Di masa Rasulullah SAW ada seseorang yang mengaku nabi, bernama Musailamah Al-Kaddzab. Gelar Al-Kaddzab berarti si Pendusta, karena dia memang berdusta dengan mengaku sebagai nabi. Selain mengaku nabi, Musailamah juga merasa mampu menandingi ayat Al-Qur’an dengan gubahannya sendiri Ad Difda’u atau Katak. Al Jahiz, sastrawan Arab dalam bukunya ‘Al Hayawan’ mengomentari gubahan nabi palsu ini dengan mengatakan: “Alangkah kotornya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Al-Qur’an itu yang turun kepadanya sebagai wahyu.”
Kini, seseorang kembali mengaku nabi. Namanya Mirza Ghulam Ahmad, lahir di Qodian (India) pada tanggal 15 Februari 1835 M dan meninggal tanggal 26 Mei 1908 M. Selain mengaku nabi dan rosul, Mirza juga mengaku sebagai Imam Mahdi, serta mengaku menerima wahyu, yang disebut dengan Tadzkirah. Dengan kitab ‘suci’ yang dibuatnya ini Mirza Ghulam Ahmad membai’at murid-muridnya dan mengembangkan sekte sesat dan menyesatkan dengan nama Ahmadiyyah. Saat ini Ahmadiyyah yang masuk di Indonesia sejak tahun 1935 telah mempunyai sekitar 200 cabang, terutama di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain.
Di masa lalu, para Sahahabat, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq segera mengirimkan panglima terbaik dalam Islam, Khalid bin Walid sang pedang Allah untuk menghabisi sang nabi paslu, Musailamah Al Kadzzab. Sebelumnya telah dikirim, panglima Islam lainnya, Usamah bin Zaid yang teryata kewalahan menghadapi nabi palsu tersebut, Musailamah Al-Kadzab dan istrinya, Sajah. Barulah ketika tentara Islam pimpinan Khalid bin Walid ini menyerbu Musailamah Al-Kaddzab di Yamamah, maka sang nabi palsu Musailamah terbunuh bersama 10.000 orang murtad lainnya. Ath-Thabari, seorang sejarawan Islam menyebutkan bahwa belum pernah ada perang sedahsyat itu dalam memerangi kesesatan, terutama ajaran yang sesat dan menyesatkan.
Tadzkirah Kitab “Suci” yang Menyesatkan
“Apabila engkau (Mirza) berniat untuk mengerjakan pekerjaan yang besar, maka bertawakallah kepada Allah, dan jadikanlah perahu (jema’at di hadapan Kami menurut wahyu Kami). Orang-orang yang mengambil bai’at kepada engkau (yakni murid-murid engkau), mereka bai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka”. (Kitab “Suci” Tadzkirah, hal 163)
Dalam buku Ahmadiyyah & Pembajakan Al-Qur’an karya M.Amin Djamaluddin, disebutkan bahwa kitab “suci” Ahmadiyyah, Tadzkirah telah membajak ayat Al-Qur’an sebanyak 132 ayat. Dalam Tadzkirah sang nabi palsu, Mirza Ghulam Ahmad mencampur-adukkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan bahasa Arab, bahasa Urdu, dan bahasa Persia.
Wahyu palsu yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad diturunkan padanya sebenarnya adalah bajakan dari potongan beberapa ayat Al-Qur’an dari surat Ali Imran ayat 159, Surat Hud ayat 37 dan surat Al-Fath ayat 10 yang disambung menjadi satu ‘wahyu’. Dengan wahyu rekayasa inilah Mirza Ghulam Ahmad membentuk aliran sesat Ahmadiyyah dengan suatu keyakinan Jama’at Ahmadiyyah itu identik dengan perahu nabi Nuh a.s. Menurut Mirza, barang siapa yang tidak mau masuk dalam Jama’at Ahmadiyyah sama saja dengan orang yang tidak mau naik (masuk) dalam perahu nabi Nuh Nuh dan akan tenggelam semuanya yaitu akan masuk neraka.
Ahmadiyyah juga menganggap kitab “suci” Tadzkirah sama sucinya dengan kitab suci Al-Qur’an, bahkan lebih besar. Jama’at ini juga mempunyai tempat suci tersendiri yaitu Qadian dan Rabwah. Mereka bahkan memiliki surga sendiri yang letaknya di Qadian dan Rabwah dan serifikat kavling surga tersebut dijual kepada jama’ahnya dengan harga yang sangat mahal. Parahnya lagi, wanita-wanita Ahmadiyyah haram menikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyyah, tetapi lelaki Ahmadiyyah boleh kawin dengan perempuan yang bukan Ahmadiyyah. Selain itu, seorang pengikut Ahmadiyyah tidak boleh bermakmum dengan (di belakang) imam yang bukan Ahmadiyyah. Ahmadiyyah juga mempunyai tanggal, bulan, dan tahun sendiri, yang mereka beri nama dengan Hijri Syamsyi atau disingkat menjadi HS.
