JAKARTA (Arrahmah.com) – Berasal sama-sama dari Gontor, tetapi ternyata tidak serta merta memiliki pemikiran yang sama. Itulah yang terjadi antara mendiang Nurcholis Majid atau Cak Nur dengan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr.Hamid Fahmi Zarkasy. Jika yang satu menjajakan sekularisme, maka Gus Hamid justru melawan sekularisme yang menyerang pemikiran-pemikiran Kaum muslimin
Perlawanan tersebut oleh pria yang biasa disapa Gus Hamid itu, ia konkretkan dalam sebuah buku yang malam tadi diluncurkan yaitu, buku ‘MISYKAT: Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi’ di auditorium Gedung Bank Bukopin, Jakarta, Minggu (27/5) malam.
Melalui buku tersebut, Gus Hamid beserta MIUMI mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat belakangan ini, seperti gelombang Liberalisasi kehidupan serta fenomena kedatangan Lady Gaga dan Irsyad Manji.
“Buku ini akan menjawab melalui aspek pemikiran, tidak secara spesifik ataupun dalam hal bisnis,” ujar Hamid.
Pria yang juga anggota INSIST itu mengatakan akan mencoba meluruskan paham-paham atau ide sekularitas dan liberalisasi yang pernah dipaparkan oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur), dalam makalahnya yang berjudul ‘Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.
“Cak Nur membawa pikiran yang menarik sekaligus mengelirukan banyak orang. Islamisasi yang dibawanya itu sebenarnya sekularisasi,” ujar Gus Hamid.
Cak Nur mengaitkan sekularisasi, kebebasan intelektual, gagasan mengenai kemajuan serta sikap terbuka. Gagasan itu ternyata mampu mensakralkan pemikirannya, meskipun banyak pula cendikiawan Muslim yang mengkritisinya. Bahkan karena Cak Nur menjadi salah satu alumnus Ponpes Modern Gontor, terkadang diidentikkan dengan Pesantren Gontor.
“Orang-orang berpikiran liberal saat era Cak Nur masih melakukan syariat. Saat ini malah orang liberal tidak melakukan syariat Islam, bahkan hanya dianggap produk ulama saat 3 Hijriah. Inilah dekonstruksi syariah,” ujar Gus Hamid menjelaskan.
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini sangat prihatin jika aspek syariah mulai dikesampingkan. Sehingga kelak jika tak ada upaya perjuangan, maka halal haram akan menjadi sesuatu yang tidak dikenal manusia.
“Namun kita tak boleh mengkafirkan orang. Membathilkan orang saat ini tak mudah, perlu ajaran yang kuat melatarbelakangi pemikiran untuk melawan ajaran pluralisme, relativisme agama. Kenapa agama dianggap jahat, inilah era yang disebut liberalisasi dan globalisasi,” cetus Gus Hamid.
Melalui Misykat, Gus Hamid berupaya mengkritisi dunia pemikiran Islam yang berlumur kontaminasi pemikiran liberal seperti pluralisme agama, bukan serupa toleransi yang telah dimiliki bangsa Indonesia saat ini. “Umat Islam lahir dalam masyarakat plural. Toleransi terbaik di dunia ada di Indonesia. Dan mayoritasnya Islam. Jadi Orang Islam paling toleran dibanding umat agama lain,” tegasnya. (bilal/arrahmah.com)