(Arrahmah.com) – Salah satu perkara penting yang harus dicamkan sebelum kita membahas permasalahan takfir (mengkafirkan) adalah kesadaran bahwa kaedah-kaedah takfir yang digali oleh para ulama Islam dari dalil-dalil syar’i, sesungguhnya dibuat untuk diterapkan kepada orang yang secara sah telah masuk Islam, kemudian terjatuh dalam ucapan atau perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Adapun orang-orang yang belum pernah secara sah masuk agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, maka kepada mereka tidak diperlukan kaedah-kaedah takfir. Apapun agama dan keyakinannya, selama secara sah belum pernah masuk agama Islam, maka ia dihukumi non muslim dan kafir. Baik ia seorang penganut atheisme, komunisme, animisme, dinamisme, politheisme, Hindu, Budha, Sinto, Majusi, Konghucu, aliran kebatinan, Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan lain sebagainya.
Hal ini perlu dicamkan, mengingat sekelompok ulama menyamaratakan antara orang-orang kafir asli dengan orang-orang yang secara sah telah masuk Islam namun terjatuh dalam sebagian ucapan atau perbuatan pembatal keislaman. Menurut sekelompok ulama tersebut, asalkan seorang yang secara sah telah masuk Islam tersebut melakukan syirik akbar, maka ia divonis musyrik. Tanpa mau melihat rincian kondisi orang yang secara sah telah masuk Islam tersebut, jenis pembatal keislaman yang ia lakukan, kondisi waktu dan tempat ia hidup, dan faktor-faktor lain yang melingkupinya.
Sekelompok ulama tersebut berdalil dengan sejumlah ayat Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ para ulama yang berbicara tentang orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah memeluk agama Islam. Dalil-dalil tersebut menegaskan orang-orang kafir asli tersebut divonis musyrik, meskipun dakwah rasul atau ilmu kebenaran belum sampai kepada mereka. Mereka lantas membuat analogi; jika orang yang belum sampai kepadanya dakwah saja langsung divonis musyrik saat melakukan syirik akbar, apalagi orang Islam yang melakukan syirik akbar setelah zaman diutusnya Rasulullah SAW dan diturunkannya Al-Qur’an?
Di antara dalil yang mereka sebutkan adalah:
(1) Firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ (137)
Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An’am [6]: 137)
(2) Firman Allah SWT:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ (6)
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 6)
(3) Firman Allah SWT:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (113)
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam. (QS. At-Taubah [9]: 113)
(4) Firman Allah SWT:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ (1)
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. Al-Bayyinah [98]: 1)
(5) Firman Allah SWT:
وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ (24)
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu setan menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. (QS. An-Naml [27]: 24)
وَصَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ (43)
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. (QS. An-Naml [27]: 43)
(6) Firman Allah SWT:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. (QS. Yusuf [12]: 39-40)
(7). Ayat dan hadits yang menyebutkan Ahlul Kitab melakukan syirik sekalipun hujah belum sampai kepada mereka. Allah berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan pembuat aturan hukum) selain Allah dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 31)
Dalam hadits shahabat Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Adi bin Hatim yang saat itu beragama Nasrani datang kepada Nabi SAW. Ia mendengar Nabi SAW membaca ayat ini, maka ia membantah, “Kami tidak beribadah kepada para pendeta dan ahli ibadah kami.”
Nabi SAW balik bertanya, “Bukankah para pendeta dan ahli ibadah kalian mengharamkan hal yang Allah halalkan maka kalian ikut-ikutan mengharamkannya; dan mereka menghalalkan hal yang Allah haramkan maka kalian ikut-ikutan menghalalkannya?”
