(Arrahmah.com) – Imam Ibnu Asakir Ad-Dimasyqi menulis dalam kitab sejarahnya sebuah pengalaman menarik dari saudara khalifah Harun Ar-Rasyid, Ibrahim bin Mahdi. Ibrahim bin Mahdi mengisahkan, “Pada suatu hari saya sedang bersama amirul mukminin Harun Ar-Rasyid. Ia memanggil tukang masak istana.”
“Apakah engkau memasak daging unta?” tanya Harun Ar-Rasyid.
“Ya, beberapa jenis menu daging unta,” jawab si tukang masak.
“Jika begitu sediakan makanan dengan lauk daging,” perintah Harun Ar-Rasyid.
Tukang masak istana segera menghidangkan makanan dengan lauk daging di atas meja maka khalifah. Harun Ar-Rasyid mulai mengambil sepotong daging dan memasukannya ke mulutnya. Tiba-tiba mentri Ja’far Al-Barmaki tergerai dalam tawa.
Tawa sang mentri rupanya mengusik ketenangan Harun Ar-Rasyid. Daging yang sudah masuk ke mulut itu tidak jadi dikunyah. Harun memandang kepada sang mentri dengan heran.
“Kenapa engkau tertawa?” tanya Harun.
“Tidak ada apa-apa, wahai amirul mukminin. Saya hanya ingat dengan perbincangan antara saya dengan seorang budak perempyan saya tadi malam,” jawab sang mentri.
“Coba kau ceritakan perbincangan itu kepadaku!” perintah Harun.
“Sampai Anda mengunyah dulu, “jawab sang mentri.
Harun justru meletakkan daging itu. Ia kembali memerintah, “Demi Allah, engkau harus menceritakannya.”
Sang mentri balik bertanya, “Wahai amirul mukminin, menurut Anda, berapa harga daging unta ini?”
“Empat dirham, “jawab Harun dengan yakin. Harga sekilo daging unta saat itu di pasar memang empat dirham.
“Tidak, demi Allah wahai amirul mukminin. Harganya 400.000 dirham,” bantah sang mentri.
“Hah, kenapa bisa begitu?” tanya Harun dengan penuh keheranan.
“Sebelum masakan daging unta hari ini, Anda pernah meminta masakan daging unta dari tukang masak ini beberapa waktu yang lalu, sudah lama sekali. Saat itu tukang masak ini tidak memiliki daging unta. Maka aku katakana kepadanya: “Mulai hari ini, jangan sampai dapur istana tidak memiliki daging unta.” Sejak saat itu, setiap hari kami menyembelih seekor unta untuk dapur istana, karena kami tidak membeli daging unta dari pasar. Total biaya daging unta sejak hari tersebut sampai hari ini adalah 400.000 dirham. Ternyata sejak hari itu, amirul mukminin tidak pernah meminta masakan daging unta. Baru hari ini Anda memintanya,” kata sang mentri panjang lebar.
“Itulah sebab saya tertawa, “ujar sang mentri lagi. “Amirul mukminin hanya mencicipi sepotong daging ini saja, tapi amirul mukminin menanggung total biaya 400.000 dirham.”
Mendengar cerita sang mentri, ledakan tangis Harun Ar-Rasyid tak bisa dibendung lagi. Ia mencela dirinya sendiri, “Demi Allah, engkau telah binasa, wahai Harun.”
Harun memerintahkan pelayan untuk mengangkat jamuan makan itu dan mengembalikannya ke dapur istana. Harun masih juga menangis tersedu-sedu sampai muadzi mengumandangkan adzan Dhuhur. Ia segera berangkat ke masjid dan mengimami masyarakat. Setelah itu ia pulang ke istana dan kembali menangis.
Hari itu juga Harun memerintahkan pegawainya untuk menyedekahkan satu juta dirham kepada orang-orang miskin di kota suci Makkah, satu juta dirham kepada orang-orang miskin di kota suci Madinah, satu juta dirham kepada masyarakat Baghdad Timur, satu juta dirham kepada masyarakat Baghdad Barat, setengah juta dirham kepada orang-orang miskin di kota Kufah dan setengah juta dirham kepada orang-orang miskin di kota Basrah. Total pada hari itu Harun menyedekahkan lima juta dirham kepada orang-orang miskin.
Saat muadzin mengumandangkan adzan Ashar, Harun segera berangkat ke masjid dan mengimami masyarakat. Ia lalu pulang ke istana dan kembali menangi sampai tiba waktu Maghrib. Usai mengimami shalat Maghrib, ia pun pulang ke istana.
