JAKARTA (Arrahmah.com) – MUI akan menyelenggarakan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 29 Juni-2 Juli 2012 di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam pertemuan itu, MUI akan merumuskan sejumlah fatwa, salah satunya mengenai boleh tidaknya negara merampas aset koruptor.
“MUI sudah pernah membahas hukum korupsi dan pembuktian terbalik, sekarang mengenai harta koruptor,” kata Ketua MUI Pusat Dr KH Ma’ruf Amin kepada pers di Jakarta, Jumat (15/6) sore.
Menurut dia, harta milik pelaku tidak mesti semuanya harta hasil korupsi. “Kita melihat ada yang jelas dari korupsi, ada yang tidak dari korupsi, tapi ada yang ‘abu-abu’ alias tidak jelas,” ucapnya.
Dijelaskan, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti berasal dari tindak pidana korupsi adalah bukan milik pelaku. Karenanya, aset tersebut harus dirampas dan diambil oleh negara, sedang pelakunya dihukum. Adapun aset yang terbukti bukan berasal dari korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tidak boleh dirampas oleh negara.
“Perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi yang bukan berasal dari hasil korupsi, itu jelas tidak boleh dirampas negara. Hal itu harus dikembalikan kepada pelaku,” ujar Kiyai Ma’ruf.
Namun menurutnya, yang akan menjadi perdebatan dalam ijtima ulama nanti lebih kepada aset yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, tetapi juga tidak bisa dibuktikan aset tersebut miliknya.
“Ini sebenarnya wilayah abu-abu yang akan menjadi diskusi nanti dalam ijtima ulama,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa pembahasan wacana ini adalah sebagai bentuk respons MUI atas isu pemiskinan koruptor.
“Ini respon dari isu pemiskinan koruptor, tapi kita akan menjawabnya tidak dalam rangka pemiskinan, kita proposional sebagaimana aturan yang ada,” kata kiai Ma’ruf selaku Ketua Tim Pengkajian Materi Ijtima didampingi sekretarisnya Dr Asrorun Niam Saleh dan Sekjen MUI Pusat Ichwan Sam.
Mengenai masalah pencucian uang, ini merupakan tindak pidana yang dilarang, karena merupakan bentuk pencurian (sariqah) dan penipuan (ghulul) dan merupakan jarimah murakkabah. Pelaku tindak pidana pencucian uang dihukum dengan hukuman had dan ta’zir. “Menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang hukumnya haram.”
Pada ijtima atau pertemuan yang akan dibuka Presiden RI, lanjut kiai Ma’ruf, juga akan dibahas dana talangan haji dan istitha’ah untuk menunaikan haji. Selain itu, tentang status kepemilikan dana setoran BPIH (biaya penyelenggaraan ibadah haji). “Status setoran awal BPIH ini milik siapa, milik pemerintah atau jamaah, ini perlu akad,” ujarnya.
Ijtima ulama akan dihadiri pimpinan komisi fatwa MUI se Indonesia, pimpinan pondok pesatren, pimpinan fakultas syariah dan hukum PTAI, para cendekiawan.
Ada tiga kelompok pembahasan, yaitu masail asasiyah wathaniyyah (masalah strategis kebangsaan), masalah fiqhiyyah mua’shirah (masalah sosial keagamaan kontemporer) dan masail qanuniyyah (masalah hukum dan perundangan-undangan), demikian kiai Ma’ruf Amin. (bilal/arrahmah.com)