(Arrahmah.com) – Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa pada suatu hari, seorang sahabat masuk ke dalam masjid. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam juga tengah berada dalam masjid, tepatnya di sudut masjid. Sebagai penghormatan terhadap masjid, sahabat tersebut melakukan shalat sunnah dua raka’at tahiyyatul masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam memperhatikan shalat sahabat tersebut.
Usai mengerjakan shalat, sahabat itu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab:
وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Wa’alaikas salam. Tolong ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau tadi belum shalat!”
Sahabat itu kaget dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Setahunya, ia telah mengerjakan shalat sejak takbir sampai salam dengan tertib sebanyak dua raka’at. Ia sangat ingat, barusan ia telah mengerjakan shalat. Mungkinkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tadi tidak melihat shalatnya sehingga beliau menyabdakan seperti itu? Namun ia tidak berani membantah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Dengan tanda tanya dalam hati, ia kerjakan juga perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia mengulangi shalatnya kembali, secara tertib dari takbir sampai salam, sebanyak dua raka’at.
Usai mengerjakan shalat, sahabat itu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab:
وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Wa’alaikas salam. Tolong ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau tadi belum shalat!”
Sahabat itu kembali terkejut. Keterkejutannya kali ini bahkan lebih besar dari keterkejutannya sebelumnya. Sangat jelas, ia baru saja melaksanakan shalat dua raka’at. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam masih juga menyatakan dirinya belum shalat. Dengan tanda tanya yang semakin besar dalam hati, ia laksanakan juga perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut. Ia menjauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, kemudian melaksanakan shalat dua raka’at secara tertib sampai salam.
Usai mengerjakan shalat, sahabat itu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab:
وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Wa’alaikas salam. Tolong ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau tadi belum shalat!”
Subhanallah! Tiga kali sahabat itu mengerjakan shalat, tiga kali pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan kepadanya untuk mengulang shalatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menganggap sahabat itu belum sekalipun melaksanakan shalat. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melihat sendiri sahabat itu tiga kali shalat secara lengkap dan tertib dari takbir sampai salam.
Sahabat itu akhirnya menyerah. Jika ia mengulangi lagi shalatnya, mungkin saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam akan memberikan komentar dan perintah yang sama: ulangi shalatmu karena sesungguhnya engkau tadi belum shalat! Akhirnya sahabat itu berkata dengan penuh harap:
وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، مَا أُحْسِنُ غَيْرَ هَذَا فَعَلِّمْنِي
“Demi Allah Yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, saya tidak bisa shalat selain seperti shalat yang tadi. (Jika apa yang saya kerjakan tadi salah), maka ajarilah saya!”
Dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengajari sahabat tersebut. Beliau bersabda,
«إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا»
“Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka lakukanlah wudhu’ dengan sempurna, kemudian menghadaplah kiblat dan ucapkanlah takbir, kemudian bacalah surat (ayat) Al-Qur’an yang mudah bagimu (yaitu setelah membaca surat Al-Fatihah), kemudian lakukanlah ruku’ sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam ruku’, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri secara sempurna, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu dan duduklah (di antara dua sujud) sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk (((dalam riwayat lain: kemudian berdirilah engkau sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam berdiri))), dan lakukanlah hal itu dalam seluruh (raka’at) shalatmu!”
Saudaraku seislam dan seiman…
Kisah di atas bukanlah sebuah kisah fiktif belaka. Ia adalah sebuah hadits yang diabadikan oleh para ulama hadits dalam induk kitab-kitab hadits. Imam Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih Bukhari sebanyak empat kali, yaitu pada nomor hadits ke-757, 793, 6251 dan 6667. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Shahih Muslim sebanyak dua kali, yaitu pada nomor hadits ke-397 dan 398. Imam Abu Daud meriwayatkannya dalam Sunan Abi Daud nomor hadits ke-856, imam Tirmidzi meriwayatkannya dalam Sunan Tirmidzi nomor hadits ke-303, Imam An-Nasai meriwayatkannya dalam Sunan An-Nasai nomor hadits ke-884, 1053 (dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ Al-Anshari) dan 1314 (juga dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ Al-Anshari), dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya dalam Sunan Ibnu Majah nomor hadits ke-1060.
Jika kita membuka induk kitab-kitab hadits selain enam induk kitab hadits (kutubus sittah) di atas, misalnya Musnad Ahmad, Mushannaf Abdur Razzaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Al-Hakim, Musnad Al-Bazzar dan Sunan Al-Baihaqi dan lain-lain; niscaya hadits di atas juga akan kita dapatkan.
Hadits tersebut mengajarkan kepada kita bahwa selain unsur gerakan anggota badan dan bacaan lisan, shalat juga memiliki rukun yang tidak boleh diabaikan, yaitu thuma’ninah. Thuma’ninah adalah melakukan setiap gerakan shalat secara sempurna, tenang dan diam beberapa saat sebelum melakukan gerakan shalat berikutnya. Shalat tidak boleh dikerjakan dengan cara menggebut bagai orang mau mengejar kereta dan asal cepat selesai saja.
