(Arrahmah.com) – Kita telah masuk pada penghujung bulan Ramadhan, berarti telah masuk pada sepertiga terakhir yang berisikan sepuluh atau barangkali hanya sembilan hari saja. Maha Benar Allah SWT ketika menyebutkan bahwa Tamu Agung Ramadhan hanyalah ayyaam ma’dudaat (beberapa hari yang telah ditentukan) cepat dan singkat, namun Ramadhan berisikan kemuliaan dan keberkahan yang luar biasa.
Kalangan ulama tafsir banyak yang menafsirkan ayat sumpah Allah SWT dalam surat al-Fajr bahwa layalin asyr (dan demi malam yang sepuluh) maksudnya adalah malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan, walaupun banyak pula yang menafsirkan maksudnya adalah sepuluh malam bulan Dzulhijjah, ada pula yang mengatakan sepuluh hari pertama bulan Muharram, semua penafsiran bisa jadi benar, karena masing-masing mempunyai dalil-dalil yang mendukungnnya.
Pada hari-hari terakhir ini Baginda Nabi SAW bersiaga penuh mengisi malam-malamnya, sampai-sampai beliau mengasingkan diri dari isteri-isterinya, beriktikaf di dalam Masjid, beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, sebagai kesempatan akhir “ngalap berkah” bulan Ramadhan. Tak heran seperti diriwayatkan oleh istri beliau Sayidah Aisyah bahwa Rasul SAW bersungguh-sungguh dalam beribadat pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan yang tidak dilakukannya pada bulan-bulan yang lain.
Timbul pertanyaan mengapa demikian? Mengapa Nabi SAW mendorong umatnya untuk melipatgandakan ibadah dalam waktu tersebut? Jawabnya singkat, karena pada malam-malam bulan Ramadhan tersebut, terutama pada malam-malam yang ganjil terdapat malam Lailatul qadar, malam kemuliaan yang sangat istimewa yang semua orang berlomba memburunya, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagai bonus hadiah Tuhan bagi orang yang ikhlas mengabdi kepada-Nya.
Lailatul qadar ibarat benda elok yang sangat indah namun langka, tak heran jika tak mudah meraihnya, karena mahal harga belinya. Malam kemuliaan tersebut hanya dapat dibeli dengan pengorbanan jiwa raga, dengan amalan-amalan ibadah yang telah dituntun oleh Agama sepertimelakukan qiyamullail, berpuasa sesuai tuntunan, tilawah dan tadarus Al-Quran dengan tadabbur, berdoa, zikir, memperbanyak istighfar, muhasabah diri, perbanyak sedekah serta amalan ma’ruf lainnya untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Lailatul qadar dirahasiakan, jelas sesuatu yang mahal dan langka tentu dirahasiakan dan tidak diobral, agar umat semangat berlomba memburunya, dan agar ibadat tidak hanya dilakukan pada waktu tertentu saja, namun pengabdian haruslah langgeng terus dilakukan semasih hayat masih kandung badan.
Merugilah kita yang luput dari peningkatan ibadah pada hari-hari sepuluh terakhir ini. Kebahagiaan mukmin sebenarnya bukan hanya karena akan mendapatkan bonus pahala lailatul qadar dan sejenisnya, namun kebahagiaan mukmin adalah saat dirinya mengabdi, mohon ampun, berserah dan tunduk kepada pencipta-Nya, karena itulah nikmat besar yang tiada taranya!
(eramuslim/arrahmah.com)