KABUL (Arrahmah.com) – Pemerintah boneka Afghan telah meningkatkan upaya untuk menghentikan para ulama untuk “menghasut kekerasan” atau menyebarkan slogan anti-pemerintah di masjid-masjid, memberikan para mullah yang “sulit diatur” tiga kesempatan untuk mengubah cara mereka atau akan menghadapi pemecatan dan mungkin penjara.
Di Afghanistan, di mana kebanyakan pria pergi melaksanakan sholat Jumat, khutbah adalah pengaruh yang penting dan sangat didengar oleh jamaah. Pemerintah boneka menganggap kelompok pemberontak (mujahidin-red) berusaha mendapat dukungan dan merekrut melalui cara tersebut dan pasukan boneka Afghanistan ingin melawan pesan “militan” dengan mengatur isi khutbah.
Sebuah keputusan terbaru oleh Kementrian Haji dan Urusan Agama bertujuan untuk meredam pesar anti-Barat dan pro-Mujahid dari para pemimpin agama di Masjid-masjid yang pendapatnya lebih sering dipercaya dan dihargai dari pendapat pemerintah, terutama di daerah pedesaan dan wilayah terpencil.
“Jika kami medorong masyarakat kami untuk berdamai, mereka menerimanya, dan jika kami mendorong untuk melakukan apapun, mereka menerima, karena mereka tahu bahwa apapun yang kami katakan kepada mereka adalah berdasarkan Al Qur’an dan Islam,” ujar Mohammad Asghar Mawlavi, seorang imam di Kabul.
Sekitar 126.000 Masjid di Afghanistan, hanya sekitar 6.000 yang terdaftar dan didanai pemerintah. Yang lainnya dibangun oleh rakyat dan para imam mereka didukung oleh lingkungan itu. Di daerah pedesaan di mana Mujahidin memiliki basis kekuatan, khutbah Jumat diisi dengan hal-hal yang mneyemangati ummat untuk berjihad, dan inilah yang ditakuti oleh para munafik dalam jajaran pemerintahan Afghan.
“Ketika para mullah yang dibayar oleh kami melanggar keputusan, kami akan melepaskan dia dari pekerjaannya. Dan jika ia tidak dipekerjakan secara resmi oleh kami, kami melaporkan kepada departemen keamanan dan peradilan untuk bertindak terhadapnya,” ujar Abdul Malik Zeyaee, kepada Departemen Agama dan Urusan Masjid seperti yang dilansir Reuters.
Pemerintah boneka menetapkan tiga pendekatan untuk para ulama yang berkhutbah menentang konstitusi atau “menghasut kekerasan”, pertama delegasi akan dikirim untuk berbicara dengan imam, kedua peringatan yang kuat dan terakhir mungkin akan menghadapi pemecatan jika di masjid terdaftar atau mungkin penjara di masjid yang tak terdaftar.
“Mereka berbicara menentang pasukan asing di negara itu, mereka berbicara tentang pelanggaran oleh pemerintah dan berbicara tentang apapun. Orang-orang mendengarkan mereka dengan hati-hati,” ujar Hajji Khoshdil (45), penduduk di kota Herat.
Keputusan ini telah diambil setelah serangkaian serangan keji pasukan penjajah Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin Afghanistan, salah satunya pembakaran Al Qur’an oleh tentara kafir AS di pangkalan Bagram pada Februari lalu yang memicu kerusuhan. Juga pembantaian terhadap puluhan sipil tak bersalah di Kandahar oleh tentara kafir AS. (haninmazaya/arrahmah.com)