(Arrahmah.com) – Dalam artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1″, kita telah membahas kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama tidak bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Dalam artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2“, kita telah membahas kebodohan yang telah disepakati oleh para ulama bisa menjadi udzur dalam pengkafiran.
Dalam artikel “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 3″ kali ini, kita akan membahas kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah bisa menjadi udzur dalam pengkafiran ataukah tidak bisa menjadi udzur?
***
Kebodohan yang diperselisihkan ulama sebagai udzur atau bukan udzur dalam pengkafiran
Kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah bisa menjadi udzur ataukah tidak bisa menjadi udzur dalam pengkafiran adalah kebodohan terhadap sebagian rincian dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah disertai ilmu (pemahaman) dan pengamalan secara global terhadap pokok makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah.
Maksudnya adalah seseorang yang telah melakukan unsur-unsur pokok keislaman dan keimanan secara global. Ia telah:
– mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisannya.
– mengetahui makna dua kalimat syahadat secara global (yaitu kewajiban beribadah kepada Allah semata, tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah utusan Allah terakhir, tiada lagi nabi atau rasul sepeninggalnya, dan kewajiban beribadah kepada Allah menurut tuntunan syariatnya).
– mengamalkan konskuensi makna dua kalimat syahadat secara global dengan amalan hati (memiliki rasa takut, rasa harap, dan rasa cinta kepada Allah, memiliki keikhlasan, bertawakal kepada Allah, dan lain-lain), amalan lisan (membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, berisitighfar, mengucapkan ucapan yang baik) dan amalan anggota badan (melaksanakan shalat, melaksanakan shaum Ramadhan, membayar zakat, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu dan lain-lain).
Namun ia tidak mengetahui sebagian rincian dari makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah. Maksudnya, ia tidak mengetahui sebagian perkara yang sebenarnya hanya menjadi hak Allah karena termasuk perkara ibadah, namun ia lakukan karena ketidak tahuannya bahwa perkara tersebut adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 36 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
Contoh kasus:
a) Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa tawasul adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim ini berdoa kepada Allah semata namun dengan perantaraan orang shalih yang telah meninggal. Ia berdoa kepada Allah semata dengan perantaraan kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (misalnya dengan membaca shalawat Nariyah), atau kemuliaan para sahabat veteran perang Badar (membaca shalawat Badar), atau kemuliaan syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani, atau kemuliaan salah seorang Walisongo. Ia tahu doa adalah ibadah dan ia berdoa kepada Allah semata. Namun ia tidak mengetahui bahwa memakai perantaraan kemuliaan orang shalih yang telah meninggal tersebut adalah perbuatan syirik akbar yang membatalkan tauhid. Berdasar ilmu yang ia pelajari dari para habib atau ustadz, tawasul seperti itu merupakan perkara yang berdasar dalil syar’i dan menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa oleh Allah Ta’ala.
b) Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa hak menetapkan hukum adalah salah satu sifat Allah, salah satu hak khusus Allah, dan merupakan salah satu ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Lalu muslim tersebut memberikan suaranya dalam sebuah pemilu legislatif atau pemilu eksekutip (pilihan presiden, pilihan gubernur atau pilihan bupati/walikota). Ia tidak mengetahui bahwa memberikan suara dalam pemilu legislatif atau pemilu eksekutif adalah syirik akbar yang membatalkan tauhid, karena perbuatan tersebut berarti mengangkat orang yang akan menetapkan hukum jahiliyah yang tidak berdasar kepada Al-Qur’an dan as-sunnah. Setahu dirinya, masalah pemilu dan memberikan suara (nyoblos) adalah perkara dunia belaka, bukan perkara ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. Bahkan menurut ilmu yang ia peroleh dari para ulama/ustadz/mubaligh, ia wajib memilih calon yang Islami dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. Ia tidak mengetahui bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan dan politik tersendiri yang berbeda dari sistem syirik demokrasi. Para ulama/ustadz/mubaligh tempat ia belajar agama tidak mengajarkan fiqih siyasah (siyasah syar’iyah) atau fiqih khilafah atau fiqih imamah.