Adi bin Hatim menjawab, “Ya, begitu.” Beliau SAW bersabda, “Itulah bentuk ibadah kepada para pendeta dan ahli ibadah.” (HR. Ath-Thabari, Tirmidzi, Al-Baghawi dan lainnya)
(8) Ijma’ ulama. Syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Bahkan ahlul fatrah yang belum sampai kepada mereka risalah (dakwah rasul) dan Al-Qur’an serta meninggal di atas kejahiliyahan tidaklah disebut kaum muslimin menurut ijma’ dan tidak dimintakan ampunan Allah untuk mereka. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang apakah mereka diazab di akhirat?”(Aqidatul Muwahhidin war Raddu ‘ala adh-Dhullal wal Mubtadi’in, hlm. 171 karya Abdullah bin Sa’di al-Ghamidi al-Abdali)
***
Jika kita cermati ayat-ayat, hadits, dan ijma’ yang disebutkan di atas, kita mendapati semuanya berkenaan dengan orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah memeluk Islam. Dalam menghukumi mereka secara lahiriah sebagai orang-orang kafir, kita tidak perlu membahas penghalang-penghalang pengkafiran seperti kebodohan (al-jahl), ketiadaan maksud (al-khahta’), kekeliruan memahami dalil (at-ta’wil), atau ijtihad. Kekafiran mereka telah disepakati dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih telah menegaskan keimanan dan keislaman setiap hamba yang mengimani secara global rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima. Yaitu seorang hamba yang mengucapkan dua kalimat syahadat, meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan Yang berhak disembah, meyakini tidak ada tuhan selain-Nya yang berhak disembah, meyakini Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan rasul, mengimani Al-Qur’an dan kitab-kitab suci terdahulu, mengimani pada nabi dan rasul, mengimani hari akhir, mengimani takdir, melaksanakan ibadah hati secara global (takut kepada Allah, cinta kepada Allah, berharap kepada Allah, sabar, syukur, ridha kepada takdirnya, dan lain-lain), melakukan ibadah lisan secara global (membaca Al-Qur’an, berdzikir, berdoa, mengucapkan perkataan yang baik dan lain-lain), dan mengamalkan ibadah anggota badan secara global (melaksanakan shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, dan lain-lain).
Dalil-dalil dari Al-Qur’an tentang hal itu antara lain adalah:
(1) Firman Allah SWT:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Baqarah [2]: 3-5)
(2) Firman Allah SWT:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
(3) Firman Allah SWT:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285)
Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285)
(4) Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (136)
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 136)
(5) Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (152)
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ [4]: 152)
(6) Firman Allah SWT:
هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (3)
Untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. (QS. An-Naml [27]: 152)
Dalil-dalil dari hadits shahih antara lain adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” «بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ» “
(7) Dari Ibnu Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Islam dibangun di atas lima dasar; bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8, Muslim no. 21, Tirmidzi no. 2609, dan An-Nasai no. 5001)
حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ،،
(8) Dari Umar RA berkata, “Pada suatu hari kami tengah duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, sama sekali tidak nampak tanda bekas perjalanan jauh pada dirinya, dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Laki-laki itu duduk di hadapan Nabi SAW, merapatkan kedua lututnya kepada kedua lutut beliau, dan meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua paha beliau.
Laki-laki itu berkata, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Islam!” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika engkau memiliki kemampuan.” Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.” Umar berkata, “Maka kami heran kepadanya. Sebab dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan jawabannya.”
Laki-laki itu berkata lagi, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Iman!” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang baik maupun buruk.” Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.” (HR. Muslim no. 8, Abu Daud no. 4695, dan An-Nasai no. 4990)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ، فَيَسْأَلَهُ، وَنَحْنُ نَسْمَعُ، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَكَ، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ، وَخَلَقَ الْأَرْضَ، وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا، وَلَيْلَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي أَمْوَالِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: ثُمَّ وَلَّى، قَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ»
(9) Dari Anas bin Malik RA berkata, “Kami dilarang menanyakan sesuatu perkara pun kepada Rasulullah SAW, sehingga kami senang apabila ada seorang Arab badui yang cerdas datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW dan kami bisa mendengarkannya. Pada suatu hari seorang Arab badui datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami dan memberitahukan kepada kami bahwa Allah telah mengutusmu.” Rasulullah SAW menjawab, “Benar begitu.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Siapakah yang menciptakan langit?” Beliau menjawab, “Allah.” Laki-laki badui itu bertanya, “Siapakah yang menciptakan bumi?” Beliau menjawab, “Allah.” Laki-laki badui itu bertanya, “Siapakah yang menancapkan gunung-gunung dengan segala isinya?” Beliau menjawab, “Allah.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah menciptakan langit, bumi, dan menegakkan gunung-gunung. Benarkah Allah telah mengutusmu?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa kami wajib melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari-semalam?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa ada kewajiban zakat dalam harta kami?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa dalam setahun, kami wajib melaksanakan shaum Ramadhan?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami wajib melaksanakan haji ke baitullah jika memiliki kemampuan?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu kemudian berpaling dan berkata, “Demi Allah Yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahi dari hal-hal itu dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka beliau bersabda, “Jika ia berkata jujur, sungguh ia benar-benar akan masuk surga.”
