, dan segala kekayaan yang kita kumpulkan selama ini akan musnah. Mereka akan memperbudak rakyat Indonesia dan menjalankan usaha untuk menghapus Islam kita yang suci serta menindas dan menghambat kemuliaan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Menurut keyakinan kami, perang ini adalah perjuangan suci yang disebut ‘Perang Sabil’…”
Selain di Aceh, kontribusi dan pengorbanan umat Islam juga menjadi spirit kemerdekaan di beberapa daerah lain di tanah air. Dalam catatan sejarawan Muslim, Ahmad Mansyur Suryanegara, proklamasi Indonesia yang terjadi pada 17 Agustus 1945, dan bertepatan dengan 19 Ramadhan 1364 H, juga tak lepas dari dorongan para ulama kepada Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Mansyur, sebelum memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno menemui para ulama, di antaranya para ulama di Cianjur Selatan, KH Abdul Mukti dari Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy’ari dari Nahdlatul Ulama.
Tapi apa mau dikata, air susu dibalas air tuba. Piagam Jakarta yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi kaum Muslimin di negeri ini, dihapuskan sehari pasca proklamasi. Padahal, menurut keterangan Jenderal Abdul Haris Nasution, Piagam Jakarta lahir di antaranya berdasarkan dorongan dari ratusan ulama yang menginginkan umat Islam hidup diatur dengan syariat Islam.
Karena itu, Jenderal Besar AH Nasution pernah menyatakan, “Dengan hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur..”
Inilah pengkhianatan yang sungguh memilukan bagi umat Islam. Allahyarham Dr Mohammad Natsir menyatakan, tanggal 17 Agustus 1945 kita bertahmid, mengucap syukur karena negeri ini telah diberi kemerdekaan atas rahmat Allah SWT. Namun, sehari setelah itu, kata Natsir, umat Islam beristighfar, karena perjuangannya selama ini dikhianati.
Bahkan, dengan kalimat yang lebih tegas, Allahyarham Buya Hamka pernah menyatakan, “Mari kita berpahit-pahit, kaum Muslimin
belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.”
Jadi, mari kita kembalikan Indonesia pada dasar Islam, pada semangat dan perjuangan menegakkan Islam!
Sumber: Artawijaya – Salam-Onine.com
*Sebagian besar sumber artikel ini berasal dari buku “Dilema Mayoritas” yang ditulis oleh Artawijaya
(saif al battar/arrahmah.com)