c) Seorang muslim siswa SMP/SMA naksir kepada seorang muslimah siswi SMP/SMA lainnya. Untuk bisa mendapatkan cinta siswi tersebut, si siswa melakukan praktek sihir yang menurut kyai/habib/ustadz tempatnya mengaji. Dengan bekal ilmu ‘sihir’ yang diajarkan oleh kyai/habib/ustadz tersebut, si siswa membacakan ayat-ayat Al-Qur’an tertentu yang dicampur dengan bacaan-bacaan Arab yang ia tidak ketahui asal dan maknanya. Si siswa membacakannya kepada si siswi agar si siswi jatuh cinta kepadanya. Si siswa itu tidak mengetahui bahwa sihir penarik cinta (‘athaf) seperti itu adalah syirik akbar yang membatalkan tauhid. Apalagi doa ‘sihir penarik cinta’ itu dipelajarinya dari kyai/habib/ustadz yang bersumber dari kitab doa-doa yang mujarrab.
Para ulama berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap pelaku contoh kasus-kasus di atas. Perbedaan vonis mereka timbul karena mereka perbedaan pendapat mereka dalam menilai kasus-kasus tersebut; apakah ia termasuk perkara yang zhahirah (perkara yang sangat jelas dan diketahui hukumnya oleh seluruh kaum muslimin baik orang awam maupun ulama) sehingga tidak berlaku udzur kebodohan padanya ataukah ia termasuk perkara khafiyah (perkara yang hukumnya masih samar dan belum diketahui oleh sebagian ulama dan banyak masyarakat awam) sehingga berlaku udzur kebodohan padanya?
Sebelum menyebutkan para ulama yang berselisih pendapat dan dalil-dalil syar’i yang dipegangi oleh masing-masing ulama yang berselisih, di sini kami akan menyebutkan beberapa perkara yang telah disepakati oleh para ulama. Sebagian perkara ini telah diuraikan panjang lebar pada pembahasan “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1″ dan “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2″. Sebagian perkara yang telah disepakati oleh para ulama tersebut adalah:
Pertama, Kebodohan sendiri pada dasarnya adalah sebuah udzur syar’i. Kebodohan menjadi udzur dalam perkara akidah dan perkara-perkara lainnya meski bukan berlaku secara mutlak tanpa syarat-syarat dan batasan-batasan yang jelas, seperti telah diuraikan pada pembahasan “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 1″ dan “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2″.
Di antara yang menegaskan pernyataan ini adalah fakta bahwa para ulama Islam telah bersepakat menjadikan kebodohan sebagai udzur pada rincian-rincian perkara yang membatalkan tauhid uluhiyah, dalam beberapa perkara seperti:
– Orang yang belum lama masuk Islam, atau
– Orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah Islam, dan sarana-sarana ilmu syar’i
Hal ini bukanlah pengecualian dalam realita, melainkan adalah sebuah penerapan dari kaedah syariat Islam yang menyatakan tidak adanya hukuman atas orang yang belum mengetahui pengharaman sebuah perkara sampai ilmu (tentang pengharamannya) menjadi perkara yang mudah ia dapatkan.
Orang-orang yang mengalami realita hidup seperti contoh tersebut (orang yang belum lama masuk Islam atau orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah Islam, dan sarana-sarana ilmu syar’i) termasuk kategori orang yang ilmu syar’i bukan menjadi perkara yang mudah mereka dapatkan dan mereka tidak termasuk kategori orang-orang yang mengetahui hukum-hukum syariat. (Lihat At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, 1/431 karya syaikh Abdul Qadir Audah)
Namun juga wajib diperhatikan bahwa orang yang belum lama masuk Islam atau orang yang hidup di daerah terpencil dan pedalaman yang jauh dari ulama, dakwah Islam, dan sarana-sarana ilmu syar’i bukanlah mendapat udzur dengan sendirinya. Melainkan mereka mendapat udzur karena ilmu syar’i tidak mudah mereka dapatkan.