Jika kita perhatikan shalat kaum muslimin saat ini, sungguh thuma’ninah telah ditinggalkan oleh banyak orang yang shalat pada zaman sekarang, baik ia shalat sendirian maupun shalat berjama’ah sebagai imam atau ma’mum.
Tengoklah bagaimana banyak imam shalat tarawih yang membaca surat Al-Fatihah dalam satu tarikan nafas saja, menurut istilah mereka, begitu cepat, tujuh ayat dibaca bersambung, tanpa pernah waqaf pada akhir ayat. Jangan tanyakan lagi keshahihan bacaannya menurut kaedah ilmu tajwid. Apalagi masalah memikirkan dan menghayati makna ayat-ayat yang dibaca. Adapun bacaan surat atau ayat-ayat setelah surat Al-Fatihah lebih cepat dan amburadul lagi jika ditimbang dengan kaedah ilmu tajwid.
Tengoklah bagaimana banyak imam shalat tarawih yang tidak melakukan thuma’ninah dalam ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Belum lagi ma’mum melakukan ruku’ dengan tenang dan membaca doa ruku’, sang imam telah melakukan i’tidal secara tepat. Tragisnya, belum lagi ia berdiri dengan sempurna dan membaca doa I’tidal, ia sudah bertakbir dan melakukan sujud secara cepat.
Bayangkan, makmum tidak diberi kesempatan untuk menegakkan punggung dan meluruskan tulang-tulangnya sehingga bisa thuma’ninah dalam i’tidal. Ma’mum tidak sempat membaca doa I’tidal. Bahkan, bacaan i’tidal imam menyatu dengan bacaan untuk sujud: sami’a Allahu akbar! Subhanallah, sampai lafal sami’allahu liman hamidah pun hanya terucap sami’a, karena telah disambung secara langsung dan cepat dengan takbir untuk sujud, Allahu Akbar.
Adapun dalam sujud dan duduk di antara dua sujud, imam memaksa para ma’mum untuk berlomba mematu-matukkan dahi mereka ke lantai tanpa sempat meletakkan tujuh anggota sujud, duduk di antara dua sujud dengan sempurna dan tenang, membaca doa sujud dan doa waktu duduk di antara dua sujud. Shalat dilakukan begitu tergesa-gesa seperti sekumpulan ayam yang berebutan mematuk biji-biji jagung di tanah. Tidak ada thuma’ninah sama sekali! Padahal sahabat Anas bin Malik radhiyallahu telah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِصَلَاةِ الْمُنَافِقِ: يَدَعُ الْعَصْرَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ – أَوْ عَلَى قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ – قَامَ فَنَقَرَهَا نَقَرَاتِ الدِّيكِ، لَا يَذْكُرُ اللهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا “
“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang cara shalat orang munafik? Orang munafik menunda-nunda shalat Ashar sehingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (hampir tenggelam dan masuk waktu Magrib, pent), ia berdiri melaksanakan shalat Ashar dan mematuk-matuk (dalam sujud) seperti patukan-patukan ayam jantan. Ia tidak berdzikir kepada Allah dalam shalatnya kecuali sedikit saja.” (HR. HR. Ahmad no.13589, Ibnu Hibban no. 260, Abu Ya’la no. 4642 dan Al-Bazzar, 18/163 no. 138. Dinyatakan shahih oleh syaikh Syuaib Al-Arnauth dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani)
Saudaraku seislam dan seiman…
Shalat adalah rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Shalat adalah tolok ukur kebaikan dan keburukan amal kita di akhirat kelak. Jika shalat kita dikerjakan dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah, khusyu’ dan thuma’ninah niscaya nilainya akan baik, dan dengan baiknya nilai shalat kita maka amalan-amalan kita yang lain akan dinilai baik oleh Allah Ta’ala. Demikian pula jika shalat kita belum memenuhi syarat, ruku, sunnah, khusyu’ dan thuma’ninah, niscaya nilai shalat kita akan buruk, bahkan bisa tidak sah. Akibatnya amalan-amalan kita yang lain juga akan dinilai buruk oleh Allah Ta’ala.
Para ulama menyebutkan bahwa thuma’ninah adalah salah satu rukun shalat. Jika shalat tidak dikerjakan dengan thuma’ninah, maka shalat tidak sah seperti ditegaskan dalam hadits di atas. Oleh karenanya marilah kita perbaiki shalat kita, dengan menyempurnakan syarta, rukun dan sunahnya serta melaksanakannya dengan thuma’ninah dan mengusahakan kekhusyu’an.
Allah Ta’ala telah memerintahkan thuma’ninah dan khusyu’ dalam shalat dengan firman-Nya,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat kalian dan peliharalah shalat wustha (shalat Ashar) serta berdirilah karena Allah (dalam salat kalian) dengan khusyu’!” (QS. Al-Baqarah [2]: 238)
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat maka mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan mereka tidaklah menyebut (mengingat-ingat) Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142)
Allah Ta’ala juga menerangkan keutamaan khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalat dengan firman-Nya,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1-2)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib almajdi/arrahmah.com)