BELANDA (Arrahmah.com) – Korban pembantaian Srebrenica telah memprotes keputusan Mahkamah Agung (MA) di Den Haag, Belanda tidak akan menuntut PBB karena gagal mencegah genosida terhadap lebihd dari 8000 Muslim Bosnia oleh pasukan salib Serbia di akhir-akhir Perang Salib di Bosnia pada tahun 1995 di kota Sebrenica, Bosnia-Hezergovina.
“PBB, sebagai juara ‘HAM’ internasional, tidak haris berdiri di atas hukum tetapi harus bertanggungjawab atas perannya dalam genosida Srebrenica pada 1995,” kata seorang ibu dari korban genosida Sebrenica dari kelompok 6000 korban yang disebut Ibu Sebrenica kepada Reuters, Jum’at (13/4/2012).
“Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dan bertentangan dengan hukum kasus dari Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) dan Pengadilan Eropa (ECJ),” tambahnya.
Srebrenica adalah daerah Muslim yang tercatat dalam hukum internasional dilindungi PBB sampai 11 Juli 1995, ketika itu dikepung oleh pasukan salib Serbia, Belanda dan PBB terlibat di dalamnya.
Lebih dari 8000 pria Muslim dan anak laki-laki dibantai dan dikubur secara massal oleh pasukan salib Serbia.
Pembantaian Srebrenica telah dicatat sebagai genosida oleh Mahkamah Internasional dan Pengadilan Kejahatan Internasional.
Sementara Belanda mengklaim bahwa pasukannya ditinggalkan oleh PBB, dan tidak memberi mereka dukungan udara.
Putusan pengadilan pada hari Jum’at (13/4), yang terletak di Den Haag merupakan pilihan hukum terakhir di Belanda untuk sekelompok Muslim yang selamat dari pembantaian 1995 Juli.
“Mahkamah Agung menjunjung tinggi pendapat pengadilan yang lebih rendah bahwa PBB memiliki kekebalan paling luas dan tidak dapat dituntut oleh pengadilan nasional,” kata ringkasan dari putusan itu.
Tuntutan para Ibu Sebrenica yang memperjuangkan keadilan bagi dara-darah korban tak bersalah telah ditolak pada tahun 2008 dan di tingkat banding pada tahun 2010 oleh pengadilan yang lebih rendah sebelum pengacara akhirnya membawanya ke MA yang juga menganggap kekebalan hukum PBB “adalah mutlak.”
“Hal tersebut terkait langsung dengan perannya dalam menjaga perdamaian dan keamanan di dunia dan oleh karena itu penting kekebalannya tetap sekuat mungkin,” kata Mahkamah Agung.
“Kami akan berpendapat bahwa tentara Belanda dan PBB melanggar hak asasi manusia,” kata Axel Hagedorn, seorang pengacara di badan hukum Diepen Van Van der Kroef yang mewakili keluarga korban, kepada Reuters.
Hagedorn menambahkan bahwa pemberian kekebalan hukum terhadap PBB adalah mengecewakan korban genosida dan keluarga korban.
“Pemberian kekebalan hukum untuk kelompok yang mengklaim untuk membela hak asasi manusia adalah seperti menyusun barang secara terbalik,” tambah Hagedorn.
Perang Salib lanjutan di Bosnia terjadi pada tahun 1992 yang menewaskan jutaan Muslim dan sekitar 200.000 pengungsi karena pasukan Salib Serbia melakukan pembataian untuk pembersihan etnis terhadap Muslim Bosnia. (siraaj/arrahmah.com)