TUNIS (Arrahmah.com) – Mengibarkan bendera hitam yang bertuliskan kalimat tauhid, ribuan penduduk Tunisia berunjuk rasa di pusat kota Kairouan pada Minggu (20/5/2012) untuk menuntut peran yang lebih luas bagi agama Islam di seluruh negeri yang dulu dianggap negara paling sekuler di dunia Arab, lapor Reuters.
Mengalungkan banner dari kota Masjid tua, pendukung Ansar al-Sharia, salah satu gerakan Islam terkemuka di Tunisia, menunjukkan kekuatan yang menyebabkan ketakutan di antara sekuleris.
Di penjara atau gerakan bawah tanah sebelum pemberontakan yang berhasil menggulingkan Zine al Abidine Ben Ali dan menjadi pemicu revolusi di dunia Arab, Islamis di Tunisia telah menjadi lebih tegas.
Beberapa pembicara pada konfernsi nasional kedua Ansar al-Sharia telah dipenjara atas tuduhan “terorisme” baik di Tunisia maupun di kamp penahanan Guantanamo.
Dengan meneriakkan Allahu akbar, pemimpin Ansar al-Sharia, Saifallah Ben Hussein yang lebih dikenal dengan Abu ayadh, mempresentasikan visi gerakan untuk Tunisia baru di mana media, pendidikan, pariwisata dan sektor komersial akan disusun kembali sesuai prinsip-prinsip Islam.
“Dalam pariwisata dan perdagangan, kami mengatakan kepada mereka bahwa solusinya adalah untuk mengakhiri riba,” ujarnya di hadapan para pendukungnya.
Abu Ayadh menyerukan pembentukan sebuah serikat buruh Islam untuk menghadapi kekuatan persatuan serikat pekerja sekuler yang mendominasi.
Kelompok Salafi Tunisia menginginkan peran lebih luas bagi syariat Islam di Tunisia baru, elit sekuler mengkhawatirkan dan takut bahwa pandangan Salafi dapat merusak demokrasi yang baru lahir di Tunisia.
Sejauh ini tidak ada bentrokan yang mencolok antara Salafi dengan kelompok “Islam moderat” meskipun ada perbedaan dalam pandangan keduanya.
“Mereka (sekuleris) ingin ada perpecahan antara kami dengan kelompok Islam lainnya, tapi tidak peduli berapa banyak perbedaan antara ummat Islam di negeri ini, agama kami mencegah ini,” ujar Abu Ayadh.
Tunisia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim, namun tradisi sekuler sangat kental di sana, terutama saat rezim Ben Ali berkuasa.
Islam ditekan dengan begitu parah di bawah Ben Ali, pria Muslim dilarang memelihara jenggot, mereka sangat diawasi dengan ketat di masjid-masjid. Muslimah dilarang menutup aurat apalagi wajah mereka.
“Kami telah menunggu saat ini, kebebasan ini begitu lama. Di bawah Ben Ali, saya hanya bisa mengenakan kerudung biasa, saya tidak merasa bebas,” ujar seorang Muslimah yang mengenakan hijab hitam dan hanya terlihat kedua matanya.
“Setelah revolusi, saya merasa bebas dan semakin mendalami agama saya dan saya merasa tenang.”
Dalam aksi unjuk rasa itu, mereka mengatakan akan berusaha menyebarkan nilai-nilai Islam melalui dakwah dan dialog. (haninmazaya/arrahmah.com)