YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Gubernur DI Yogyakarta menyatakan bahwa kasus penusukan terhadap seorang pendeta yang akan berangkat ibadah merupakan tindakan yang sudah di luar batas. Karena hal itu, menurutnya, merupakan tindakan pidana yang melanggar KUHP sehingga harus ditangkap dan diadili.
“Jika pelaku kasus tersebut dibiarkan maka sama saja pemerintah gagal dalam melindungi warganya dan telah memberikan andil terhadap rapuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Sultan Hamengku Buwono X pada wartawan di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, Selasa (14/9/2010).
Menurut Sultan, kasus kekerasan dengan mengatasnamakan Agama dapat menggoyahkan keberadaan NKRI. UUD 45 telah menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia dibangun atas dasar kebhinekaan. “Maka jika hal itu dilanggar sama saja dengan melakukan tindakan yang merapuhkan keberadaan NKRI itu sendiri. Karena itu Pemerintah dituntut untuk dapat mengaplikasikan dalam bentuk peraturan pelaksanaanya yang memperlakukan dengan adil pada semua pihak.”
Menurutnya, semua pelaku tindakan yang dapat mengganggu kebhinekaan maka harus ditindak dengan tegas. Jika tidak ditindak tegas, maka dapat membuka peluang bagi yang lain untuk melakukan hal yang sama dan dapat mengancam NKRI itu sendiri. “Hal itu yang selama ini terjadi,” ungkap dia.
Ketika ditanya soal masih perlukah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 8 dan No 9 Tahun 2006 tentang izin rumah ibadah? Menurut Sultan, hal tergantung pada cara berpikir Kepala Daerah. “Apakah Kepala Daerah dapat memberikan rasa adil pada semua pihak untuk menyelenggarakan ibadah dengan adanya SKB tersebut, hal ini tergantung pada subjektivitas kepala daerah masing-masing. Karena dengan adanya SKB justru dapat juga digunakan untuk menghalangi satu dua agama dalam menyelenggarakan ibadah dengan tidak memberi izin,” kata Sultan. (rep/arrahmah.com)