SOLO (Arrahmah.com) – Gelombang pemikiran orientalis melanda dunia sejak abad pertengahan. Kebencian kaum orientalis terhadap Islam bahkan ditandai dengan menyebut Rasulullah Muhammad SAW dengan sebutan “Mamed, Mawmet, Mahoun, Mahun, Mahomet, Mahon, Machmet” yang kesemua kata itu memiliki makna satu, yakni setan (devil).
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh direktur dan peneliti INSISTS Jakarta, Ustadz Adnin Armas, M.A. pada saat memberikan pemaparannya dalam seminar nasional bertajuk “Wujudkan Ramadhan Tahun Ini Sebagai Titik Awal Kebangkitan Islam Melawan Orientalisme Barat” di Auditorium Muh. Djazman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Ahad pagi (22/7/2012).
Adnin Armas menjelaskan bahwa para pemikir orientalis merupakan para pemikir yang melakukan kritik terhadap agama Islam dan hendak melakukan suatu rekonstruksi pemahaman agama yang baru menurut logika mereka.
“Para orientalis menganggap agama Islam adalah sebuah dogma. Dan agama, dia anggap tidak ilmiah,” paparnya.
Untuk memuaskan hawa nafsunya mereka melakukan kritik dengan menggunakan metode yang dianggap ilmiah menurut akal fikiran dan logika mereka, serta menafikan pemahaman agama dengan metode para salafush shalih.
Adnin Armas menegaskan bahwa penyebaran pemikiran orientalis ini merupakan suatu proyek penghancuran Islam dan umat Islam dari dalam tubuh umat Islam sendiri (munafik) yang dibiayai oleh orang Barat. Hal ini menurutnya, dapat dilihat dengan banyaknya diantara pemikir orientalis melakukan kritik terhadap ke-otentikan wahyu Al Qur’an.
Proyek penyebaran pemikiran orientalis tak segan-segan menjadikan perguruan tinggi Islam sebagai ladang penyebaran pemikiran, bahkan kegiatan tersebut marak terjadi dan dilakukan di perguruan tinggi Islam negeri.
Bahkan, menurut Ustadz Adnin, tak jarang yang melakukan kritik al Qur’an itu adalah dosen atau pengajar, yang seharusnya mencetak para generasi rabbani dan kader ulama, tapi karena pemikirannya tersebut justru akhirnya mencetak para pemikir sesat (orientalis). Sehingga, mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di perguruan tinggi Islam yang ternama di Indonesia pun turut jadi agen pemikiran orientalis.
“Untuk lembaga yang melawan pemikiran orientalis belum ada, malah justru yang menyebarkan orientalis dari universitas-universitas Islam, seperti dari IAIN, UIN itu banyak,” imbuhnya.
Dia pun menyayangkan perguruan tinggi Islam yang seharusnya menghalau dan melawan orientalis tetapi justru menyebarkan dan menyemai bibit-bibit perusak aqidah dari generasi muda yang ada.
“Ya, kita prihatinnya dengan orang-orang Islam ini, yang seharusnya melawan orientalis tapi justru menjadi agen yang menyebarkan,” ungkap salah satu pengurus MIUMI ini.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa gelombang masuknya pemikiran orientalias di sebabkan oleh masalah keuntungan ekonomis (finansial). Tak jarang proyek-proyek di berikan dan beasiswa di buka lebar-lebar bagi mahasiswa untuk melanjutkan studi keislaman ke luar negeri (ke negeri Barat seperi Amerika, dll) lengkap dengan seluruh fasilitasnya. Dan yang lebih ironis lagi yakni perguruan tinggi islam justru degan membuka tangan terbuka mengizinkan masuknya pemikiran orientalis untuk diterapkan pada generasi muda Islam.
“Karena ada kekuatan ekonomi, mahasiswa yang belajar kesana akan mendapat beasiswa. Siapa coba yang gak mau dan tergiur. Universitas-universitas itu bukannya menolak tapi justru membuka diri,” pungkas ustadz Adnin.
Seminar yang digagas oleh Jama’ah Masjid Fathurrohman (JMF) UMS Solo ini juga menghadirkan Ustadz DR. Mu’inudinillah Bashri, MA. selaku direktur magister Program Pasca Sarjana Pemikiran Islam UMS Solo sebagai pemateri lainnya. (bilal/FAI/arrahmah.com)