KABUL (Arrahmah.com) – Seorang pria yang mengaku anggota utama Taliban telah menyerukan diakhirinya perang 10-tahun di Afghanistan dan bersedia untuk melakukan pembicaraan damai, meminta pembebasan para tahanan dan mengakhiri sanksi terhadap para pemimpin pemberontak, AFP melansir pada Kamis (16/8/2012).
“Semua pihak harus menghentikan pertempuran dan menyelesaikan perbedaan melalui dialog dan negosiasi,” tulis Mullah Agha Jan Motasim, yang menyatakan bahwa sampai 2009 ia memimpin komite politik dan masih berpengaruh di beberapa kalangan Taliban, dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke AFP.
Motasim, yang menjadi menteri keuangan dalam rezim Taliban 1996-2001, menyambut “langkah awal penting” dari semua pihak, seperti pencabutan sanksi PBB terhadap anggota rezim sebelumnya, dan mengatakan bahwa sebagai hasilnya Taliban “cenderung memilih ke arah dialog”.
Tapi ia meminta PBB dan Amerika Serikat untuk menghapus sisa nama Taliban dari daftar hitam dan menuntut pembebasan segera pemimpin Taliban dari Guantanamo Bay.
“Kami percaya bahwa langkah-langkah yang akan dibantu oleh masyarakat internasional dalam membawa perdamaian dan stabilitas dan akan menjadi sumber membujuk pemimpin Imarah Islam,” tulisnya.
PBB menghapus nama Motasim dari daftar sanksi pada 19 Juli lalu. Motasim dianggap sebagai suara moderat dalam gerakan yang semakin terpecah itu.
Ia ditahan pada tahun 2010 di Pakistan bersama dengan Mullah Ghani Baradar, tapi sementara Baradar masih dalam tahanan, Motasim segera dibebaskan. Setelah dia hampir dibunuh oleh orang bersenjata di Karachi, ia pindah ke Turki di mana ia dirawat.
Awal tahun ini, Motasim dinyatakan dikeluarkan dari kepemimpinan dan pengorganisasian Taliban karena mujahidin menolak seruan untuk perundingan perdamaian yang hanya menguntungkan pihak penjajah.
Dalam pernyataan terakhir, juru bicara Taliban mengatakan Motasim tidak lagi punya peran kepemimpinan dalam pemberontakan dan bahwa pernyataannya tidak mencerminkan posisi mereka.
Tapi Motasim tetap mengklaim ia masih merupakan bagian dari Taliban. (althaf/arrahmah.com)