JERMAN (Arrahmah.com) – Meskipun sebuah konferensi Islam tahunan di Jerman yang diadakan oleh para pejabat Jerman dan sebagian pemimpin Muslim di Jerman mengusung tema tentang “kekerasan domestik dan pernikahan paksa”, kampanye terbaru membagikan Al-Qur’an gratis oleh sekelompok Muslim Jerman yang sering dikenal sebagai Salafi, menjadi topik utama yang dibahas.
Para pejabat senior Jerman bertemu di Berlin pada hari Kamis (19/4/2012) lalu untuk konferensi tahunan mereka membahas Islam di Jerman dengan sebagian pemimpin Muslim dari seluruh negeri itu. Salah satu pembahasan utama dalamkonferensi itu adalah aksi Muslim dari yang mereka sebut ‘Salafi fundamental radikal’ atau ‘Salafi ekstrimis’ menyebarkan salinan Al-Qur’an terjemahan bahasa Jerman secara gratis di kota-kota Jerman yang telah membuat para pejabat Jerman geram.
“Kami semua sepakat bahwa Salafi ekstrimis tidak dapat diterima dan tidak bekerja dalam masyarakat bebas, seperti yang kita miliki di Jerman,” kata Menteri Dalam Negeri Hans Peter Friedrich dalam konferensi tersebut. Friedrich berpendapat bahwa Salafi tidak memiliki dukungan mayoritas Muslim Jerman.
Kampanye bagi-bagi Al-Qur’an gratis bertema “Lies! im namen deines herrn, der dich erschaffen hat” yang artinya “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan” mengutip dari surah Al-‘Alaq: 1 , dimana 300.000 salinan Al-Quran terjemahan berbahasa Jerman menghujani Jerman sebelum konferensi Islam dilaksanakan.
Para penentang Islam mengklaim bahwa kampanye Al-Qur’an itu bertujuan untuk menyebarkan ‘radikalisasi’ di Jerman.
“Kelompok ‘Salafi radikal’ mengganggu kedamaian beragama di negara kami dengan pendekatan agresif mereka,” kata kata Günter Krings, wakil ketua Kanselir Angela Merkel dari partai Uni Demokratik Kristen (CDU), dikutip koran Die Welt (11/4).
Salafi dianggap sebagai ‘kelompok radikal’ oleh pemerintah Jerman dan sebagian ‘Muslim mainstream’ karena menginginkan penerapan Syari’at Islam dan dianggap mengancam demokstrasi barat. Salafi dibawah pengawasan ketat oleh badan-badan intelijen Jerman.
Selain itu, para pejabat Jerman menganggap bahwa berdasarkan ideologi ‘Muslim fundamental’, seperti yang mereka katakan, pernikahan dilakukan secara paksa, dan Jerman lebih menekankan tentang Geschlechtergerechtigkeit als gemeinsamen Wert leben – Kesetaraan Gender sebagai nilai umum – dan ‘kebebasan’.
Orang-orang anti-Syari’at Islam berpandangan bahwa pernikahan secara Islami merupakan paksaan dan bertentangan dengan nila-nilai demokrasi mereka.
Konferensi Islam Jerman tersebut terlihat tidak menemukan solusi yang berpihak pada Islam yang lurus, justru lebih memojokkan orang-orang Muslim yang menginginkan penegakkan Syari’at Islam dan menyebarkan Islam yang benar yang mereka sebut ‘Islam radikal’. (siraaj/arrahmah.com)