Maka kapan saja ilmu syar’i mudah mereka dan mereka memiliki kemampuan untuk mempelajarinya, lalu mereka teledor atau tidak sungguh-sungguh dalam mempelajarinya , maka mereka tidak mendapatkan udzur atas kebodohannya.
Kedua, jika orang yang bodoh memiliki kemampuan mencari ilmu syar’i dan ia memiliki sarana-sarana untuk mempelajari dan memahami ilmu syar’i, lalu ia berpaling dari mencari dan mempelajari ilmu syar’i, maka ia tidak mendapatkan udzur, bukan karena ia memiliki kebodohan, melainkan karena ia teledor dan tidak bersungguh-sungguh menunaikan kewajiban menuntut ilmu syar’i.
Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang telah sampai kepadanya hujjah dari Al-Qur’an atau as-sunnah dengan cara yang bisa ia pahami sekiranya ia ingin mempelajari dan memahaminya, kemudian ia tidak mau menaruh perhatian kepadanya, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya. Orang seperti ini tidak memiliki udzur atas kebodohan atau ketidak pahamannya, karena ia adalah orang yang teledor dan berpaling. (Lihat Thariqul Hijratain, hlm. 609-610 karya imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Majmu’ Fatawa, 12/180 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Ketiga, jika orang yang bodoh telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu, namun di hadapannya tidak ada sarana-sarananya dan ia juga tidak memiliki kemampuan untuk mengadakan sarana-sarananya, maka ia mendapatkan udzur atas kebodohannya. (Majmu’ Fatawa, 12/180)
Keempat, pengetahuan dan pemahaman tentang makna dua kalimat syahadat secara global (al-‘ilmu al-ijmali; memahami bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi, tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah penutup seluruh nabi dan rasul, Islam adalah satu-satunya agama yang benar) merupakan ilmu yang wajib diketahui oleh setiap orang agar keislamannya sah.
Kebodohan terhadap makna secara global dua kalimat syahadat ini tidak menjadi udzur, baik karena:
– Ilmu tentang hal itu merupakan perkara dharuriyah (perkara yang pasti dan sudah sangat jelas, diketahui oleh semua orang baik ulama Islam maupun orang awam umat Islam) sehingga tidak bisa dibayangkan ada orang yang tidak mengetahuinya
– Atau perkara tersebut zhahirah (sangat jelas), bisa dipahami dengan sedikit berfikir sekalipun tanpa harus mengkaji ilmu syar’i secara mendalam, sehingga tidak bisa dibayangkan ada orang yang tidak mengetahuinya kecuali karena faktor keteledoran dan kemalasan mencari ilmu
– Atau karena mengetahuinya merupakan syarat sah keislaman, dimana orang yang tidak mengetahuinya adalah orang kafir asli.
Kelima, barangsiapa yang hidup dalam lingkungan Islami yang bersih (dari kesyirikan, bid’ah dan kemungkaran) lalu ia tidak mengetahui hukum-hukum Islam yang termasuk perkara ma’lum min ad-dien bi-dharurah (perkara yang jelas-jelas termasuk bagian dari dien Islam, perkara-perkara yang diketahui oleh semua muslim baik ulama maupun orang awam) maka kebodohannya tidak menjadi udzur, karena dakwah Islam telah sampai kepadanya dan hujjah telah tegak atas dirinya. (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7/113 karya syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)
Keenam, orang yang telah memiliki pemahaman secara global (al-ilmu al-ijmali) dan pengamalan secara global (al-‘amal al-ijmali) terhadap makna dua kalimat syahadat maka ketidak tahuannya terhadap rincian makna dua kalimat syahadat tidaklah membatalkan pengetahuan global dan pengamalan globalnya tersebut. Seperti telah diuraikan dala pembahasan “Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran bagian 2″. (Fatawa wa Rasail Syaikh Abdur Razzaq Al-Afifi, 1/172)
***
Jika keenam perkara yang telah disepakati oleh para ulama di atas telah jelas dan bisa dipahami, maka perlu diketahui bahwa rincian-rincian perkara yang membatalkan tauhidul ibadah menjadi lahan perbedaan pendapat para ulama tentang berlaku atau tidak berlakunya udzur kebodohan pada perkara-perkara rincian tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di depan, hal itu bukan karena mereka berselisih pendapat tentang kebodohan sebagai sebuah udzur syar’i. Melainkan karena mereka berselisih bahwa jika seorang muslim memiliki kesungguhan untuk menuntut ilmu syar’i, apakah masih mungkin ia tidak mengetahui rincian-rincian perkara tersebut?
