NEW YORK (Arrahmah.com) – Di setiap pangkalan militer di Irak dan Afghanistan, ada lapangan kerja yang ditopang oleh para pekerja imigran. Seperti untuk transportasi, konstruksi, pelayanan makanan, keamanan dan lain-lain, untuk membantu penjajahan pimpinan AS di negara-negara tersebut.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) merekrut sekitar 174.000 buruh, 70.000 dari mereka direkrut dari berbagai negara seperti Nepal, India, Filipina dan Uganda.
Tetapi, tidak semua para pekerja tersebut secara sukarela meninggalkan rumah mereka untuk melayani militer AS. Berdasarkan sebuah laporan yang dirilis bulan Juni kemarin oleh American Civil Liberties dan the Lowenstein Clinic di Sekolah Hukum Yale, dilansir NY Times, banyak para pekerja tersebut tertipu dalam bekerja untuk para kontraktor dan sub-kontraktor Amerika yang menyiksa mereka secara kejam dengan “impunitas” dan memaksa mereka tunduk pada jam kerja yang melelahkan, upah yang kecil, kurungan dan kondisi pekerjaan yang mematikan.
Contohnya saja, pada 2004, Buddhi Prasad Gurung dan 12 pria lainnya dari sebuah desa di Nepal dijanjikan pekerjaan di sebuah hotel mewah di Yordania. Tetapi sebaliknya, mereka dikirim ke Irak untuk bekerja untuk sub-kontraktor teroris Amerika, di perjalanan mereka diculik oleh orang-orang bayaran, mereka tertipu.
Gurung yang selamat dari insiden itu tidak diizinkan pergi keluar rumah selama 15 bulan, berdasarkan gugatan hukum yang diajukan kepada sub-kontraktor, Daoud & Partners, dan kontraktor utama, KBR.
Pada 2011, Sarah Stillman yang menderita praktek penipuan yang sama menulis, “Untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika, kontraktor swasta kerugiannya setara dengan pasukan AS dalam kedua zona perang itu, sebesar 53 persen laporan kematian dalam enam bulan pertama pada 2010.”
Amerika Serikat benar-benar memiliki kebijakan toleransi yang Nol terhadap pelanggaran hak asasi manusia, namun laporan mengatakan langkah-langkah yang ada seperti pencegahan, penyelidikan dan hukuman, gagal untuk mengekang jebakan dan perlakuan kejam terhadap para buruh imigran.
“Akuntabilitasnya ada dalam teori, tetapi tidak dalam praktek. Sampai saat ini, pemerintahan AS belum mendenda atau menghukum satupun kontraktor atas perdagangan atau yang berkaitan dengan kejahatan terhadap buruh,” kata laporan itu. (siraaj/arrahmah.com)