(HR. Muslim no. 10 dan Tirmidzi no. 619)
Imam Bukhari meriwayatkannya dengan lafal sebagai berikut:
عَنْ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ، دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ، فَأَنَاخَهُ فِي المَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ: أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ؟ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ، فَقُلْنَا: هَذَا الرَّجُلُ الأَبْيَضُ المُتَّكِئُ. فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: يَا ابْنَ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَجَبْتُكَ». فَقَالَ الرَّجُلُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فِي المَسْأَلَةِ، فَلاَ تَجِدْ عَلَيَّ فِي نَفْسِكَ؟ فَقَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ» فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ إِلَى النَّاسِ كُلِّهِمْ؟ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنَ السَّنَةِ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِنَا فَتَقْسِمَهَا عَلَى فُقَرَائِنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». فَقَالَ الرَّجُلُ: آمَنْتُ بِمَا جِئْتَ بِهِ، وَأَنَا رَسُولُ مَنْ وَرَائِي مِنْ قَوْمِي، وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ أَخُو بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ
Dari Anas bin Malik RA berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW di dalam masjid, tiba-tiba seorang laki-laki datang dengan mengendarai seekor unta. Ia menderumkan untanya dan menambatkannya di tiang masjid. Ia lantas bertanya, “Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad?” Saat itu beliau SAW sedang duduk bersandar di tengah kami, maka kami berkata, “Beliau adalah laki-laki berkulit putih yang sedang duduk bersandar ini.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai cucu Abdul Muthalib.” Beliau SAW menjawab, “Ya, saya jawab panggilanmu.” Laki-laki itu bertanya kepada beliau, “Aku akan bertanya kepadamu dengan sungguh-sungguh, apakah engkau tidak akan marah kepadaku?” Beliau menjawab, “Tanyakanlah apa yang hendak engkau tanyakan!”
Laki-laki itu bertanya kepada beliau, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu dan Tuhan orang-orang sebelummu. Apakah Allah telah mengutusmu kepada semua manusia?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami shalat lima kali sehari-semalam? Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum bulan (Ramadhan) ini dalam satu tahun?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara orang-orang miskin di tengah kami?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu berkata, “Aku beriman kepada ajaran yang engkau bawa. Aku adalah utusan kaumku, namaku Dhimam bin Tsa’labah, saudara dari marga Sa’ad bin Bakr.” (HR. Bukhari no. 63, Ibnu Majah no. 1402, Ahmad no. 12719, dan lain-lain)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَصْحَابِهِ جَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ قَالَ: أَيُّكُمُ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟ قَالُوا: هَذَا الْأَمْغَرُ الْمُرْتَفِقُ – قَالَ حَمْزَةُ -: الْأَمْغَرُ الْأَبْيَضُ مُشْرَبٌ حُمْرَةً، فَقَالَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشْتَدٌّ عَلَيْكَ فِي الْمَسْأَلَةِ، قَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ»، قَالَ: أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ، وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، وَرَبِّ مَنْ بَعْدَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تُصَلِّيَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْ أَمْوَالِ أَغْنِيَائِنَا فَتَرُدَّهُ عَلَى فُقَرَائِنَا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ يَحُجَّ هَذَا الْبَيْتَ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَإِنِّي آمَنْتُ وَصَدَّقْتُ وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ
(10) Dari Abu Hurairah RA berkata, “Ketika Nabi SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui sambil bertanya, “Siapakah di antara kalian cucu Abdul Muthalib?” Mereka menjawab, “Inilah dia, orang yang berkulit kuning kemerah-merahan dan berbadan tegap ini.” Laki-laki itu berkata, “Aku akan bertanya kepadamu dengan sungguh-sungguh.” Beliau menjawab, “Tanyakanlah apa yang hendak engkau tanyakan!”