Sebagian ulama berpendapat ketidak tahuan terhadap rincian-rincian perkara tersebut masih mungkin terjadi pada diri seorang muslim yang memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu syar’i, sehingga mereka memasukkan rincian-rincian perkara tersebut ke dalam kategori perkara-perkara khafiyah yang berlaku padanya udzur kebodohan.
Sebagian ulama lainnya berpendapat ketidak tahuan terhadap rincian-rincian perkara tersebut tidak mungkin bisa dibayangkan terjadi pada diri seorang muslim yang memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu syar’i, sehingga mereka memasukkan rincian-rincian perkara tersebut ke dalam kategori perkara-perkara zhahirah yang tidak berlaku padanya udzur kebodohan.
Dalam hal yang mereka perselisihkan ini, terdapat satu syarat yang mereka sepakati bersama yaitu masalah at-tamakkun minal ‘ilmi (memiliki kemampuan meraih ilmu). Maksud dari at-tamakkun minal ‘ilmi adalah ilmu syar’i mudah didapatkan dan ia bisa mendapatkan ilmu syar’i tersebut setelah memiliki usaha sungguh-sungguh untuk mencarinya. Di atas syarat inilah para ulama menilai apakah seorang muslim termasuk teledor dari menuntut ilmu syar’i ataukah tidak teledor dari menuntut ilmu syar’i?
Untuk itu para ulama mengaitkan pendapat mereka dalam masalah ini dengan syarat ini. Mereka berusaha menentukan batasan dan aturan yang jelas dari syarat ini dengan cara menyebutkan contoh-contoh dan keadaan-keadaan di mana seorang muslim memiliki kemampuan untuk mempelajari dan mendapatkan ilmu syar’i, juga contoh-contoh dan keadaan-keadaan di mana seorang muslim tidak memiliki kemampuan untuk mempelajari dan mendapatkan ilmu syar’i.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Di antara jawaban mereka adalah sesungguhnya hujah Allah dengan rasul-rasul-Nya telah tegak dengan adanya kemampuan mendapatkan ilmu. Maka bukan menjadi syarat tegaknya hujah Allah adalah orang-orang yang didakwahi mengetahui hujah tersebut. Oleh Karena itu berpalingnya orang-orang kafir dari mendengarkan dan mentadaburi Al-Qur’an tidak menjadi penghalang tegaknya hujah Allah atas diri mereka. Demikian juga berpalingnya orang-orang kafir dari mendengarkan riwayat yang diceritakan dari para nabi dan (berpalingnya orang-orang kafir dari) membaca hadits-hadits yang di riwayatkan dari para nabi, tidak menghalangi tegaknya hujah, karena adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu.” (Ar-Raddu ‘alal Manthiqiyyin, hlm. 99 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya hujah Allah telah tegak atas diri seorang hamba dengan diutusnya rasul dan diturunkannya kitab suci, sampainya hal itu kepadanya, dan adanya kemampuan dirinya untuk mengetahuinya; baik ia mengetahui maupun ia tidak mengetahui. Maka setiap hamba yang memiliki kemampuan untuk mengetahui apa-apa yang Allah perintahkan dan apa-apa yang Allah larang, lalu ia meremehkan (tidak serius mencarinya) dan tidak mengetahuinya, berarti hujah Allah telah tegak atas dirinya.”(Madarijus Salikin, 1/217 karya imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).
