JAKARTA (Arrahmah.com) – Setelah difatwa halal MUI terhadap vaksin meningitis China dan Italia, sejumlah pakar kesehatan dan ahli fiqih mempertanyakan fatwa halal dan haram terhadap vaksin meningitis yang diputuskan Majelis Ulama Indonesia tersebut.
Dari ilmuwan misalnya mengatakan, “Nggak ada yang bebas enzim babinya untuk semua media mueller-hinton yang waktu itu digunakan untuk membiakkan vaksin meningitis,” kata Ketua Dewan Eksekutif Yayasan YARSI, Jurnalis Uddin dalam diskusi vaksin meningitis di Universitas Yarsi, Selasa (3/8).
Menurut Jurnalis, media muller-hinton, pada tahun 1970-an, memang tersedia di pasaran dengan unsur yang bersentuhan dengan babi pada saat pembuatan salah satu unsurnya. Sehingga jika Glaxo Smith Kline dan Novartis Diagnotis mengambil biang vaksin yang sama, statusnya harus sama, haram. “Ini bukan masalah informasi yang diberikan tidak sama, tapi kenapa auditor tidak mempertanyakan itu,” ujar Jurnalis.
Guru Besar Kimia Medical Organik Universitas Gajah Mada, Umar Anggara Jenie juga menyayangkan proses audit Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika. “Kalau hanya berdasarkan assesment saja, tanpa kajian laboratorium, itu sangat disayangkan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Umar justru mempertanyakan apakah bisa dipertanggungjawabkan secara profesi audit tersebut.”Apalagi Lembaga Pengkajian belum punya laboratorium sendiri, itu bukan hal yang bagus, ditambah lagi anggota masih dobel fungsi,” kata Umar.
Mantan Menkes yang juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Siti Fadilah Supari mengungkapkan, pada saat pembuatan biang menjadi calon vaksin pada 1970-an, belum ada pabrik yang bisa buat media tanpa teknologi yang bersentuhan dengan enzim babi. “Kalau mau membuat master seed bebas paparan porcine (enzim babi), itu perlu teknologi baru,” katanya.
Menurut Fadilah, nenek moyang vaksin meningitis sama di seluruh dunia. “Saya harap ada kejujuran dan tranparansi dalam mengaudit vaksin ini,” ujarnya.
Siti menilai akibat putusan MUI, pemerintah terpaksa mengeluarkan dana tambahan untuk pengadaan vaksin baru sebesar Rp 60 miliar dan membuang Rp 20 miliar dari vaksin yang sudah terbeli dari GSK. “Padahal masih banyak orang miskin yang butuh,” katanya.
Sementara itu, Pembantu Rektor Bidang Akademik Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Ahmad Munif S. menegaskan, “Tidak akan ditemukan vaksin halal sampai kiamat. Semuanya haram, karena biangnya sesuatu yang bersinggungan tidak langsung dengan enzim porcine dari babi,” ujarnya.
Menurut dia, jika mengikuti mahzab tersebut, tidak ada produk yang haram. Tapi, tidak ada yang mewajibkan untuk terkait satu fiqih saja. “Semua bebas memilih fikih, asal kuat argumennya, jelas kaidah dan metodologinya, serta sesuai kemajuan zaman” kata dia. (voi/arrahmah.com)