(Arrahmah.com) – Ia seorang hartawan yang hidup bergelimang harta. Ia baktikan hidupnya untuk Allah dan dien-Nya. Sejak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi mengumandangkan dakwah Islam di Makkah, ia termasuk orang yang pertama kali menyambutnya tanpa ragu-ragu. Karena keislamannya pula, ia mengalami berbagai siksaan hingga harus berhijrah dua kali. Sekali ke bumi Habasyah dan kali lainnya ke Madinah.
Ia dimuliakan Allah dengan menjadi menantu baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Tidak tanggung-tanggung, ia menikahi dua putri beliau shallallahu ‘alaihi wa salam. Ruqayyah binti Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dinikahinya saat berada di Makkah dan turut menyertainya hijrah ke Habasyah. Saat Ruqayyah meninggal, ia menikahi Ummu Kultsum binti Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam di Madinah.
Ia infakkan harta yang demikian banyak demi membiayai pasukan Islam dan memenuhi kebutuhan umum kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam member kabar gembira surga untuknya. Ia termasuk golongan sahabat penghafal Al-Qur’an dan hadits. Dan ia diangkat menjadi khalifah kaum muslimin sepeninggal khalifah Umar bin Khathab. Dialah dzun-nurain, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Pada diri sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu terhimpun semua bentuk kemuliaan di dunia; ilmu, amal, harta, kemuliaan nasab dan jabatan. Ia seorang ulama, hartawan, bangsawan, ahli ibadah dan pemimpin tertinggi kaum muslimin. Pada dirinya juga terhimpun semua bentuk kemuliaan di akhirat; ulama, mujahid, veteran Badar, munfiq (dermawan), muhajir, muttaqi (orang yang bertakwa), syahid dan ahli surga.
Meski Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu memiliki semua kemuliaan yang diangankan setiap orang, ia sama sekali tidak sombong dan membanggakan dirinya. Kehidupannya sampai akhir hayatnya diwarnai dengan kerendahan hatinya di hadapan manusia dan Rabbnya.
Abdullah Ar-Rumi menuturkan, “Jika bangun di waktu malam untuk menunaikan shalat malam, Utsman bin Affan mengambil air wudhunya sendiri. Atas tindakannya itu, ia sering ditanya, “Kenapa engkau tidak menyuruh pembantu saja untuk mengambilkan air wudhu?” Utsman menjawab, “Tidak, waktu malam adalah milik mereka, biarkan mereka beristirahat.”
Subhanallah, meski usianya sudah sangat tua dan ia memiliki kedudukan social yang sangat tinggi, ia tidak berbuat sombong dan semena-mena. Ia bisa saja membangunkan pembantu dan memerintahkannya untuk mengambilkan air wudhu. Namun ia tidak melakukan hal itu. Ia membiarkan mereka menikmati istirahat malamnya setelah bekerja di waktu siang. Padahal khalifah Utsman sendiri juga seharian bekerja mengurus persoalan kaum muslimin.
Seorang anak Said bin Yarbu’ Al-Makhzumi bercerita, “Pada suatu siang yang terik, saya dan seorang anak kawan sepermainan saya pergi ke masjid. Saya membawa seekor burung merpati yang saya terbangkan di dalam masjid. Saat itu masjid nabawi tengah dipugar. Di dalam masjid ada seorang laki-laki tua yang tampan wajahnya, tengah tidur, dengan berbantalkan sebuah batu bata. Saya mendekat kepadanya dan berdiri di dekatnya, melihat ketampanan laki-laki tua itu. Tiba-tiba laki-laki tua itu terbangun dan membuka kedua matanya.
“Siapa engkau, wahai anak kecil?” tanyanya kepadaku.
Aku pun memberitahukan kepadanya siapa namaku. Maka laki-laki tua itu memanggil seorang budak yang juga tidur di dekatnya. Namun budak itu tidak menjawab, rupanya ia tertidur dengan nyenyak.
“Tolong bangunkan dia,” katanya kepadaku.
