PAKISTAN (Arrahmah.com) – Setiap malam, kaum Muslimin di Waziristan, Pakistan dipenuhi rasa takut akan serangan-serangan drone AS yang sering menghujani mereka rudal pada malam hari.
Ketakutan tersebut hingga membuat sebagian Muslim di daerah kesukuan Waziristan tidak melaksanakan shalat wajib dan Tarawih di Masjid pada bulan Ramadhan ini.
“Ini sangat disayangkan, tetapi benar, banyak orang termasuk saya sendiri tidak melaksanakan Tarawih tahun ini karena takut akan serangan drone,” kata Rahat Dawar, seorang penduduk Dattakhel, sebuah kota kecil di Utara Waziristan, kepada Onislamnet.
Dattakhel adalah salah satu daerah yang menjadi target utama serangan drone salibis. Pada 2004, laporan menunjukkan ratusan warga sipil di daerah kesukuan tersebut, termasuk wanita dan anak-anak, telah menjadi korban serangan drone.
“Drone biasanya menargetkan perkumpulan yang menganggap mereka adalah pertemuan Taliban,” kata Dawar. “Tetapi, mereka tidak selalu mencapai target mereka,” tambahnya, menunjukkan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil biasa.
AS telah melancarkan serangan drone di wilayah kesukuan Waziristan yang berbatasan dengan Afghanistan dengan dalih untuk mengintai dan membunuh Mujahidin Al-Qaeda dan Taliban, namun saksi mata mengatakan kebanyakan yang menjadi korban adalah warga sipil tak bersenjata.
Dalam tahun ini saja, yang baru menginjak bulan ke-7, lebih dari 300 orang telah gugur akibat sekitar 29 serangan drone di utara dan selatan Waziristan.
Menurut investigasi New American Foundation dan Pemerhati Hak Asasi Manusia, hampir 50 persen serangan drone AS menargetkan orang-orang tak bersalah.
Pakistan telah ‘mengutuk’ serangan drone AS di hadapan publik, menyebut AS kontraproduktif dalam misi yang mereka sebut ‘war on terror’.
Namun, para analis yakin bahwa ada kesepakatan diam-diam antara AS dan Pakistan, karena Islamabad di depan umum mengecam serangan tersebut tetapi tidak melakukan tindakan apapun untuk melawan AS atau menghentikan serangan tersebut.
Hingga kini, predator tanpa awak itu masih bebas berterbangan di atas rumah-rumah warga sipil, yang membuat mereka panik.
“Baik siang hari atau malam hari, anda melihat drone terbang di daerah ini hampir dua atau empat kali sehari,” kata Rahat. “Saya hendak pergi melakukan Tarawih pertama, tetapi suara-suara berisik drone yang terbang di atas kepala kami, membuat saya terganggu.”
“Setiap kali Saya rukuk, Saya merasa drone akan menembakkan rudalnya, dan Saya tidak akan memiliki kaki saya lagi,” Rahat membayangkan.
Ancaman kematian tiba-tiba
Ancaman kematian tiba-tiba akibat serangan drone telah membuat sebagian warga sipil ketakutan. Gul Wazir Dawar, seorang penduduk di kota Ghulam Khan, yang berbatasan dengan provinsi Khost Afghanistan, juga berhenti melaksanakan shalat Tarawih di luar rumah karena takut serangan drone.
“Saya merasa malu karena Saya tidak pergi melakukan shalat hanya karena takut mati,” kata Gul, yang berprofesi sebagai seorang pedagang, kepada Onislamnet.
“Drone tidak dapat memahami apakah ini sebuah pertemuan militan atau perkumpulan keagamaan (ibadah berjama’ah). Mereka hanya menembakkan rudal-rudal,” ungkap Gul, mengkonfirmasi bahwa drone AS melakukan serangan secara membabi buta.
Satu setengah tahun lalu, sebuah drone AS menyerang sebuah perkumpulan para tetua suku (Jirga) di dekat Miranshah, ibukota Waziristan Utara, yang sedang mengadakan pembicaraaan untuk mencari solusi penyelesaian masalah lokal. Serangan ini menewaskan puluhan anggota suku dan anggota keamanan.
“Dan ini bukanlah akhir,” kata Gul. “Mereka yang berusaha mengambil mayat para korban yang hangus, drone menembaki mereka juga.”
Gul mengamati bahwa masih banyak Muslim di daerah padat penduduk yang masih melakukan shalat Tarawih di Masjid-masjid. Karena biasanya drone menyerang daerah kesukuan yang jauh dari kota, dengan dalih memburu ‘militan’.
“Tetapi orang-orang dari daerah seperti kami benar-benar berada dalam masalah,” katanya.
Bagi Gul, drone telah menghantui pikirannya. “Sepertinya suara-suara drone terbang telah menetap di pikiran saya,” katanya.
“Kami memilih untuk melaksanakan shalat (wajib) dan Tarawih di rumah,” Gul menyesalkan.
Namun, banyak juga warga suku yang tidak takut serangan drone.
“Kami tidak aman dimanapun,” kata Hamid, seorang petani dari kota Dattakhel, kepada Onislamnet.
“Kematian dapat menghampiri kita kapan saja dimana saja, jadi mengapa kami harus tinggalkan shalat (wajib) dan Tarawih di Masjid?.”
Hamid merasa bahwa shalat wajib dan sunnah shalat malam adalah obat dari berbagai gangguan psikologi yang dihadapi oleh Muslim Waziristan akibat serangan drone dan pertempuran.
“Kita harus berpikir positif. Allah telah memberikan kita Ramadhan yang lain. Tidak ada yang tahu apakah seseorang masih akan hidup di tahun depan,” katanya. “Oleh karena itu, kita tidak semestinya meninggalkan kesempatan ini hanya karena takut pada drone.”
“Ini, seharusnya, saatnya untuk mendekat kepada Allah, dan mencari rahmat Allah,” pungkas Hamid penuh harap. (siraaj/arrahmah.com)