MANTUFA (Arrahmah.com) – Saat masyarakat menjalankan ibadah puasa dengan tenang, pekerja Muslim di Italia justru dilarang berpuasa selama Ramadhan. Larangan tersebut dikeluarkan Komite Keselamatan Kegiatan Pertanian Italia. Mereka mengharuskan pekerja di ladang, termasuk Muslim, untuk tetap makan dan minum selama Ramadhan dengan alasan kesehatan. Jika para pekerja tidak menaati peraturan itu, mereka akan mendapat pemecatan kerja.
Peraturan itu dikeluarkan di Kota Mantufa, Italia Utara. Serikat Buruh Pusat di negeri tersebut pun menyepakati peraturan tersebut. Mereka beralasan, peraturan berdasarkan rancangan perundangan yang mengharuskan pekerja pada siang hari untuk banyak minum.
Jika mengonsumsi sedikit air di musim panas, maka dapat berisiko terkena bahaya sengatan matahari atau bahaya kekeringan serta mengakibatkan hal-hal yang membahayakan kehidupan. Itu karena cuaca panas yang sangat terik di negeri itu saat Ramadhan, lebih dari 30 derajat celsius. Mereka menganggap dengan waktu puasa yang lebih dari 16 jam, pekerja akan tidak bertenaga.
“Para buruh yang menolak minum selama Ramadhan menciptakan persoalan yang perlu diperhatikan. Ini untuk kesehatan mereka, karena cuaca lebih dari 30 derajat celcius,” ujar Komite Keselamatan Kegiatan Pertanian Italia, Roberto Cagliari, seperti dikutip Muslimdaily.com. Peraturan ini sangat tidak masuk akal, terlebih dikeluarkan menjelang Ramadhan, bulan di mana umat Muslim sedang dalam ghirah tertinggi untuk mengumpulkan pahala melalui ibadah wajib dan sunah.
Peraturan itu adalah salah satu tantangan Muslim di Italia saat menjalankan ibadah puasa di negeri yang merupakan markas Kristen Katolik (Katolik Roma). Muslim di negeri itu adalah minoritas, dan tidak ada pengakuan negara terhadap Islam sebagai agama yang berdaulat. Pemerintah Italia pun tidak mengizinkan bagi Muslim untuk membuat stasiun televisi atau radio yang khusus menyiarkan program-program dan acara-acara Islami. Pemerintah Italia juga melarang Muslim di sana menguburkan jenazah secara Islami, kecuali di kota Roma.
Dr Abdul Wali as-Syamiri, seorang imigran Yaman di Roma, seperti dikutip dari situs KMM Mesir, mengatakan, selama di Italia dia tidak merasakan suasana Ramadhan yang khas seperti di negerinya. Rasa rindu akan keluarga kerap menghampirinya, yaitu saat kebersamaan berbuka puasa.
Syamiri harus menjalankan puasa seadanya di Roma. Tanpa keluarga, tanpa makanan spesial Ramadhan, dan tanpa lantunan azan atau acara religi di televisi. Meski demikian, dia masih bisa melaksanakan segala ibadah ritual Ramadhan. “Kami bisa rutin melakukan salat lima waktu, Tarawih, serta shalat jamaah lainnya di Masjid Agung Roma,” paparnya.
Pada bulan suci ini, biasanya orang Muslim di Roma, yang kebanyakan imigran, masih dapat menghidupkan malam-malam Ramadhan. Mereka bertilawah, qiyamullail, dan iktikaf di Masjid Agung Roma.
Mesjid ini merupakan satusatunya tempat yang bisa diandalkan untuk berbagai ibadah dan kegiatan Muslimin Italia. Lokasinya pun jauh dari permukiman orang Muslim. Kebanyakan jamaah berasal dari luar kota, hanya sebagian kecil yang berasal dari permukiman sekitar masjid.
Sayangnya, suasana ini hanya dapat dirasakan oleh Muslim yang berada di Kota Roma, terutama di sekitar Masjid Agung. Sedangkan yang di tempat lain sangatlah sulit, apalagi masjid sangat minim di sana. Kalaupun ada masjid atau mushala di daerah lain, tidak semuanya mendapatkan izin resmi yang membolehkan iktikaf.
Seandainya ada yang melakukan iktikaf di masjid atau mushala yang tidak punya izin resmi, maka itu dianggap tindakan kriminal. Akibatnya, mereka hanya sekadar shalat fardu dan Tarawih di masjid tersebut. Sebagian besar masjid di sana juga tidak dibolehkan memakai corong mikropon keluar masjid. Jadi, kalau azan berkumandang, misalnya, hanya bisa didengar oleh orang-orang yang berada di dalam masjid. (rep/arrahmah.com)