Saat itulah hakim agung, imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-qadhi, menemuinya. Ia bertanya, “Kenapa anda seharian ini menangis terus, wahai amirul mukminin?”
Harun pun menceritakan duduk perkara yang dialaminya, betapa ia telah mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk memenuhi syahwat perutnya. Padahal ia hanya menikmati satu potong daging saja, itu pun belum sempat ia kunyah dan rasakan kenikmatannya.
“Apakah daging unta yang setiap hari disembelih oleh tukang masak istana itu basi, ataukah dinikmati oleh masyarakat?” tanya qadhi Abi Yusuf.
“Daging-daging itu dibagikan kepada masyarakat,” jawab Harun.
Mendengar hal itu, qadhi Abu Yusuf segera menghibur Harun, “Jika begitu, bergembiralah wahai amirul mukminin, dengan pahala Allah atas harta yang anda belanjakan pada hari-hari yang telah lalu dan dimakan oleh kaum muslimin. Bergembiralah dengan kemudahan yang Allah karuniakan kepada Anda pada hari ini sehingga Anda bersedekah dalam jumlah sangat banyak kepada orang-orang miskin. Dan bergembiralah dengan rasa takut kepada Allah yang Allah karuniakan kepada Anda pada hari ini. Sungguh Allah telah berfirman,
{وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ}
“Dan bagi orang yang takut kepada kedudukan Allah ada balasan dua surga.” (QS. Ar-Rahman [55]: 46)
Harun gembira dengan nasehat qadhi Abu Yusuf. Ia memerintahkan pelayan untuk memberikan infak sebesar 400.000 dirham kepada qadhi Abu Yusuf. Harun lalu meminta pelayan untuk menghidangkan makanan. Hari itu, sarapan pagi dinikmati Harun sang khalifah yang adil di waktu malam.
Saudaraku seislam dan seiman….
Subhanallah, Harun Ar-Rasyid hanya sekali meminta masakan daging unta kepada tukang masaknya. Saat tukang masak tidak memiliki daging unta di dapur, Harun tidak marah, juga tidak memerintahkan pembantunya untuk membeli daging di pasar atau menyembelih unta sendiri. Setiap hari pegawai istana menyembelih unta dan memasak dagingnya tanpa sepengetahuan dan perintah Harun Ar-Rasyid. Hal itu berlangsung selama ratusan hari, sehingga total biaya pembelian unta berjumlah 400.000 dirham.
Saat hal itu ia ketahui, ia tidak memarahi sang mentri Ja’far Al-Barmaki maupun pegawai dapur. Tidak ada orang yang ia salahkan, selain dirinya sendiri. Ia merasa bersalah, karena telah menghambur-hamburkan harta hanya untuk memenuhi keinginan perutnya belaka. Ia merasa telah melakukan pemborosan. Maka ia menangis, menyesal dan memperbaiki diri dengan menginfakkan 5 juta dirham kepada orang-orang miskin di enam kota besar Islam. Padahal penyembelihan unta yang menghabiskan dana 400.000 dirham itu diatur oleh sang mentri, tanpa sepengetahuan dan perintah Harun sendiri!
Begitulah kehati-hatian seorang penguasa dan pejabat muslim dalam menggunakan harta pribadi, apalagi dalam mempergunakan harta negara. Ia bukanlah seorang kawan setia setan yang menghambur-hamburkan harta untuk kesenangan belaka. Ia tidak seperti orang kafir yang tujuan hidupnya hanya menikmati makanan mewah, minuman mewah, pakaian mewah, kendaraan mewah, apartemen dan puri mewah, kepuasan nafsu seksual dan fasilitas enak lainnya.
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ
Dan (ingatlah) hari kiamat (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan: “Kalian telah menghabiskan rezeki kalian yang baik dalam kehidupan duniawi kalian dan kalian telah bersenang-senang dengannya.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 20)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ
Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (QS. Muhammad [47]: 12)
Bulan suci Ramadhan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan Allah belum lagi berakhir. Namun banyak umat Islam yang fokus perhatiannya telah tertuju kepada aneka ragam makanan untuk Idul Fitri dan pakaian baru. Sementara fokus untuk memaksimalkan hari-hari terakhir Ramadhan dengan memperbanyak shalat, tadarus Al-Qur’an, sedekah dan amal kebaikan lainnya justru mengendor. Semoga kita tidak termasuk golongan muslim yang seperti itu. Wallahu a’lam bish-shawab
Referensi:
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, 14/34-35, Kairo: Dar Hajar, cet. 1, 1418 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)