TANJUNG BALAI (Arrahmah.com) – Kesaksian Kartini Panggabean melalui pengacaranya mengungkapkan kronologis penyerbuan Densus 88 ke rumah suaminya, Ustadz Khairul Ghazali di Tanjung Balai beberapa waktu lalu. Menurut keterangan yang diterima Waspada Online, kesaksian itu disampaikan Tim Kuasa Hukum keluarga Ghozali, Adil Akhyar, Ahmad Sofian, dan Ikhwan, Ketiganya bersaudara dengan Ghazali.
Menanggapi itu, Kepala Polda Sumatera Utara, Irjen Oegroseno, meminta pihak keluarga Ghazali untuk melapor ke Mabes Polri atas insiden yang dialami itu. Jika ada penyimpangan secara prosedur yang dilakukan Tim Densus 88 saat menjalankan tugas, pasti akan ada langkah hukumnya.
“Kalau ada indikasi kesalahan secara prosedural dalam penangkapan dan penggrebekan itu, akan ditangani oleh Propam Mabes,” kata Oegroseno.Inilah pengakuannya sebagai mena dikutip Waspada Online, Senin, (27/9).
Berikut keterangan yang disampaikan:
Nama saya Kartini Panggabean, kelahiran 20 Februari 1980. Panggilan saya Cici, anak-anak memanggil saya Ummi. Saya adalah isteri dari Ustadz Ghozali, anak-anak memanggilnya Buya, saya memanggilnya Bang Jali. Saya tinggal bersama suami saya di di Jalan Bunga Tanjung Gang Sehat. Saya bersama Bang Jali tinggal bersama empat anak kami. (Umar Shiddiq, Raudah Atika Husna, Ahmad Yasin dan Fathurrahman).
Bang Jali lahir tahun 1963, tamat SD 1971. Kemudian bang Jali Masuk SMP Muhammadiyah di Sei. Sikambing Medan. Bang Jali tidak tamat SMP, berhenti karena protes terhadap sekolah SMP di Indonesia memakai celana pendek (tidak menutup aurat) Secara otodidak Bang Jali belajar menulis.
Dia menjadi kolumnis tetap di beberapa surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian Bang Jali ke Malaysia selama 10 tahun. Aktif menjadi wartawan di majalah Islam.
Tahun 1996-2000 bang Jali pulang ke Indonesia menetap di Medan membuka kursus komputer, kemudian ke Malaysia lagi pada tahun 2000-2004 bekerja sebagai penulis buku di beberapa penerbitan. Sejak 2004-2010 menetap di Tanjungbalai sebagai penulis buku-buku agama yang produktif dan semua diterbitkan di Malaysia, lebih kurang 50 judul buku. Ada satu judul buku yang diterbitkan di Indonesia. Selain menulis, Bang Jali juga berprofesi sebagai pengobat tradisional (bekam). Bang Jali juga mengisi pengajian.
Sejak satu bulan terakhir (bulan Agustus 2010), Bang Jali tidak pergi ke mana-mana, atas permintaan saya selaku Ummi anak-anak, alasan saya karena saya sedang hamil tua, hari-hari menjelang persalinan sudah kian dekat. Saya meminta Bang Jali untuk menemani saya melahirkan.
Begitu pun, seingat saya Bang Jali sekali ada pergi ke Medan awal Agustus ke Medan. Itu pun karena menjenguk ibunya di salah satu rumah sakit di Medan. Saya melahirkan anak putera saya yang keempat pada tanggal 28 Agustus 2010 (usianya 3 minggu).
Sejak saya melahirkan bayi yang kami beri nama Fathurrrahman Ramadhan itu, Bang Jali juga tidak ada pergi ke mana-mana karena saya tidak ada teman di rumah.
Di saat waktu Maghrib, hari Minggu sekitar jam 18.45 WIB menjelang Senin malam, tanggal 19 September 2010, saya, bayi saya, dua perempuan dewasa (istri Abu dan teman Deni), Buya, Dani, Deni, Alek, Abdullah, dan 2 orang lagi anak tamu (salah satu dari dua perempuan dewasa), berada di rumah. Jadi, di dalam rumah tersebut 10 orang, terdiri dari 5 laki-laki dewasa, 3 perempuan dewasa, 3 anak-anak. Saat adzan Maghrib terdengar, Bang Jali bersiap-siap melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Bang Jali, Deni, Deden, Alek, Abu mengambil wudhu. Saya bilang kepada Bang Jali, Buya bajunya diganti saja, basah kena air wudhu. Saya berada di ruang tamu, menyusukan anak saya Fathur.