Dari penjelasan para ulama bisa dipahami bahwa:
1. Dhabith (standar penilaian) kemampuan untuk mendapatkan ilmu adalah setiap orang yang memiliki kemampuan untuk meraih ilmu dengan cara bertanya kepada ulama atau dengan cara menelaah buku-buku ilmu syar’i, maka ia dianggap telah memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu. (Lihat Majmu’ Fatawa, 12/478-479 dan 20/59, At-Tasyri’ Al-Jinai Al-Islami, 1/430 dan Syarh Muhammad Khalil Harras ‘Ala Al-Qasidah An-Nuniyah li-Ibni Qayyim Al-Jauziyah, 2/263-264)
2. Sebagian ulama mempersyaratkan orang yang bertanya kepada ulama atau orang yang menelaah buku-buku ilmu syar’i tersebut dapat memahami ilmu (hujjah) atas hal yang ia tanyakan atau ia telaah.
3. Dari adanya persyaratan dapat memahami ilmu (memahami hujjah) ini, para ulama berbeda pendapat tentang klasifikasi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu.
a. Kelompok ulama yang mempersyaratkan dapat memahami ilmu (memahami hujah) mengklasifikasikan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu menjadi dua golongan:
– Orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu.
– Orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan cara bertanya kepada ulama, namun ia tidak bisa memahami ilmu yang disampaikan oleh ulama tersebut.
b. Kelompok ulama yang tidak mempersyaratkan dapat memahami ilmu (memahami hujah) mengklasifikasikan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu menjadi satu golongan saja, yaitu orang yang tidak mampu untuk meraih ilmu. Seperti orang yang hidup di puncak pegunungan atau hidup di daerah pedalaman yang jauh dari ulama, atau orang yang belum lama masuk Islam.
Kelompok ulama ini mengkategorikan orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan cara bertanya kepada ulama, namun ia tidak bisa memahami ilmu yang disampaikan oleh ulama tersebut, ke dalam kategori orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu. Alasannya, sekedar sampainya ilmu kepadanya telah menyebabkan tegaknya hujah atas dirinya. (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah, hlm. 41-42)
4. Para ulama mencontohkan orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu adalah orang yang hidup di tengah kaum muslimin dan banyak ulama dan juru dakwah di tengah mereka, atau di hadapannya ada banyak buku ilmu syar’i karya para ulama dan ia bisa menelaahnya. (At-Tasyri’ Al-Jinai Al-Islami, 1/430 dan Fatawa Syaikh Bin Bazz, 2/528-529).
5. Pada contoh kasus no. 4 di atas, kelompok ulama yang berpendapat tidak bisa dibayangkan adanya unsur kebodohan dalam perkara-perkara rincian makna dua kalimat syahadat dan tidak dipersyaratkan adanya kemampuan memahami ilmu (memahami hujah) pada persyaratan adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu; mereka berpendapat bahwa orang yang tidak tahu tersebut tidak mendapatkan udzur atas ketidak tahuannya, karena ketidak tahuan tersebut pasti terjadi dengan adanya unsur keteledoran dan tiadanya kesungguhan untuk bertanya kepada ulama. Sekiranya ia mau bertanya kepada ulama dan ulama tersebut menyampaikan jawaban kepadanya, niscaya ilmu telah sampai kepadanya dan hujjah telah tegak atas dirinya. Jika ulama tersebut telah membacakan ayat-ayat yang melarang syirik (dengan terjemahan bahasa sehari-hari yang ia pakai), maka hujjah telah tegak atas dirinya, baik ia bisa memahami kandungan makna ayat-ayat tersebut maupun ia tidak bisa memahami kandungan maknanya.