Laki-laki itu bertanya kepada beliau, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu dan Tuhan orang-orang sesudahmu. Apakah Allah telah mengutusmu kepada semua manusia?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kamu melaksanakan shalat lima kali sehari-semalam?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara orang-orang miskin di tengah kami?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum satu bulan (Ramadhan) ini dari jumlah dua belas bulan (dalam satu tahun)?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan agar orang yang mampu menunaikan haji ke baitullah?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu berkata, “Aku beriman kepadamu dan aku membenarkan. Aku adalah Dhimam bin Tsa’labah.” (HR. An-Nasai no. 2094 dengan sanad yang kuat)
عَنْ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ” لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِأَرْبَعٍ: حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، بَعَثَنِي بِالْحَقِّ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ “
(11) Dari Ali bin Abi Thalib RA dari Nabi SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan beriman sehingga ia mengimani empat perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, Allah mengutusku dengan kebenaran; mengimani kebangkitan setelah kematian dan mengimani takdir.” (HR. Tirmidzi no. 2145, Ibnu Majah no. 81, Ahmad no. 758 dan Al-Hakim no. 92, sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi)
عَنِ الشَّرِيدِ، أَنَّ أُمَّهُ أَوْصَتْ أَنْ يُعْتِقُوا عَنْهَا رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: عِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ نُوبِيَّةٌ، فَأُعْتِقُهَا عَنْهَا؟ فَقَالَ: ” ائْتِ بِهَا “. فَدَعَوْتُهَا، فَجَاءَتْ، فَقَالَ لَهَا: ” مَنْ رَبُّكِ؟ ” قَالَتْ: اللهُ، قَالَ: ” مَنْ أَنَا؟ ” قَالَتْ: رَسُولُ اللهِ. قَالَ: ” أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ “
(12) Dari Syarid bin Suwaid ats-Tsaqafi RA bahwasanya ibunya berwasiat agar (anak-anaknya) memerdekakan seorang budak mukminah atas namanya. Syarid bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu, dan ia berkata, “Saya memiliki seorang budak wanita berkulit hitam legam. Apakah aku bisa memerdekakannya atas nama ibuku?” Beliau SAW bersabda, “Bawalah budak itu kepadaku!” Syarid berkata: “Aku pun memanggil budakku, maka ia datang.” Beliau SAW bertanya kepada budak perempuan itu, “Siapa Rabbmu?” Ia menjawab, “Allah.” Beliau SAW bertanya lagi kepada budak perempuan itu, “Siapa saya ini?” Ia menjawab, “Rasulullah.” Maka beliau SAW bersabda, “Merdekakanlah budak ini, karena ia adalah seorang budak perempuan mukminah.” (HR. Abu Daud no. 3283, Ahmad no. 17945 dan 19466, Ad-Darimi no. 2393, An-Nasai, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dengan sanad hasan. Hadits yang semakna diriwayatkan juga dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami RA oleh Muslim, Abu Daud dan An-Nasai. Hadits yangs semakna juga diriwayatkan dari Abu Hurairah RA oleh Abu Daud dan Ahmad).
Dalil dari ijma’:
(13) Imam Abu Bakar bin Mundzir berkata:
أجمع كل من أحفظ عنه من أهل العلم على أن الكافر إذ قال: أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، وأن كل ما جاء به محمد حق، وأبرأ إلى الله من كل دين يخالف دين الإسلام – وهو بالغ صحيح يعقل – أنه مسلم، فإن رجع بعد ذلك فأظهر الكفر كان مرتداً، يجب عليه ما يجب على المرتد.
“Seluruh ulama yang saya ketahui telah bersepakat bahwa seorang kafir jika mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, ia bersaksi bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah kebenaran, dan ia berlepas diri kepada Allah dari setiap agama yang menyelisihi agama Islam, sedangkan ia adalah seorang yang telah berusia baligh dan berakal sehat, maka ia berstatus MUSLIM. Jika ia kembali setelah itu dengan melakukan kekafiran secara terang-terangan, maka ia berstatus murtad, wajib diperlakukan atasnya hukuman atas orang murtad.” (Dar’u Ta’arudh al-Aql wan Naql, 8/7 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
(14) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وهذا مما اتفق عليه أئمة الدين، وعلماء المسلمين، فإنهم مجمعون على ما علم بالاضطرار من دين الرسول، أن كل كافر فإنه يدعى إلى الشهادتين، سواء كان معطلاً، أو مشركاً، أو كتابياً، وبذلك يصير الكافر مسلماً، ولا يصير مسلماً بدون ذلك.
