SITTWE (Arrahmah.com) – Myanmar mendeklarasikan keadaaan darurat di wilayah barat yang berbatasan dengan Bangladesh untuk “mencegah” bentrokan antara Muslim dan Budha yang menurut mereka mengancam transisi demokrasi di negara itu.
Presiden Thein Sein mengatakan dalam pidato televisi kemarin malam (10/6/2012) bahwa kekerasan tidak terkendali dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk melanjutkan reformasi demokrasi yang dapat mendorong AS dan Uni Eropa menunda sanksi.
Penjaga perbatasan Bangladesh juga mencegah Muslim Rohingya memasuki negara mereka, ujar Mayor Shafiqur Rahman.
“Situasi bisa memburuk dan bisa diperpanjang di negara bagian Rakhine jika kita meneror dan membunuh satu sama lain dengan sektarianisme semacam itu, kebencian tak berujun, keinginan balas dendam dan anarki,” klaim
Thein Sein seperti yang dilaporkan media negara, New Light of Myanmar. Demokratisasi “bisa menjadi sukses hanya atas dasar perdamaian dan stabilitas dan aturan hukum,” lanjutnya.
Pidato Then Sein datang setelah kekerasan yang dialami oleh Muslim Rohingya yang dilakukan oleh etnis Budha Rakhine. Rakhine membakar hampir seribu rumah Muslim, sebanyak 100 orang tewas dan 300 lainnya terluka dalam kekerasan tersebut, bahkan Masjid-masjid ikut menjadi target pembakaran.
Saat ini komunitas Muslim Rohingya tidak mendapat dukungan dari siapapun, mereka berlindung di bawah langit terbuka dan bahkan tidak diijinkan menyebrang ke Bangladesh untuk mendapatkan perlindungan.
Dugaan perkosaan
Kerusuhan dimulai setelah dugaan pemerkosaan yang dituduhkan Rakhine terhadap Muslim dan 10 Muslim Rohingya dibunuh saat itu pada pekan lalu, ujar penasehat Thein Sein, Ko Ko Hlaing pada 8 Juni lalu seperti yang dilansir Bloomberg.
Myanmar memberlakukan jam malam dari senja ke fajar di empat kota di negara bagian Rakhine dan melarang lebih dari lima orang berkumpul di tempat umum, menurut New Light of Myanmar. Tetapi ternyata hal tersebut tak bisa mencegah kebrutalan kaum Budha Rakhine terhadap Muslim.
“Kami telah memperkuat kewaspadaan di sepanjang perbatasan dengan Myanmar,” ujar Rahman. “Di pagi hari, sekitar 100 rohingya di tiga kapal pukat mencoba masuk ke Bangladesh, tetapi kami tidak membiarkan mereka masuk,” lanjutnya melalui telepon.
Pertempuran pecah di Sittwe, ibukota Rakhine beberapa hari lalu (10/6). Menewaskan dan melukai banyak Muslim Rohingya serta membakar rumah-rumah penduduk Muslim.
Rohingya adalah Muslim Sunni keturunan pedagang Arab, mereka tidak berada di antara 135 etnis yang diakui secara resmi oleh pemerintah Myanmar, yang mencegah mereka dari mendapatkan kewarganegaraan dan bepergian bebas di seluruh negeri. Sebagian besar tinggal di tiga kota dekat perbatasan Bangladesh, di mana sekitar 265.000 Rohingya tinggal di dalam atau sekitar kamp-kamp pengungsi, menurut laporan PBB.
Kebijakan Then Sein terhadap Rohingya sebagian besar mirip dengan junta militer yang berkuasa sebelumnya meskipun banding untuk menghentikan kebencian etnis telah dilakukan, menurut Phil Robertson, wakil direktur kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York. Pemerintah membatasi akses ke negara bagian Rakhine, sehingga sulit untuk memverifikasi laporan yang datang dari daerah tersebut, lanjutnya. (haninmazaya/arrahmah.com)