Bersama saya dua perempuan dewasa. di dekat pintu depan rumah, pintu rumah kami hanya di depan, rumah kami tidak ada pintu belakang. Saya memanggil ketiga anak untuk pulang ke rumah, karena sudah masuk waktu Maghrib. Bang Jali dan empat temannya mulai melaksanakan sholat Maghrib berjamaah dengan Bang Jali sebagai imamnya. Mereka sholat di ruang belakang dekat dapur.
Dani, usianya sekitar dua puluh lima tahun tahun adalah murid mengaji Bang Jali. Kerjanya sehari-hari menjahit gorden, dia tinggal di Tanjung Balai. Dani membawa dua orang temannya, Alek (30 tahun) dan Deni (20 tahun) ke rumah. Bang Jali sebelumnya tidak mengenal kedua orang itu. Sejak saat itu, Deni dan Alek menginap di rumah. Tapi Dani tidak menginap di rumah. sedangkan alek dan deni saya tidak mengenalnya.
Mengenai Abu, atau Abdullah (35 tahun), saya tidak jelas orang mana berasalnya. Jadi Deni dan Alek sudah menginap 2 minggu di rumah kami, kedatangan mereka ke Tanjungbalai karena rencana mau cari kerja, saat itu mau hari hari raya. Bang Jali bilang ini sudah dekat hari raya, tidak mungkin ada kerjaan.
Tunggulah habis hari raya. Jadi mereka di rumah kerjanya hanya makan tidur. Seingat saya selama ini tidak ada kegiatan yang mencurigakan.
Tiba-tiba sebuah mobil datang, terdengar suara dari luar ada orang berteriak, “keluar!” Saat itu ketiga anak saya masih bermain di rumah tetangga. Saya mau memanggil anak-anak untuk pulang, saya pun berjalan menuju pintu depan rumah. Saya menyuruh mereka masuk, tapi mereka tidak mau masuk, saya sempat melihat wajah mereka seperti ketakutan. Saya terkejut karena pas saya di depan pintu saya lihat sudah turun dari mobil 30 orang bersenjata.
Anak-anak saya diam tak bersuara. Densus 88 langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah dengan bersenjata. Mereka semuanya ada sekitar 30 orang membawa senjata. Mereka dari samping sebagian, masuk ke dalam rumah sebagian, sambil melepaskan tembakan.
Saya sambil menggendong bayi saya, dua perempuan dewasa serta anak-anaknya ditodongkan senjata sama Densus 88. Sepasang daun pintu rumah kami ditunjang (ditendang) sama Densus 88. Tidak ada baku tembak, tidak ada perlawanan dari dalam rumah, karena Bang Jali sedang sholat, sedang membaca surah al-Qur’an sehabis membaca surah al-Fatihah.
Tiba-tiba tiga makmum (Alek, Deni dan Dani) keluar dari shaff (membatalkan sholat mereka) karena mendengar suara ribut tembakan dan segera mengetahui datangnya orang-orang bersenjata. Alek, Dani dan Deni lari menuju kamar mandi. Alek keluar dengan membobol seng (atap) kamar mandi. Orang-orang yang sudah masuk rumah menembaki mereka. Deni dan Dani ditembaki secara membabi buta sewaktu mereka di depan kamar mandi.
Saya, dua perempuan dewasa yang bersama saya, bayi saya yang berumur 20 hari, dan anak tetangga yang balita itu menyaksikan kejadian itu. Jadi dua orang ditembak di kamar mandi, satu orang lagi lari. Bang Jali dan seorang makmumnya, Abu masih tetap melanjutkan sholat, walaupun orang-orang bersenjata itu sudah masuk ke dalam rumah, di ruang belakang dekat dapur. Bang Jali tetap melanjutkan membaca surah al-Qur’an.
Tapi orang-orang bersenjata itu langsung menarik paksa Bang Jali, sholat Bang Jali dihentikan secara paksa. Buya ditunjangi (ditendang) saat sholat kemudian dipijak-pijak (diinjak-injak) hingga babak belur. Saya kasihan melihat Bang Jali karena saat itu dia sedang sakit batuk. Bang Jali diseret sama Densus, bang Jali tak henti-hentinya meneriakkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Saya masih dalam todongan senjata bersama dua perempuan dan tiga anak-anak. Kami langsung disuruh ke rumah tetangga sambil ditodong. Saya digiring ke rumah tetangga sambil ditodong senjata, di rumah tetangga. Anak-anak saya dari tadi memang berada di situ. Saya dan anak-anak saya bisa mengintip (melihat dari sela-sela atau lobang) kejadian yang terjadi di rumah kami dari rumah tetangga. Anak-anak saya berteriak-teriak tidak tak henti-hentinya.