Hal ini merupakan perkara yang telah disepakati oleh para imam dien dan ulama kaum muslimin, karena mereka semua telah bersepakat bahwa termasuk perkara yang ma’lum min dien ar-rasul bidh-dharurah (perkara yang telah pasti menjadi bagian agama Islam, perkara yang telah diketahui oleh semua muslim, baik kalangan ulama maupun orang awam, sebagai ajaran Islam—pent) bahwa setiap orang kafir mesti diajak kepada dua kalimat syahadat, baik ia seorang atheis, musyrik, maupun ahli kitab. Dengan dua kalimat syahadat itulah seorang kafir menjadi seorang muslim, dan tanpanya ia tidak akan menjadi seorang muslim.” (Dar’u Ta’arudh al-Aql wan Naql, 8/7)
Beliau juga berkata:
واتفق المسلمون على أن الصبي إذا بلغ مسلماً، لم يجب عليه عقب بلوغه تجديد الشهادتين
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa seorang anak kecil jika mencapai usia baligh (dewasa) sebagai seorang muslim, maka ia tidak wajib memperbaharui (mengulangi) pengucapan dua kalimat syahadat setelah usia baligh.” (Dar’u Ta’arudh al-Aql wan Naql, 8/8)
(15) Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلماً، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال: لا إله إلا الله، لما رفع عليه السيفَ، واشتدَّ نكيرُه عليه
Sudah termasuk perkara yang ma’lum min ad-dien bidh-dharurah bahwa Nabi SAW menerima dua kalimat syahadat semata dari setiap orang yang datang kepada beliau untuk masuk Islam, melindungi darahnya (nyawanya) dengan dua kalimat syahadat tersebut dan menjadikannya sebagai seorang muslim. Beliau SAW mengingkari Usamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah saat Usamah mengangkat pedang ke arahnya, dan pengingkaran beliau SAW kepadanya sangat keras. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/239)
***
Dari dalil-dalil Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ di atas nampak jelas bahwa menyamakan begitu saja status seorang muslim yang terjatuh dalam sebagian rincian tauhid-syirik karena faktor kebodohan (al-jahl) atau ketiadaan maksud (al-khatha’ = intifa’ al-qasd), atau salah memahami dalil syar’i (at-ta’wil) dengan status kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah atau orang-orang kafir asli lainnya tidaklah tepat.
Sebagian ulama yang menyamakan status keduanya berargumen, kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah bukanlah orang kafir asli. Mereka juga berstatus muslim, karena mereka adalah anak-keturunan nabi Ibrahim dan Ismail AS dan mengklaim mengamalkan ajaran nabi Ibrahim. Meski demikian, mereka tetap divonis musyrik walau belum sampai hujah kepada mereka, dan meskipun mereka masih mengamalkan sebagian syariat nabi Ibrahim seperti haji, umrah, thawaf, menyembelih korban, dan lain-lain.
Argumen sebagian ulama tersebut tidak lain adalah sebuah qiyas (analogi) yang keliru dan tidak tepat, karena menyelisihi dalil-dalil syar’i. Antara seorang muslim yang memiliki komitmen global dengan Islam dan iman namun terjatuh dalam sebagian rincian tauhid-syirik, dengan orang-orang musyrik Arab zaman jahiliyah terdapat perbedaan-perbedaan yang pokok dan mendasar. Perbedaan tersebut sudah termasuk pokok tauhid, bukan lagi rincian tauhid. Di antaranya perbedaan pokok dan mendasar tersebut adalah:
(1) Orang-orang musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Mereka meyakini ada Tuhan-Tuhan lain selain Allah yang juga memiliki hak untuk disembah. Dalilnya antara lain adalah firman Allah:
{إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35)}
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. (QS. Ash-Shafat [37]: 35)
{أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) }
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. (QS. Shad [38]: 5)
(2) Orang-orang musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah Tuhan Yang Maha Esa. Mereka meyakini bahwa Allah seperti makhluk, memiliki anak dan istri. Mereka bahkan meyakini bahwa Allah memiliki banyak anak perempuan. Dalilnya antara lain adalah firman Allah:
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ (57) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)
Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl [16]: 57-59)
أَفَأَصْفَاكُمْ رَبُّكُمْ بِالْبَنِينَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِنَاثًا إِنَّكُمْ لَتَقُولُونَ قَوْلًا عَظِيمًا
Maka apakah patut Rabb kalian memilihkan bagi kalian anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kalian benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosa syiriknya). (QS. Al-Isra’ [17]: 40)
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.”
Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS. Maryam [19]: 88-93)
فَاسْتَفْتِهِمْ أَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُونَ (149) أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ (150) أَلَا إِنَّهُمْ مِنْ إِفْكِهِمْ لَيَقُولُونَ (151) وَلَدَ اللَّهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (152) أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ (153) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (154)
Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka: “Apakah untuk Rabbmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: “Allah beranak.” Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. Apakah Rabba memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki? Apakah yang terjadi pada kalian? Bagaimana (caranya) kalian menetapkan? (QS. Ash-Shafat [37]: 149-154)
{وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ (15) أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُمْ بِالْبَنِينَ (16) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (17) أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ (18) وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ (19) وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (20)}
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kalian anak-anak laki-laki? Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira (lahirnya bayi perempuan, pent) dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan memakai perhiasan (anak perempuan, pent) sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Dan mereka berkata: “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (QS. Az-Zukhruf [43]: 15-20)
أَمْ لَهُ الْبَنَاتُ وَلَكُمُ الْبَنُونَ
Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kalian anak-anak laki-laki? (QS. Ath-Thur [52]: 39)
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al- Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. (QS. An-Najm [53]: 19-23)
{إِنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى}
Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. (QS. An-Najm [53]: 27)
Allah memperingatkan konskuensi dari keyakinan syirik mereka tersebut dengan firman-Nya,
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 22)
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Sekiranya ada tuhan beserta-Nya, niscaya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian tuhanyang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Al-Mu’minun [23]: 91-92)
(3) Orang-orang musyrik Arab pada zaman jahiliyah meyakini bahwa Allah memiliki istri dari golongan jin. Dari perkawinan Allah dan jin wanita lahirlah anak-anak perempuan yaitu para malaikat. Demikianlah keyakinan kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah. Naudzu billah min dzalik. Dalilnya adalah firman Allah,
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَباً وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan sesungguhnya jin-jin yang jahat mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka). (QS. Ash-Shafat [37]: 158)
Di antara pendapat para ulama sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in tentang makna ayat ini adalah:
-
Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, “Musuh-musuh Allah (kaum musyrikin, pent) meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Iblis adalah dua orang bersaudara.”
-
Adh-Dhahak bin Muzahim berkata, “Orang-orang Quraisy mengatakan ‘Sesungguhnya Iblis adalah saudara Ar-Rahman’.”
-
Mujahid bin Jabr, Qatadah bin Da’amah as-Sadusi, dan Abdurrahman bin Zaid berkata, “Orang-orang musyrik Quraisy mengatakan ‘Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah‘. Maka Abu Bakar ash-Shidiq bertanya kepada mereka, ‘Kalau begitu siapa ibu-ibu mereka?’ Orang-orang musyrik Quraisy menjawab, “Mereka adalah anak-anak perempuan dari jin-jin wanita.”
-
Al-Kalbi berkata, “Orang-orang kafir Quraisy mengatakan ‘Allah menikah dengan jin, maka lahirlah para malaikat‘.”
