Ini adalah pertama kalinya dalam minggu ini saya mendapatkan akses ke internet. Saya belum diizinkan menerima atau mengirim pesan teks dalam tiga bulan. Sama seperti telepon, saya pun dilarang mengontak siapapun. Saluran berita lokal juga dilarang. India mengontrol semuanya di sini. Dan kemudian membunuh. Situasi sangat mengerikan. Selama berbulan-bulan dari penjatahan makanan hingga jam malam terus-menerus diberlakukan, dimana semua jalan benar-benar ditutup dan kota sangat hening. Lalu gelombang aksi protes muncul dan menyebar ke seluruh kota, mereka berteriak “AZADI AZADI AZADI” yang berarti kebebasan sampai menghilang akibat tembakan dan gas air mata tentara pendudukan.
Aku mengamati semua ini terjadi hanya berjarak satu meter dari dinding batu bata tebal gerbang Universitas Kashmir, dimana aku berada. aku melihat dari balik jeruji besi, gerombolan massa yang ditembak secara acak dan aku berdiri di sana tanpa mampu melakukan apapun. Sebuah siklus panjang tanpa ujung antara keheningan dan kekerasan. Tentara India mengontrol seluruhnya dan memiliki kebebasan untuk menembak, untuk membunuh siapapun yang mereka pilih.
Minggu lalu, seorang anak berusia tujuh tahun dipukuli sampai mati. Anda tidak dapat mengatakan tidak sengaja memukul seorang anak berusia tujuh tahun. Ini tidak seperti peluru yang salah sasaran. Aku tidak dapat memikirkan bagaimana sebuah batu yang dilempar oleh anak berusia tujuh tahun dapat menyebabkan kerusakan yang dapat dijadikan alasan untuk memukulinya sampai mati. Anak-anak di Kashmir memiliki ukuran badan yang kecil. Usia tujuh tahun di sini, mungkin setara dengan usia anak tiga tahun di Barat. Jadi orang macam apa yang tega memukul seorang bocah kecil hingga mati ketika ia melemparkan batu yang mungkin tidak terasa sedikitpun. Ini adalah suatu kejadian yang umum di sini.
Di hari lainnya, aku meninggalkan Universitas untuk mengunjungi seorang profesor yang hanya memerlukan waktu satu menit dari kamarku. Benar ada jam malam, tapi rumah profesor di sebuah jalan pribadi yang melekat dengan universitas, jadi saya pikir saya akan mengambil resiko tersebut. Ketika aku kembali, kendaraan militer lengkap dengan sepuluh tentara yang lebih mirip dengan preman tertawa dan berteriak dengan melambai-lambaikan tongkat dan senjata mereka. Mereka menuju seorang yang telah renta dan mencoba memukulnya dan kemudian memukul anak berusia empat tahun yang tengah berada di atas sepeda roda tiga untuk bersenang-senang. Dia hanya berjarak 50 cm di luar pekarangan rumahnya sehingga tidak dianggap melanggar jam malam. Mereka memukul anak tersebut dan kemudian berjalan menuju saya.
Aku tinggal di lingkungan universitas yang sepi, sendirian dengan para penjaga keamanan dan beberapa profesor. Universitas itu dievakuasi tiga bulan lalu ketika masalah mulai terjadi dan para siswa serta anak-anak sekolah di seluruh lembah itu kembali kerumah, mereka meninggalkan sekolah, kekosongan besar dalam bidang pendidikan.
Seorang tentara India menembak mati seorang anak gadis berusia 11 tahun karena menggedor pintu apoteker saat jam malam diberlakukan. Bagaimana bisa seorang pria dewasa menembak jatuh dan membunuh seorang gadis sebelas tahun yang membutuhkan obat dan menggedor pintu apotek di sebuah jalan kosong? Seorang wanita paruh baya berlutut di trotoar menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan tentara India terus memukulinya hingga dia harus diamputasi.
Dua minggu yang lalu, pada hari Jumat, aku mendengar teriakan pendemo yang menuntut pembebasan Mesjid Hazratbal, mereka melakukan aksi di luar universitas. Dalam satu jam teriakan “Azafi” meningkat dan terus meningkat kuat, sampai tiba-tiba aku mendengar tembakan gas air mata. Tembakan sporadis terus dilakukan selama jam berikutnya. Kemudian saya mengetahui bahwa sebuah mesjid diserang oleh tentara dan orang-orang di dalamnya dicambuk. Beberapa meninggal dunia, tentu saja.
Pasukan India memiliki hak dan kebebasan untuk berperilaku seperti ini, menyerang tempat ibadah hanya karena menyerukan dengan sangat bersemangat sebuah kebebasan dan perlawanan. Hal semacam ini terjadi setiap hari. Tapi orang-orang Kashmir tak memiliki hak untuk membalas, juga kebebasan, bahkan untuk meninggalkan rumah mereka. Aku sangat tidak tahan dengan ketidakmampuan saya. Sebagai seorang Barat yang kaya, saya pun tidak bisa mendapat makanan. Beberapa hari yang lalu, saya dengan tujuh anak laki-laki harus berbagi dua wortel dan segenggam beras.
Jadi, bagaimana penduduk Kashmir dapat mengelola hidupnya ketika mereka tidak bisa membuka usaha mereka selama tiga bulan? Bagaimana mereka dapat memiliki uang untuk membeli makanan, bahkan yang memilikinya pun tidak dapat menemukan makanan. Bagaimana Anda bisa mendapatkan makanan jika tidak bisa meninggalkan rumah? Kemarin seorang pemuda yang bekerja sebagai pegawai di universitas memperlihatkan lengan dan pahanya yang terluka. Lengannya hitam dan keunguan dengan darah yang membeku sejak minggu lalu.
“Aku pergi untuk membeli obat,” katanya dan “tentara menangkapku.”
Aku tersenyum dan berkata, “Oh, Anda yang selalu tertangkap dalam perjalanan mendapatkan obat?” Sampah merupakan obatnya. “Kamu pergi untuk mendapatkan biskuit (dari bak-bak sampah)?”
“Bukankah biskuit adalah obat?” jawabnya dengan tersenyum kecil sama sepertiku.
Terkadang keheningan menghilang diikuti dengan tawaran minum teh. Sebuah rumah sakit Muslim. Pada saat ini, setiap daun teh sangat berharga dan orang-orang ini saling berbagi remah terkahir yang mereka simpan bahkan hingga susu bubuk yang dimiliki. Dan kau duduk di sana menikmati teh dengan bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana dan dimana mereka berhasil mendapatkannya, dan berapa biaya yang mereka keluarkan dalam setiap pemukulannya.
Ditulis oleh Giorgina Violante, seorang Mahasiswi Barat yang terjebak di Kashmir. Ia menulis untuk thecommentfactory.
(haninmazaya/arrahmah.com)