Keanehan dan penyimpangan-penyimpangan ini barulah sebagian kecil dari pokok-pokok ajaran Ahmadiyyah yang sesat dan menyesatkan. Bahkan Ahmadiyyah bisa disebut sebagai sebuah agama baru, dan bukan Islam. Hal ini karena Ahmadiyyah memiliki nabi tersendiri, yakni Mirza Ghulam Ahmad, kitab “suci” tersendiri yaitu Tadzkirah, dan ajaran-ajaran tersendiri yang menyimpang jauh dari ajaran Islam. Dr. Muhammad Iqbal, ilmuan Islam yang juga berasal dari India mengingatkan :
“Sesungguhnya Qadianisme (Ahmadiyyah) adalah gerakan penentang Nabi Muhammad SAW, dan komplotan penentang Islam dan agama yang terpisah, dari agama Islam, bahwa Qadianisme adalah umat yang berdiri sendiri bukan bagian dari umat Islam”.
“Sesungguhnya Qadianisme (Ahmadiyyah) akan menarik umat nabi Muhammad SAW dan mendirikan umat baru di India. Sesungguhnya Qadianisme lebih berbahaya bagi kehidupan masyarakat Islam Hindia dibangdingkan aliran Spenoza dengan filosof Yahudi yang memberontak dengan peraturan-peraturan Yahudi”.
Ahmadiyyah : Rekayasa dan Konspirasi Musuh Islam
Dalam salah satu kitabnya, Mirza Ghulam Ahmad menulis : ” Aku adalah Imamuzzaman pada abad sekarang dan Allah telah menghimpun tanda-tanda pada diriku”. Mirza mengaku dan menganggap dirinya Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu dan dijanjikan kedatangannya oleh umat Islam seluruh dunia.
Jema’at Ahmadiyyah meyakini bahwa Allah SWT telah membangkitkan seorang utusan rohani umat manusia di seluruh dunia, yaitu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Masih Mau’ud dan Imam Mahdi. Mirza Ghulam Ahmad sendiri menyatakan bahwa “Barang siapa yang tidak benar-benar yakin bahwa akan hadirnya Masih dan Mahdi yang dijanjikan, ia bukan dari Jama’atku, yakni jama’at Ahmadiyyah.
Cerita dan klaim konyol seperti ini sudah sering terjadi sebelumnya yang teryata didalangi oleh musuh-musuh Islam. Musuh-musuh Islam memanfaatkan nubuwah (berita kenabian) diutusnya Imam Mahdi di akhir zaman dengan memanipulasi sosok Al Mahdi dan memunculkan tokoh-tokoh rekayasa untuk dipercaya sebagai Al Mahdi, termasuk Mirza Ghulam Ahmad.
Keyakinan akan turunnya Imam Mahdi telah dimanipulasi oleh musuh-musuh Islam, salah satunya Inggris. Inggris yang pada waktu itu menjajah India, kesal dan putus asa terhadap sikap kaum muslimin yang anti pati dan nonkooperatif terhadap Inggris. Sikap umat Islam ini membuat mereka terpojok dibanding umat Hindu yang bersikap kooperatif. Dalam kondisi lemah dan tertindas inilah muncul gerakan Mahdiisme yang dipelopori Ahmadiyyah yang berorientasikan pada pembaharuan pemikiran. Mirza Ghulam Ahmad tampil sebagai sosok yang mengaku telah diangkat sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan umat muslim dengan memberi interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tuntutan zamannya, sebagai yang diilhamkan Tuhan kepadanya.
Dalam novel The Mahdi karya AJ Quinnel (1981) diceritakan konspirasi antara agen M-16 (Inggris) dengan agen CIA (Amerika) dalam merekayasa kehadiran sosok Al Mahdi, Abu Qadir, seorang sufi asal Saudi. Dalam sinopsis novel tersebut dikatakan : Sebuah cerita spionase spektakuler tentang dinas-dinas rahasia internasional yang merencanakan untuk menguasai kekuatan Islam yang sedang berkembang melalui sebuah mukjizat buatan, di depan mata jutaan umat Islam beriman di Kota Mekah. Menampilkan seorang Mahdi baru : Itulah sasaran yang ingin dicapai setiap agen dinas rahasia Barat. Seorang ‘nabi boneka’ merupakan sebuah kunci yang tak terbayangkan bagi kekuatan internasional. Menampilkan, sudah tentu seorang “nabi” yang tetap berfungsi sebagai boneka.
