JAKARTA (Arrahmah.com) – Dalam rangka merespon Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender, MIUMI menyambangi DPR untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pimpinan Komisi VIII DPR RI Senin, (18/6 ) pukul 10.00 WIB.
MIUMI dan narasumber partner riset untuk merespon draft RUU KKG dalam kesempatan itu diterima oleh pimpinan Komisi VIII dan tim panja RUU KKG. Pimpinan Komisi VIII yang hadir di antaranya Ida Fauziyah (FPKB), Chayrunnisa (FPG), Jazuli Juwaini (FPKS), Ahmad Rubaie (FPAN), dan lain lain.
Sekjen MIUMI dalam sambutannya menyatakan bahwa penolakan MIUMI terhadap paham kesetaraan gender tidak berarti menyetujui patriarkisme dan diskriminasi terhadap perempuan. Sebagaimana ungkap Ustadz bahtiar Natsir dalam rilis MIUMI kepada arrahmah.com, Jakarta, Senin (18/6).
Selain menceritakan kronologi respon MIUMI terhadap draf RUU KKG yang beredar mulai dari kajian interrnal, tabligh akbar, penggalangan dukungan penolakan terhadap draf tersebut dan kajian- kajian serta riset partner MIUMI dari IPB UI UMJ, beberapa narasumber MIUMI menyoroti draf tersebut dari sudut hukum dan falsafahnya serta dampak draf KKG terhadap ketahanan institusi keluarga.
Pada kesempatan itu, Dr. Ir. Euis Sunarti dalam paparannya menyatakan bahwa draft RUU KKG berbenturan dengan undang-undag yang lainnya.
“Draf KKG dan semangatnya bertentangan dengan UU no.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,” ungkapnya.
Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) melalui juru bicaranya Dewi Motik Pramono menjelaskan bahwa gagasan kesetaraan dan keadilan gender ini sudah ada di Indonesia sejak dideklarasikan Budi Utomo di era perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Zaman kemerdekaan itu laki-laki dan perempuan duduk setara memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jadi tidak ada alasan untuk menolak RUU KKG,” jelasnya.
Pernyataan tersebut yang menyokong wacanan KKG dibantah langsung oleh Dr. Arofah Windiani, SH, MHum dari MIUMI. Menurut anggota PP Aisyiyah ini, kepentingan relativisme, liberalisme dan celah westernisasi sebagai kepentingan yang bermain di balik gagasan RUU ini, yang sangat bertentangan dengan nilai Pancasila.
“Tidak menjamin adanya RUU-KKG ini martabat wanita akan lebih baik,” jelas wanita yang juga anggota Muhammadiyah ini.
Menurut wanita yang juga wakil dekan 1 Univesitas Muhammadiyah Jakarta ini, kehadiran RUU KKG ini sendiri dinilai bersifat campur-aduk dan tumpang tindih. Mengingat peraturan dan undang-undang yang menjaga hak-hak perempuan di Indonesia sudah dan banyak.
Sekjen MIUMI dalam sesi akhir penyampaian pandangannya bersama M. Zaitun Rasmin dan Fahmi Salim menyerahkan 7500 surat penolakan masyarakat terhadap draf RUU KKG dan buku riset “Indahnya Keserasian Jender dalam Islam” karya inisiator MIUMI, Henri Solahuddin MA.,
Ahmad Rubaie, anggota komisi VIII FPAN, mengaku sangat respek dengan keseriusan MIUMI dalam mengkaji isu Gender dengan publikasi riset, pernyataan sikap dan kajian-kajian ilmiah.
MIUMI juga menegaskan tetap tidak menerima RUU tersebut jika draft-draft yang lain memiliki hakikat yang sama dengan yang dikritisi.
“Sikap MIUMI jelas tetap akan menolak draf resmi RUU KKG jika substansinya masih tetap sama dengan draf tidak resmi yang menurut salah satu pimpinan komisi Ibu Chayrunnisa berasal dari rumusan deputi PUU (panitia undang-undang) DPR,” lontar MIUMI.
Selain itu MIUMI juga akan terus mengedukasi masyarakat tentang bahayanya paham KKG sebagai wacana atau produk undang-undang. (bilal/arrahmah.com)