6. Pada contoh kasus no. 4 di atas, kelompok ulama yang berpendapat bisa terjadi kebodohan dalam perkara-perkara rincian makna dua kalimat syahadat dan dipersyaratkan adanya kemampuan memahami ilmu (memahami hujah) pada persyaratan adanya kemampuan untuk mendapatkan ilmu; mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mengetahui tersebut bisa mendapat udzur jika ia telah bersungguh-sungguh mencari ilmu atau bertanya kepada ulama, dan ia menghadapi banyak syubhat yang membuatnya tidak mampu mendapatkan ilmu.
Status seseorang yang hidup di tengah kaum muslimin tidak semata menjadikan persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar’i telah terealisasi pada dirinya. Status seseorang yang hidup di tengah kaum muslimin dianggap merealisasikan persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar’i apabila; (1) perkara yang tidak diketahuinya tersebut adalah perkara yang ilmunya sudah menyebar luas secara merata di tengah kaum muslimin, sehingga keseluruhan atau mayoritas kaum muslimin telah mengetahuinya baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam. (Lihat Ar-Risalah, hlm. 357, karya imam Asy-Syafi’i)
Atau (2) ulama dan juru dakwah yang mengajarkan perkara tersebut di tengah masyarakat berjumlah banyak dan memadai.
Adapun jika mayoritas kaum muslimin di lingkungan kehidupannya hidup dalam kebodohan terhadap ilmu syar’i, ajaran-ajaran kenabian sudah sangat pudar di tengah mereka, dan tidak terdapat ulama atau juru dakwah dalam jumlah yang memadai yang mengajarkan perkara tersebut, maka persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar’i dianggap belum terpenuhi. Sehingga udzur kebodohan berlaku untuk dirinya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 11/407 dan 35/165-166)
7. Di antara keadaan-keadaan yang persyaratan memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu syar’i dianggap belum terpenuhi adalah:
– Orang yang belum lama masuk Islam dan belum memiliki kemampuan untuk mengetahui rincian detail ajaran Islam
– Orang yang hidup di puncak gunung atau daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan sarana ilmu syar’i
– Orang yang masuk Islam di negara kafir (darul kufri), sebab negara kafir merupakan tempat di mana rincian hukum-hukum Islam tidak diketahui secara luas oleh mayoritas penduduknya. Pembahasan no. 7 ini telah diuraikan dalam kajian Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran bagian 2. (Lihat Majmu’ Fatawa, 3/231, 11/407 dan Fatawa Syaikh Bin Bazz, 2/529)
8. Para ulama juga menyebutkan salah satu bentuk pengecualian dari seseorang yang hidup di daerah pedalaman yang jauh dari ulama dan sarana ilmu syar’i atau daerah kafir yang jauh dari negeri Islam.
Pengecualian tersebut adalah jika seseorang hidup di negeri kafir yang jauh dari negeri Islam, lalu ia melakukan salah satu bentuk kesyirikan, kemudian timbul keragu-raguan pada dirinya tentang kebenaran apa (agama, keyakinan) yang selama ini ia lakukan tersebut, maka ia wajib berhijrah (meninggalkan negerinya dan mendatangi negeri Islam) untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut dari dirinya. Jika ia tidak meninggalkan negerinya dan mendatangi negeri Islam, maka ia berdosa karena melakukan keteledoran dan tidak sungguh-sungguh mencari ilmu syar’i. Ia berdosa karena keteledoran tersebut, sebab pada dirinya ada faktor yang menuntut dirinya untuk mencari ilmu syar’i, yaitu keragu-raguan atas kebenaran apa yang selama ini ia lakukan. Dalam kasus ini, kebodohan tidak menjadi udzur bagi dirinya karena ia termasuk golongan yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri.” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’ [4]: 97) (Al-Udzru bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 43)
***
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah menjadi udzur dalam pengkafiran atau tidak menjadi udzur, adalah satu bentuk perkara saja yaitu perkara seorang muslim yang hidup di sebuah negeri kaum muslimin yang negeri tersebut didominasi oleh kesyirikan, bid’ah dan kebatilan, sedangkan kebodohan terhadap ajaran-ajaran Islam yang benar menyebar luas di kalangan mayoritas umat Islam di negeri tersebut. Muslim ini memiliki pengetahuan global (al-ilmu al-ijmali) dan pengamalan global (al-‘amal al-ijmali) terhadap makna dua kalimat syahadat, namun ia melakukan sebuah perbuatan syirik karena faktor ketidak tahuan terhadap sebagian rincian pembatal-pembatal tauhid:
1. Sementara di tengah kaum muslimin lingkungan kehidupannya tidak terdapat seorang ulama atau juru dakwah yang memperingatkan akan kesyirikan perbuatan yang ia lakukan tersebut.