Aku pun membangunkan budak itu. Laki-laki tua itu menyuruh budak itu untuk pergi dan melakukan sesuatu.
“Duduklah engkau di sini,” kata laki-laki tua itu kepadaku.
Tak lama kemudian budak itu datang membawa sebuah baju yang bagus dan uang sebanyak 1000 dirham. Laki-laki tua itu lantas melepas baju yang aku kenakan, dan ia mengenakan baju yang bagus di tangan budak itu kepadaku. Lalu ia memasukkan uang 1000 dirham itu ke kantong baju indah yang kini aku kenakan.
Aku begitu gembira dengan pemberian laki-laki tua itu. Aku segera lari pulang ke rumah dan menceritakan apa yang aku alami kepada ayahku.
“Wahai anakku, siapa yang memberimu semua ini?” tanya ayah.
“Aku tidak tahu namanya, ia seorang laki-laki tua yang tampan di masjid.”
“Itu amirul mukminin Utsman bin Affan,” seru ayahku. (Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al- Bidayah wan Nihayah, 10/387)
Subhanllah, seorang khalifah tidur di lantai masjid nabawi di tengah siang yang terik, setelah kecapekan mengawasi proses perluasan dan renovasi masjid nabawi. Ia tidur berbantalkan bahan bangunan, sepotong batu bata, tanpa kasur permadani, tanpa selimut, tanpa AC dan kipas angin, bahkan tanpa pengawal. Sungguh sebuah kerendahan hati yang membuat orang yang tidak mengenalnya tidak akan menyadari bahwa dirinya adalah khalifah kaum muslimin!
Allah Ta’ala menyebutkan salah satu akhlak orang yang bertakwa adalah kerendahan hati dan kebersahajaan. Sebaliknya, kesombongan dan kemegahan adalah sifat Iblis dan para sekutu setan. Tidak diragukan lagi bahwa khalifah Utsman belajar kerendahan hati dan kebersahajaan dari sang mertua, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Tentang kerendahan hati dan kebersahajaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْلِسُ عَلَى الْأَرْضِ، وَيَأْكُلُ عَلَى الْأَرْضِ، وَيَعْقِلُ الشَّاةَ، وَيُجِيبُ دَعْوَةَ الْمَمْلُوكِ عَلَى خُبْزِ الشَّعِيرِ
“Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam biasa duduk di atas lantai tanah, makan di atas lantai tanah, mengikat domba dan memenuhi undangan seorang budak meski hanya undangan makan roti dari tepung gandum.” (Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mamba’ul Fawaid no. 14222 berkata: Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan sanad hasan)
Sahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ حَدِيثُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ يُكْثِرُ الذِّكْرَ، وَيُقَصِّرُ الْخُطْبَةَ، وَيُطِيلُ الصَّلَاةَ، وَلَا يَأْنَفُ، وَلَا يَسْتَكْبِرُ أَنْ يَذْهَبَ مَعَ الْمِسْكِينِ وَالضَّعِيفِ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ حَاجَتِهِ»
“Pembicaraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam biasanya adalah bacaan Al-Qur’an, beliau banyak berdzikir, ceramahnya pendek, shalatnya lama, tidak sungkan dan tidak merasa sombong (enggan) untuk pergi bersama orang yang miskin dan orang yang lemah sampai beliau selesai memenuhi kebutuhan orang tersebut.” (Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mamba’ul Fawaid no. 14216 berkata: Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan sanad hasan)
Bagaimana dengan kesederhanaan, kebersahajaan dan kerendahan hati para pemimpin sekuler pada zaman sekarang? Bagaimana dengan kesederhanaan, kebersahajaan dan kerendahan hati para ulama, mubaligh dan tokoh Islam pada zaman sekarang? Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana dengan kesederhanaan, kebersahajaan dan kerendahan hati pribadi kita sendiri pada zaman sekarang? Semoga kita bisa meraihnya pada bulan suci Ramadhan yang penuh berkah, rahmat dan maghfirah Allah Ta’ala ini. Amien.
Refrensi:
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, Kairo: Dar Hajar, cet. 1, 1418 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)