Fenomena munculnya nabi-nabi palsu akhir zaman seperti Mirza Ghulam Ahmad, Ahmad Mosadeq, hingga Lia Aminuddin dengan klaim sebagai Al Masih, menerima wahyu dari Jibril a.s. sekaligus mengaku sebagai nabi yang mendapat wahyu menjadi realitas tak terbantahkan akan adanya konspirasi untuk menghancurkan Islam yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Pelbagai cerita “mukjizat” biasanya diumbar oleh para nabi palsu ini untuk meyakinkan para pengikutnya. Padahal, bisa jadi “mukjizat” palsu itu sengaja diciptakan oleh musuh-musuh Islam, baik yang nyata maupun tidak.
Untuk membuktikan kemahdian Abu Qadir, agen Inggris M-16 membangun instalasi komunikasi rahasia dalam gua yang biasa digunakan sang sufi untuk meditasi. Lewat satelit, diproduksilah visualisasi ketika Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama, sehingga seolah dia pun menerima ‘wahyu’.
Sementara itu, Mirza Ghulam Ahmad mengaku menemukan sebuah makam di Srinagar, Punjab, India. Menurutnya makam tersebut adalah makam Yus Asaf yang diyakini sebagai Isa Al-Masih, sesudah pengembaraannya yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India. Sesudah penemuan makam tersebut, barulah dicari hadits-hadits mahdiyah (tentang Imam Mahdi) yang relevan sebagai dasar keyakinan Ahmadiyyah. Maka pada tahun 1890, Mirza Ghulam Ahmad pun mendakwahkan dirinya sebagai Imam Mahdi. Selaku Imam Mahdi ia mendapat wahyu dari Allah SWT, yang berbunyi : “Bangkitlah! Waktu yang ditetapkan untukmu telah tiba…”
Dalam situs resmi Ahmadiyyah Indonesia, terdapat artikel tentang biografi Mirza Ghulam Ahmad yang ditulisnya sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau’ud (Al Masih yang ditunggu). Lewat situs ini Ahmadiyyah gencar berpropaganda, bahkan menyiarkan langsung ceramah khalifah mereka di London.
Berikut kutipan dari situs Ahmadiyyah Indonesia tentang tanda-tanda kematian Mirza Ghulam Ahmad :
Pada bulan Desember 1905, Hazrat Ahmad as. mendapat ilham yang menerangkan bahwa saat kewafatan beliau telah dekat, oleh karenanya beliau menulis sebuah buku yang berjudul Al-Wasiat, yang disebar luaskan kepada seluruh warga Jemaat Ahmadiyah. Di dalamnya beliau as. memberitahukan bahwa saat kewafatan beliau telah dekat, dan menasihatkan agar Jemaat tenteram serta berbesar hati.
Demikian pula, berdasarkan ilham Ilahi, Hazrat Ahmad as. mengumumkan untuk membuat sebuah areal perkuburan khusus (Bahesyti Maqbarah), dan orang-orang yang akan dikebumikan disana harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Yakni mengurbankan paling sedikit 1/10 harta bendanya dan 1/10 dari penghasilannya setiap bulan untuk kepentingan Islam. Hazrat Ahmad as menjelaskan :
“Allah Taala telah memberi kabar suka kepada saya, bahwa di perkuburan itu hanya orang-orang ahli surga saja lah yang akan dikuburkan.”
Lihat, kesesatan Ahmadiyyah yang meyakini pimpinan mereka menerima wahyu (meski diubah kata-katanya menjadi ilham), dan meyakini dengan yakni bahwa pimpinan mereka akan masuk serga.
Selain itu, kucuran dana Ahmadiyyah juga sangat besar. Untuk menggaji pegawainya saja Ahmadiyyah mengeluarkan sekitar 60 juta/bulan. Ahmadiyyah juga setiap bulannya membagikan brosur kepada masyarakat, membagikan buku-buku yang berisi ajaran Ahmadiyyah secara gratis kepada masyarakat. Semuanya itu dilakukan dari markas besar mereka di Parung Bogor, Jawa Barat di atas tanah seluas 15 ha.
Harus Diapakan Ahmadiyyah ?
Sejak kemunculannya, Ahmadiyyah telah ditentang oleh seluruh ulama. Namun, berkat bantuan Inggris yang menjajah India ketika itu, keberadaan Ahmadiyyah tetap langgeng bahkan semakin berkembang cepat. Ketika Pakistan melarang keberadaan Ahmadiyyah, khalifah atau pemimpin tertinggi mereka melarikan diri ke Inggris dan memindahkan markasnya pula ke sana.