-
Athiyah Al-Aufi berkata, “Mereka (orang-orang musyrik, pent) mengatakan ‘Allah menikah dengan wanita mulia dari bangsa jin.” (Lihat: Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayyil Qur’an (Tafsir ath-Thabari) 21/120-121; Tafsir Ibnu Abi Hatim, 10/3231; Bahrul ‘Ulum (Tafsir as-Samarqandi), 3/154; Tafsir an-Nukat wal ‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), 5/71; Ma’alim at-Tanzil (Tafsir al-Baghawi), 7/63; dan Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (Tafsir Ibnu Katsir), 7/42)
(4) Orang-orang musyrik Arab pada zaman jahiliyah secara sadar mengakui bahwa Allah memiliki sekutu-sekutu, meskipun sekutu-sekutu tersebut tidak memiliki kekuasaan mutlak seperti kekuasaan Allah yang mutlak. Di antara dalilnya adalah hadits shahih:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَيْلَكُمْ، قَدْ قَدْ» فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ، يَقُولُونَ هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, “Orang-orang musyrik (pada saat haji atau umrah, pent) mengumandangkan talbiyah: Labbaika laa syariika laka (Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).” Maka Rasulullah SAW berkomentar, “Celaka kalian, sudah cukup begitu saja, sudah cukup begitu saja!” Namun orang-orang musyrik melanjutkan talbiyah mereka dengan mengucapkan: illa syarikan huwa laka, tamlikuhu wa maa malaka (kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa). Mereka mengumandangkan talbiyah ini sambil berthawaf mengelilingi Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185)
Talbiyah syirik ini telah mereka lakukan sejak zaman jahiliyah sebelum Rasulullah SAW dilahirkan dan diutus kepada mereka. Sebagaimana ditegaskan oleh hadits shahih,
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ بَعْدَ إِسْمَاعِيلَ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَكَانَ الشَّيْطَانُ يُحَدِّثُ النَّاسَ بِالشَّيْءِ يُرِيدُ أَنْ يَرُدَّهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ حَتَّى أَدْخَلَ عَلَيْهِمْ فِي التَّلْبِيَةِ:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ … لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ
إِلَّا شَرِيكٌ هُوَ لَكَ … تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ
قَالَ: فَمَا زَالَ حَتَّى أَخْرَجَهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى الشِّرْكِ.
Dari Anas bin Malik RA berkata: “Masyarakat sepeninggal nabi Ismail berada dalam agama Islam. Maka setan datang kepada masyarakat membisikkan kepada mereka suatu hal dengan tujuan mengeluarkan mereka dari Islam. Sampai akhirnya setan berhasil memasukkan ucapan (syirik) dalam talbiyah mereka:
Labbaika Allahumma labbaika
Labbaika laa syariika laka
illa syarikan huwa laka
tamlikuhu wa maa malaka
(Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu,
aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu
kecuali sekutu yang Engkau miliki
Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa)
Setan senantiasa mengajarkan hal itu kepada mereka sehingga akhirnya ia bisa mengeluarkan mereka dari Islam kepada kesyirikan.
(HR. Al-Bazzar. Al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid wa Mamba’ al-Fawaid, 3/223, mengatakan: Para perawinya adalah para perawi kitab Ash-Shahih).
Para pakar sejarah telah sepakat meriwayatkan talbiyah syirik ini telah dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman jahiliyah. Imam As-Suhaili dan pakar sejarah lainnya menegaskan bahwa talbiyah syirik ini pertama kali dilakukan oleh Amru bin Luhay al-Khuza’i, pemimpin Makah dari suku Khuza’ah. Pakar sejarah imam Ibnu Ishaq menegaskan talbiyah ini diucapkan oleh suku Kinanah dan Quraisy. (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/188 karya Ibnu Katsir)
***
Orang yang memiliki komitmen global kepada rukun iman dan rukun Islam seperti ini telah menyandang nama muslim dan mukmin. Terlebih jika ia lahir dari keluarga muslim dan memasuki usia baligh sebagai seorang yang memiliki komitmen global kepada rukun iman dan rukun Islam. Maka secara nama, ia menyandang status muslim dan mukmin.
Persoalan timbul ketika ia melakukan syirik akbar atau kufur akbar pada perkara yang sifatnya perincian tauhid dan iman, bukan pokok tauhid dan iman. Pokok tauhid misalnya rukun iman yang enam dan dua rukun Islam pertama (dua kalimat syahadat dan shalat wajib lima waktu). Contoh dari cabang perincian tauhid misalnya, tatacara berdoa kepada Allah; bolehkah dengan perantaraan kemuliaan Nabi SAW dan orang shalih? Contoh lainnya adalah salah satu sifat Allah; al-hukmu (memutuskan hukum dan perundang-undangan).
Apakah ia langsung divonis musyrik tanpa meneliti faktor syarat-syarat pengkafiran dan mawani’ takfir (penghalang-penghalang pengkafiran)? Ataukah ia tidak divonis musyrik karena telah memiliki nama muslim dan mukmin, sehingga yang dilakukan terhadapnya adalah penelitian ada atau tidaknya syarat-syarat pengkafiran dan penghalang-penghalang pengkafiran; jika syarat-syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalang-penghalang pengkafiran tidak ada, maka ia divonis kafir/murtad?
Hal inilah yang insya Allah akan kita bahas pada kajian selanjutnya. Wallahu a’lam bish-shawab
Bersambung, insya Allah….
(muhib almajdi/arrahmah.com)