“Ummi, Ummi itu Buya, itu Buya.” Anak-anak memberitahu saya mereka melihat Buya mereka dipijak-pijak (diinjak-injak). Mereka menembaki rumah kami dengan membabi buta, walaupun saya sangat yakin Bang Jali tidak ada senjata. Bang Jali hanya terus bertakbir, Allahu akbar, hanya itu yang bisa Bang Jali lakukan.
Mereka menembaki saja walau tidak ada perlawanan. Dari luar mereka menembaki, di dalam juga menembaki, mereka dalam waktu satu jam itu menembak terus dengan membabi buta. Tiba-tiba ada yang menggiring saya keluar, saya dibawa ke mobil Densus 88.
Saya terus menengok (melihat) ke arah Bang Jali tapi sudah tidak terlihat. Saya tengok (lihat) suami kawan saya (Abu) dibawa ke mobil tak berapa lama. Densus membentak saya menanya saya di mana tas Bang Jali. Saya jawab (katakan), “Tengok saja sendiri.” Mereka semua penakut, saya yang disuruh mengambil tas Bang Jali, mereka takut granat, padahal tidak apa-apa di tas Bang Jali.
Satu jam kemudian polisi (dari Polresta Tanjung Balai) datang ke sana, polisi pun rupanya tahu apa-apa mengenai kejadian itu. Densus pergi begitu saja. Saya tidak tahu informasi ke mana Bang Jali dibawa, apakah Bang Jali dibawa ke Medan atau kemana.
Dari pihak Polres malah menanyakan sama saya ke mana Bang Jali dibawa Densus. Saya dinaikkan ke mobil Patroli Polresta Tanjungbalai dibawa ke kantor Polresta Tanjungbalai. Saya tidak dikasih pulang ke rumah.
Esok hari, tanggal 20 September, saya masih tidak dikasih pulang. Sebagian besar anggota Polres Tanjung Balai memperlakukan saya dengan baik, mereka kasihan melihat saya karena menengok anak saya kecil (bayi), tapi ada juga polisi di sini yang jahat dan memperlakukan saya sewenang-wenang.
Saya ingin tahu kabar suami saya. Saya lihat ada koran, saya ambil untuk saya baca. Polisi berpakaian preman itu merampas koran itu dari tangan saya. Hati saya sangat sakit, tapi saya diam saja. Kapolresta baik sama saya. Dia menanyakan saya, apakah mau pulang ke rumah mengambil baju?
Saya sudah bilang sama penyidik cemana (macam mana) ini, Pak, kalau saya masuk tahanan jelas status saya, tapi di sini saya tidak jelas sebagai apa, saya tidak tahu apa-apa. Kata penyidik tunggu kabar dari Medan saja, baru saya kasih informasi di sini.
Saya sedih karena Bang Jali tak bisa dijumpai, karena dia sudah babak belur dipijak-pijak dua puluhan orang. Mereka main serbu saja, mereka itu begitu datang tak ada basa-basi lagi. Dinding rumah kami rusak. Polisi pun tidak boleh lewat-lewat di situ selama satu jam itu.
Padahal kan semua pakai peraturan. Polresta Tanjungbalai membantu saya mempertemukan saya dengan keluarga saya agar anak-anak saya yang empat orang tidak tinggal di tahanan. Saya dipinjamkan telepon sama Polisi untuk menelepon adiknya agar saya bisa menitipkan anak-anak saya kepada keluarga kecuali yang bayi tetap bersama saya, karena dia masih saya susukan umurnya kan baru 3 minggu.
Pada 20 September 2010 sekitar jam 09.00 WIB pagi saya pertama kali menghubungi keluarga. Saya mengasih tahu, saya sekarang di Polresta Tanjung Balai, tidak boleh keluar dari sini karena saya kata polisi dijadikan saksi. Adik saya ke ke Tanjung Balai hari Senin, 20 September itu juga, adik saya menjenguk saya. Kondisi saya sudah beberapa hari tetap tak jelas, tidak dikasih pulang, padahal saya sudah di BAP hari Minggu sampai sekarang tidak keluar-keluar.
Tidak jelas, tidak boleh pulang, soalnya tidak ada yang mau datang menjenguk saya, adik saya pun hanya datang untuk mengambil si Umar, dibawa ke sana, kasihan bang Jali. Di sini saya bayi saya tidur dan hidup di sebuah ruangan yang menyerupai gudang kertas-kertas, hanya beralas tikar plastik, kasihan Fathur (bayi saya), baru 3 minggu usianya. (hid/arrahmah.com)