Rumah Florinda Zeka di tengah Kosovo merupakan tempat yang sangat indah, dikelilingi oleh perbukitan yang bergelombang.
Keheningan pedesaan hanya dirusak oleh suara-suara kokok ayam yang berjalan santai melewati perkebunan. Namun untuk beberapa bulan terakhir, hidup bagi gadis berusia 17 tahun tersebut dirasakan sangat damai.
Ia terpaksa meninggalkan sekolah ketika ia mengenakan jilbab pada Maret lalu, setelah pemerintah Kosovo mengeluarkan aturan yang melarang siswi Muslim mengenakan penutup aurat tersebut di sekolah umum.
Otoritas lokal memutuskan akan membiarkannya kembali ke kelas setelah liburan musim panas.
“Aku merasa sangat sedih dan didiskriminasikan karena aku memiliki hak seperti yang lainnya, aku ingin pergi ke sekolah,” ujar Florinda yang duduk di teras rumahnya.
“Jika mereka mengatakan untuk melepaskannya, aku tidak akan melakukannya dan aku akan meninggalkan sekolah karena menutup aurat lebih penting bagiku daripada sekolah. Ini adalah hal terpenting dalam hidupku,” ujarnya menambahkan.
“Nilai Eropa”
Pemerintah Kosovo memutuskan untuk melarang penggunaan kerudung di sekolah umum pada tahun lalu, sesuai dengan konstitusi yang dideklarasikan Kosovo yang menyatakan bahwa negeri tersebut adalah negeri sekuler.
Namun beberapa kalangan meyakini bahwa motif sebenarnya adalah keinginan pemerintah yang ingin memperlihatkan Kosovo sebagai “Barat”, memperlihatkan “nilai-nilai Eropa” dengan harapan akhirnya dapat bergabung dengan Uni Eropa.
Hal ini terlihat dari fakta di lapangan dengan berdirinya Gereja Katolik Katedral terbesar di pusat ibukota Kosovo, Pristina, sementara Muslim Kosovo yang menjadi mayoritas di negeri tersebut (90%), harus sholat hingga ke trotoar-trotoar jalanan karena kekurangan ruang, ironis!
Namun Wakil Menteri Luar Negeri Kosovo, mengklaim hal lain.
“Kerudung di Kosovo bukanlah elemen dari identitas kami. Itu adalah tanda kepasrahan perempuan terhadap laki-laki, bukan tanda pilihan,” klaimnya.
“Aku tidak berpikir jika perempuan berusia 16 atau 17 tahun apalagi usia 5 tahun dapat mengambil keputusan dengan sadar untuk mengenakan kerudung,” lanjutnya dengan sinis.
Protes
Namun keputusan pemerintah itu ternyata mengundang protes di Pristina, sekitar 5.000 orang turun ke jalan untuk melakukan aksi protes menentang keputusan pemerintah pada Juni lalu.
Pemimpin Muslim mengatakan mereka akan membawa pemerintah ke pengadilan internasional jika keputusan tersebut tidak dicabut.
Hal ini terjadi hanya berselang dua setengah tahun sejak Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia.
Dan penduduk ternyata menentang hukum tersebut, seorang penerjemah lokal, Besa Ismaili mengatakan ini akan berdampak buruk dan mempengaruhi dukungan publik Kosovo untuk pemerintah.
“Hal ini membangun permusuhan terhadap pemerintah,” ujarnya.
“Pemerintah harus membangun nilai-nilai yang dicintai oleh penduduk Kosovo. Dan hukum tersebut akan menimbulkan kebencian.”
“Ide ini bukanlah sesuatu yang baik karena setiap orang memiliki hak untuk melakukan apa yang terbaik menurutnya,” ujar Bajram (30).
“Aku tahu di Inggris mereka memiliki hak pergi ke sekolah dan tidak ada masalah, lalu mengapa di sini dipermasalahkan?”
Pengamat meyakini pemerintah takut akan berkembangnya “radikalisme” di kalangan penduduk Muslim Kosovo. Namun mereka mengatakan bahwa larangan penggunaan penutup aurat tidak ada hubungannya dengan fundamentalisme karena menutup aurat telah sangat jelas diwajibkan dalam aturan Islam. (haninmazaya/arrahmah.com)