Pasca kematian Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1908 M, kepemimpinan Ahmadiyyah berpindah secara estafet kepada seseorang yang kemudian diyakini sebagai khalifah, dan mendapat gelar Hadhrat. Kepemimpinan pertama Ahmadiyyah selepas kematian Mirza adalah Hadhrat Hafiz H. Hakim Nuruddin selaku khalifah I hingga meninggal tahun 1914 M. Selanjutnya dipilih khalifah II Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang memangku jabatan tersebut dari tahun 1914 hingga 1965. Kemudian, ia digantikan oleh khalifah III Hadhrat Hafiz Nasir Ahmad yang meninggal dunia tahun 1982. Selanjutnya kekhalifahan dijabat oleh khalifah IV Hadhrat Mirza Taher Ahmad hingga sekarang.
Ironisnya, di bulan Juni-Juli 2000 M, Ahmadiyyah yang telah difatwakan sesat oleh MUI, dinyatakan sebagai aliran kafir di luar Islam oleh Liga Dunia Islam di Mekkah, justru disambut dengan upacara penting di negeri ini oleh Dawam Rahardjo, Gus Dur, dan Amien Rais. Ketika itu, khalifah ke IV Ahmadiyyah, Taher Ahmad yang bermarkas di London, Inggris berkunjung ke Indonesia. Tentu saja sambutan kepada penerus nabi paslu tersebut akan mengakibatkan kaburnya pandangan umat Islam akan kesesatan dan menyesatkannya Ahmadiyyah. Bisa jadi, Ahmadiyyah akan dianggap sebagai ajaran yang benar, yang perlu juga dibela dan dilindungi sebagaimana pandangan awam saat ini. Padahal sudah jelas sejelas matahari di siang hari bahwa Ahmadiyyah adalah sesat dan menyesatkan!
Prof.KH. Ibrahim Hasan LML, Rektor IIQ Jakarta mewajibkan kaum muslimin untuk berjuang membubarkan Ahmadiyyah. Bahkan hampir seluruh ormas Islam ketika itu telah menandatangani kesepakatan agar Ahmadiyyah dibubarkan, karena telah menodai Al-Qur’an. Peristiwa itu terjadi pada bulan Juni 1995.
Syuriah Nahdatul Ulama, melalui Rois (Ketua) dan pelaksana harian syuriyahnya, KH Ma’ruf Amin, memutuskan bahwa Ahmadiyyah yang ada di Indonesia menyimpang dari ajaran Islam. Maka sudah seharusnya aliran yang memutar-balikkan Al Qur’an tersebut dilarang. Ahmadiyyah, menurut keputusan Syuriyah memutar-balikkan ayat Al-Qur’an, bahkan mengakui adanya nabi baru setelah nabi Muhammad SAW. Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai nabi. Itu jelas menyimpang dari ajaran Islam dan harus dilarang, uangkap KH Ma’ruf Amin menjawab harian Pelita, Agustus 1995.
Sejak saat itu, kaum muslimin tiada henti menuntut pembubaran Ahamdiyyah di negeri ini. Lebih dari 10 tahun telah berlalu, umat Islam tidak henti dan tidak bosan menyuarakan kebenaran dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, menolak keberadaan Ahmadiyyah yang sesat dan menyesatkan. Kaum muslimim yakin bahwa Ahmadiyyah adalah sebuah kemungkaran dan kemungkaran harus diingkari menurut kadar kemampuan. Karena jika kemungkaran seperti Ahmadiyyah tidak dihilangkan, maka akan menyebabkan negara dan umat akan binasa, sebagaimana hadits Rosul SAW :
“Maka jika mereka membiarkan mereka berbuat menurut keinginan mereka, niscaya mereka akan binasa, dan jika mereka mencegahnya, maka mereka semua akan selamat”.
Abdul Mun’im Halimah “Abu Bashir” dalam bukunya “Fatwa Mati Buat Penghujat” menyatakan, mencegah dan menjatuhkan sanksi hukuman terhadap pelaku kemungkaran tidaklah bertentangan ataupun berlawanan dengan keadaan Allah yang akan menghukumnya sendiri kelak di hari kiamat, sebagaimana firman Allah :
“Dan kami menunggu-nunggu bagi kalian bahwa Allah akan menimpakan kepada kalian adzab siksaan (yang besar) dari sisi-Nya, atau (adzab siksaan) dengan tangan-tangan kami.” (QS At Taubah : 52)
Adapun siksaan yang ditimpakan Allah kepada mereka melalui tangan-tangan kita adalah sewaktu mereka menampakkan kepada kita kebatilan dan kekafiran mereka. Sedangkan siksaan yang datang dari sisi Allah adalah kelak nanti pada hari kiamat, hari di mana mereka dibawa menghadap Allah SWT. Lalu, Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang amat pedih.
Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/arrahmah.com)