(Arrahmah.com) – Tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN) sesuai keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984, sebagai upaya menjamin pemenuhan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi.
Untuk pelaksanaan kegiatan Hari Anak Nasional tahun ini mengambil tema “Bersatu Mewujudkan Indonesia Ramah Anak” dan Sub Temanya adalah “Saya Anak Indonesia Beriman, Jujur, Cerdas, Sehat, Berakhlak Mulia dan Berprestasi” dengan kepanitiannya diketuai oleh Kementrian Agama.
Bicara hari anak selalu dikaitkan dengan Konvensi Hak Anak (KHA) dan UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Di dalam salah satu pasal KHA yaitu pasal 12 ayat 1 dan pasal 10 UU No. 23 tahun 2002, secara lugas memberi ruang bagi anak atas nama “Hak Partisipasi Anak”, untuk didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat usia dan kecerdasannya dengan kebebasan.
Anak di arahkan untuk menuntut kebebasan berpendapat, menuntut pemenuhan kebutuhannya dengan sudut pandang manusia semata tanpa menggunakan agama sebagai sudut pandang kehidupan. Meskipun di dalam pasal 10 UU No. 23 / 2002 tersebut di ‘embel-embeli‘ dengan kata “sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”, tetap saja hal ini tidak menunjukkan bahwa parameternya adalah agama. Lagipula nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan itu tidak jelas ukurannya.
Selintas bagi orang awam, pasal-pasal tersebut memang bagus karena merupakan penghargaan bagi pandangan anak. Tetapi jika kita perhatikan, landasan kebebasan ini justru berbahaya karena suara manusia yang dijadikan penentu baik dan buruk sesuatu. Sedangkan kita pasti sangat tahu, bahwa ketika manusia itu menetapkan baik buruk, standar yang dipakai pastinya asas manfaat.
Jika sesuatu itu bermanfaat bagi dirinya maka disebut “baik”, jika sebaliknya maka disebut “buruk”. Lagipula, manusia itu kan terbatas, tidak tahu apa yang terbaik buat dirinya dan apa yang buruk buat dirinya, koq malah disuruh menetapkan standar baik dan buruk???! Aneh!
Landasan kebebasan ini membuat anak boleh mengungkapkan pendapatnya tanpa batas. Bisa jadi, seorang anak nanti bilang dia merasa “terbelenggu”, ketika orangtuanya mengharuskan dia menutup aurat. Atau bisa jadi ada orang tua yang dilaporkan karena melarang anaknya terjun di dunia artis dengan alasan banyak kemaksiatan disana. Atau ketika orang tua melarang anaknya pacaran karena dilarang agama, malah dianggap melanggar HAM, dan lain sebagainya. Jika demikian, apa jadinya anak-anak kita kelak? Tentunya sangat jauh dari sub tema hari anak tahun ini.
Seharusnya, sudut pandang (cara berpikir) anak dan remaja Indonesia dibangun secara benar yakni dengan menjadikan aqidah dan hukum syara’ sebagai acuan berpikir. Dan bagi seorang muslim, ketika dia berbicara, berpendapat dan berperilaku sudah seharusnya mengikatkan diri kepada nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menentukan suatu perbuatan itu khoir – syaar (baik buruk) dan Hasan–Qabih (terpuji – tercela).
Jadi, Islam tidak melarang umatnya berpendapat. Islam tetap memberi ruang dalam mengeluarkan pendapat/pemikiran selama tidak bertentangan dengan nash syara’, bahkan Islam menuntut setiap muslim untuk berani menyampaikan kebenaran kepada siapa pun sekalipun satu ayat dan diberi imbalan pahala. So, masih ragukah dengan Islam?!
Oleh : Ambarukminingsih, S.Si
(ukasyah/arrahmah.com)