UMEA (Arrahmah.com) – Bulan Ramadhan tahun ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi kaum Muslim di Swedia karena bertepatan dengan musim panas. Itu berarti waktu siang di Swedia lebih panjang dan komunitas Muslim di negeri itu harus berpuasa hingga 18 jam, lebih lama dibandingkan waktu berpuasa umat Islam di kawasan Asia atau Timur Tengah yang rata-rata hanya 13-14 jam.
Meski demikian, kaum Muslimin di negeri itu tetap semangat menjalankan puasa Ramadhan.
Anggota Asosiasi Muslim di Umea, Mikael Sundin mengatakan, “Panjangnya waktu siang di wilayah utara Swedia seperti di Umea lebih ekstrim dibandingkan di Stockholm. Tapi kaum Muslimin di Umea tetap mengikuti waktu yang resmi berlaku. Saya akan berpuasa sesuai waktu di sini dan akan kita lihat bagaimana puasa ini dijalankan.”
Tentu saja waktu siang yang panjang dan kondisi musim panas menjadi tantangan tersendiri bagi muslim yang harus tetap menjalankan kewajiban puasa Ramadan.
Jika di banyak negara muslim waktu siang dan waktu malamnya nyaris sama panjang, di Swedia waktu malamnya hanya beberapa jam saja.
“Tapi kaum Muslimin di Swedia tetap harus mengikuti aturan dan prinsip berpuasa, yaitu berpuasa sejak terbit fajar sampai matahari terbenam,” tukas Imam Mahmoud Khalfi, Imam Masjid Stockholm.
“Ramadhan kadang jatuh pada musim dingin dimana waktu siangnya sangat pendek,” sambung Imam Khalfi.
Pada tahun 2005, Ramadan jatuh antara bulan Oktober dan November. Pada bulan-bulan ini di Swedia sedang muslim dingin dan waktu siangnya pendek. Jika Ramadan tahun ini waktu siangnya bisa mencapai 18 jam, Ramadan di tahun-tahun yang akan datang diperkirakan waktu siangnya lebih panjang dari tahun ini. Misalnya pada tahun 2015 nanti, Ramadan akan jatuh pada bulan Juni dan di Swedia pada bulan itu waktu malamnya hanya beberapa jam saja.
Situasi itu memicu beragam pendapat untuk menentukan waktu berbuka puasa. Imam Khalfi berpendapat, pada musim panas yang waktu siangnya sangat panjang, muslim boleh mengikuti pola waktu kota yang terdekat dengan tempat tinggalnya, yang waktu matahari terbenamnya lebih cepat.
“Tapi ada juga yang berpendapat bahwa muslim di sini bisa mengikuti pola waktu yang berlaku di Mekkah,” kata Imam Khalfi merujuk pada perbedaan-perbedaan dasar pemikiran tentang bagaimana puasa harus dilaksanakan, terutama bagi anak-anak, orang yang sedang sakit atau orang-orang yang sudah lanjut usia.
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, Imam Khalfi mengungkapkan bahwa puasa dimana saja, bisa sama beratnya karena berpuasa bukan cuma menahan lapar dan dahaga tapi juga hawa nafsu. Intinya, berpuasa terutama di bulan Ramadan adalah ajang melatih kesabaran.
“Semua tergantung pada niat yang kuat dan kesabaran kita. Kita belajar untuk mengendalikan hawa nafsu. Puasa juga mengajarkan kita untuk memiliki solidaritas pada mereka yang miskin yang kadang tak punya apa-apa untuk dimakan,” tandas Imam Khalfi. (era/arrahmah.com)