2. Atau di tengah mereka ada ulama atau juru dakwah yang memperingatkan kesyirikan tersebut, namun muslim ini belum mendengarkan peringatan tersebut atau peringatan tersebut terbatas pada segelintir umat Islam sehingga tidak sampai kepada dirinya dan mayoritas kaum muslimin lainnya.
3. Atau tengah mereka ada ulama atau juru dakwah yang memperingatkan kesyirikan tersebut, dan muslim ini telah mendengarkan peringatan tersebut, namun ia juga mendapatkan pengajaran dari mayoritas ulama atau juru dakwah yang membolehkan perbuatan yang ia lakukan tersebut bahkan mengajarkan bahwa perbuatan yang ia lakukan tersebut adalah ibadah yang diperintahkan syariat. Muslim ini telah mendengar peringatan ulama atau juru dakwah, namun syubhat-syubhat yang ia terima dari mayoritas ulama dan juru dakwah lainnya begitu kuat sehingga ia tidak bisa membedakan pendapat mana yang benar dan pendapat mana yang salah.
Adapun orang yang belum lama masuk Islam dan belum mengetahui rincian ajaran Islam, atau orang yang hidup di daerah pedalaman yang jauh dari negeri Islam dan tidak mengalami keraguan apapun akan kebenaran apa yang ia lakukan, atau orang yang masuk Islam di negeri kafir, maka semua ulama sepakat menyatakan kebodohan menjadi udzur baginya. Ia dianggap memiliki udzur karena syarat taklif (pembebanan dengan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan syariat Islam) belum terpenuhi pada dirinya, yaitu ia tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan ilmu atau ia tidak memiliki faktor yang menuntut dirinya untuk mencari ilmu.
(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 7/113 dan Syarhu Kasyfi Syubuhat, hlm. 38 karya syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin)
Jika penjelasan masalah ini telah bisa dipahami, maka perlu diketahui bahwa perkara kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah sah atau tidak sah menjadi udzur dalam pengkafiran adalah kasus seorang muslim yang hidup di tengah kaum muslimin, di mana lingkungan kaum muslimin tersebut didominasi oleh syirik, bid’ah, khurafat dan kebodohan. Lalu muslim ini melakukan sebuah kesyirikan karena ketidak tahuan atas rincian perkara-perkara yang membatalkan tauhid. Sementara muslim ini memiliki pengetahuan global dan pengamalan global terhadap pokok makna dua kalimat syahadat.
Para ulama berbeda pendapat apakah udzur kebodohan berlaku atas muslim seperti ini? Perbedaan pendapat ini telah disebutkan oleh syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz seperti dikutip oleh murid beliau, syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr dalam bukunya Syarh Syuruth Ash-Shalah wa Arkaniha wa Wajibatiha, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhu Kasyfi Asy-Syubuhat, syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar dalam Al-Udzru bil Jahli di Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, dan lain-lain.
