Di balik gerbang biru sekolah Islam di perumahan Eastleigh Nairobi, Ahmed Awil tidak bisa melarikan diri dari perang di negara asalnya.
Sekolah dan Mesjid dimana ajaran Islam sesuai Qur’an dan Sunnah diajarkan, membentuk kembali komunitas imigran Somalia yang selama tujuh tahun tinggal di ibukot negara tetangganya, Kenya yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani.
Buku-buku anti-Barat dijual bebas. Penduduk berbicara mengenai Al-Shabaab dan anak-anak seperti Ahmed memuji-muji Al-shabaab yang melancarkan jihad di Somalia menentang kedzoliman pemerintah boneka yang didukung Barat.
“Guruku mengatakan kepadaku bahwa al-Shabaab berjuang untuk agama dan negara kami,” ujar Ahmed, seorang bocah kurus berusia 11 tahun yang melarikan diri ke Kenya saat negaranya dalam keadaan kritis saat diserbu tentara Ethiopia.
“Terkadang mereka mengajak kita untuk pergi ke sana dan berperang.”
Eastleight, sebuah perumahan kumuh yang menjadi tempat bagi puluhan ribu warga Somalia, menurut pemerintah Kenya telah menjadi inkubator bagi “ekstrimis” Islam.
“Apa yang paling kami takutkan adalah bahwa ideologi ekstrimis akan terus tumbuh,” ujar Dualle Abdi Malik, direktur Fathu Rahman, sekolah Islam moderat. “Kami akan memeranginya sebelum semuanya terlambat.”
Komunitas imigram Somalia kini berada dalam pengawasan ketat pemerintah Kenya setelah terjadi ledakan besar di dua bar di ibukota Uganda, Kampala. Al-Shabaab mengatakan mereka bertanggungjawab atas serangan tersebut.
Al-shabaab yang berarti “pemuda” dalam bahwa Indonesi dan kelompok Islam lainnya di Somalia secara bebas melakukan perjalanan ke Nairobi untuk mengumpulkan dana, merekrut dan mengobati pejuang mereka yang terluka, berdasarkan statemen PBB dan otoritas Kenya. Para jihadi Somalia-Amerika melakukan pertemuan di Eastleigh sebelum menuju Somalia untuk bergabung dengan Al-shabaab.
“Eastleigh adalah tiruan Mogadishu,” ujar Mohamed Omar Dalha, Menteri Sosial Somalia.
“Apa yang terjadi di Mogadishu terjadi di Eastleigh, kecuali perang,” lanjutnya.
Di toko buku Islam al-Huda, sebuah toko berukuran kecil yang terletak dekat sebuah mesjid Eastleigh, beberapa pemuda terlihat tengah memilih-milih buku. Buku-buku paket, Mushaf Al-qur’an, rekaman ceramah dan debat yang merupakan suara ulama-ulama mujahid dijual secara terbuka.
Al-Shabaab telah lama mengancam akan menyerang Kenya. Pada tahun 1998, Al-Qaeda dituduh melakukan pengeboman di Nairobi dan Tanzinia pada 2001 dan sebuah hotel milik Israel di Mombasa. Awal tahun ini, aksi protes meletus saat seorang ulama asal Jamaika ditangkap oleh otoritas.
Polisi Kenya telah lama melecehkan warga Somalia, menuntut suap di bawah ancaman penangkapan atau deportasi yang akhirnya menimbulkan kebencian. Sejak serangan Kampala, polisi telah menangkap ratusan orang dari Eastleigh dan daerah lainnya termasuk empat
Muslim Kenya yang menjadi aktivis HAM diekstradisi ke Uganda untuk interogasi.
“Komunitas ini sangat menderita,” ujar Abdufatah Ali, wakil Eastleigh di Dewan Kota Nairobi. “Polisi menghentikan Anda dan mengambil telepon Anda dan mengatakan bahwa Anda adalah Al-Shabaab. Mereka memasuki rumah-rumah penduduk, memperkosa dan mengatakan kalian Al-Shabaab.”
Para ulama mujahid membantu mereka, meluruskan tauhid mereka, mengoperasikan mesjid terbesar di Eastleigh, memberikan kepemimpinan ideologi dan sumber daya.
Di sekolah Ansaaru, sekolah dasar, dimana Awil menghadiri kelas, para murid perempuan dan laki-laki mempelajari semua pelajaran termasuk geografi, kimia dan biologi. Saat pelajaran agama, mereka mengatakan kewajiban seorang Muslim membebaskan Yerusalem dan Mesjid Al-Aqsa.
Terkadang, para guru memperlihatkan video pertempuran di Afghanistan, Irak dan Somalia.
“Mereka mengatakan kepada kami Al-Shabaab sangat membenci negara Barat seperti Amerika,” ujar Zakeria Omar.
“Itu karena Amerika melakukan penjajahan ke setiap negeri Muslim,” lanjutnya. (haninmazaya/arrahmah.com)