1. Kelompok ulama yang tidak menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus tersebut. Argumentasi mereka adalah dalil-dalil tentang keharaman syirik sangat jelas dalam Al-Qur’an dan as-sunnah, sehingga orang yang tidak mengetahuinya hanya memiliki dua kemungkinan:
– Ia adalah orang yang teledor dan tidak memiliki kesungguhan untuk mencari ilmu syar’i.
– Ia adalah orang yang berpura-pura tidak tahu, dan melakukan kesyirikan tersebut secara sengaja dari lubuk hatinya dengan niat untuk kafir.
Pendapat ini dipegangi oleh sejumlah ulama generasi terdahulu (mutaqaddimin) seperti imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dan sejumlah ulama belakangan (mutaakhirin), seperti imam Al-Qarrafi Al-Maliki dan mayoritas ulama dakwah Nejed. Sebagian ulama belakangan seperti syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab dan syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthain bahkan mengklaim tercapainya ijma’ atas tidak berlakunya udzur kebodohan dalam kasus ini.
2. Kelompok ulama yang menganggap udzur kebodohan berlaku para kasus tersebut.
Argumentasi mereka adalah dalil-dalil keharaman syirik terkadang menjadi samar dan tidak diketahui oleh sebagian mukallaf sekalipun mereka sudah bersungguh-sungguh mencari ilmu syar’i. Hal itu disebabkan oleh dominasi kebodohan dan banyak atau kuatnya syubhat-syubhat yang menghalangi sebagian mukallaf dari memahami dalil-dalil syar’i tersebut menurut pemahaman yang benar.
Pendapat ini dipegangi oleh sebagian ulama terdahulu seperti imam Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri, dan sejumlah ulama belakangan seperti syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ash-Shan’ani, Asy-Syaukani, Al-Alusi dan Muhammad Basyir As-Sahsawani. Di kalangan ulama kontemporer, pendapat ini antara lain diikuti oleh imam Al-Mu’allimi Al-Yamani, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain.
Adapun ijma’ yang diklaim oleh sebagian ulama kelompok pertama di atas adalah tidak seluruhnya benar. Klaim ijma’ tersebut benar apabila dibawa kepada kasus tidak mengetahui Allah, kasus seperti itu telah menjadi kesepakatan ulama (seperti telah dibahas para pembahasan Kebodohan Sebagai Udzur Dalam Pengkafiran bagian 1).
Atau klaim ijma’ itu benar apabila dibawa pada kasus zaman tertentu, yaitu abad-abad awal Islam di mana perkara-perkara tersebut sangat jelas diketahui oleh semua umat Islam baik ulama maupun awam, dan tidak ada kerancuan-kerancuan (syubhat-syubhat) yang merasuki kemurnian dan kejelasan ajaran-ajaran Islam.
Adapun pada kasus yang kita bicarakan menjadi ajang perbedaan pendapat di atas yaitu muslim yang mengetahui dan mengamalkan makna dua kalimat syahadat secara global namun tidak mengetahui sebagian rincian perkara yang membatalkan tauhid, karena tidak ada ulama yang memberi pengajaran, atau tidak ada sarana mencari ilmu syar’i, atau ada ulama yang memberi pengajaran kepadanya namun ia menghadapi banyak syubhat dari ulama lain sehingga ia tidak bisa membedakan antara pendapat yang benar dan pendapat yang salah: maka terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak zaman imam Ath-Thabari (abad 4 H), Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dan Ibnu Hazm Al-Andaluzi (abad 5 H) merupakan bukti belum tercapainya ijma’ pada kasus yang tengah kita bicarakan ini. Seandainya telah benar-benar terjadi ijma’ yang diklaim tersebut, tentulah tidak boleh ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam sejak dahulu (abad 4 H) sampai sekarang (abad 15 H). (Masalatul Udzri bil-Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 45-47).
Inilah uraian secara global para ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Adapun dalil-dalil masing-masing kelompok dan pernyataan-pernyataan mereka, insya Allah akan dibahas dalam artikel-artikel berikutnya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Bersambung, insya Allah…
(muhib almajdi/arrahmah.com)