“Semalaman ia nyaris tidak tertidur. Sampai tengah malam dia masih membaca AL-QUR’AN. Tatkala saya terjaga, dia sedang asyik sholat malam. Dia asyik baca ayat-ayat AN-NAABA sambil menangis,” ujar sang ibu.
Usai subuh, AYAT AL-AKHRAS (16) remaja shalihah itu kembali membaca AL-QUR’AN. Ayat-ayat jihad panjang dibacanya berulang-ulang dengan nada bergetar. Sesekali ia terhenti, menahan isak tangis.. Menjelang pukul 06.00 waktu Palestina, dia menulis sesuatu di meja belajar. Sejurus kemudian Ayat sudah berseragam dan bergegas menuju dapur untuk menemui ibunya.
Kepada Ny. AL-AKHRAS, dia pamit hendak pergi ke sekolah. “Ada tugas tambahan. Hari ini boleh menjadi saat terpenting dalam hidup ini. Saya mohon do’a restu ibu,” ucapnya dengan mata berbinar.
Ny AL-AKHRAS tercekat. Dia sedikit bingung, heran, dan kaget melihat tingkah putrinya. “Semoga ALLAH selalu melindungi dan merahmatimu Anakku. Tapi, bukankah Jum’at adalah hari libur?”
“Do’a Ibunda yang nanda harap,” jawabnya. Ayat tak lagi berkata-kata. Dia hanya tersenyum. Dikulum dan dicium tangan ibunya, kemudian memeluk erat sang ibu yang masih kebingungan. Dan dengan tetap tersenyum, dia menarik tangan adiknya, Samaah(10). Mereka pun sama-sama bergegas ke sekolah.
Beberapa jam kemudian, pukul 10 waktu setempat, Radio Israel memberitakan ledakan bom di supermarket Nataynya, dekat Yerussalem. Peristiwa ini ini menyebabkan tiga orang tewas dan lebih dari 40 orang luka-luka.
Jantung Ny AL-AKHRAS berdegup kencang menyimak kabar itu. “Jangan-jangan dia…,” bisiknya saat itu. Firasatnya menguat manakala dia mendapatkan Samaah pulang sendirian sambil terisak-isak. Dia mengaku tak tahu persis ke mana sang kakak pergi. AYAT kata dia, hanya berpesan, “Jangan cemas dan takut ALLAH bersama kita orang-orang yang beriman. Sampaikan salam buat semua, dan berdo’alah. Mudah-mudahan ALLAH memberikan pengampunan dan kemenangan!”
Di kamp pengungsian, Ny Al-AKHRAS cemas dengan nasib anaknya. Batinnya bertanya-tanya, “Kemana dia pergi? Apakah dia sudah mewujudkan impiannya untuk menjadi syahidah?” Pertanyaan lain terus bermunculan dibenaknya. Bagaimana dengan impiannya yang lain? Soal pinangan, rencana pernikahan, dan pakaian pengantin yang sudah dijahitnya sendiri? Bukankah dia juga bercita-cita untuk melahirkan anak-anak, kemudian membina mereka menjadi mujahid-mujahid tangguh?”
Sementara pikiran liarnya bertanya-tanya, kalbunya mendapat isyarat bahwa calon mempelai itu telah gugur dalam aksi bom syahid. “Inna lilllahi wainna ilaihi raji’un. Semoga ALLAH mencatatnya sebagai syahidah. Mudah-mudahan dia juga bisa menjadi pengantin Palestina yang bisa melahirkan kehornatan dan kemerdekaan bagi umat dan bangsanya,” demikian ucap sang ibu ketika mendapat kepastiaan beritanya.
Jum’at siang itu Ayat Al-Akhras pergi mengikuti jejak Issa Farah dan Saa’id, dua kerabatnya, yang gugur diterjang helikopter Israel.
Lahir 20 February 1985 di kamp DHEISHES. Di akhir hayatnya dia tercata sebagai siswa kelas tiga sekolah menengah atas. Ayat menurut ABC News, termasuk anak cerdas dan rajin belajar. Sampai saat-saat menjelang syahidnya, dia masih rajin menasehati teman-teman untuk terus belajar. “Penguasaan ilmu teknologi amat penting dan diperlukan untuk mendukung perjuangan kita, apapun bentuknya.”
HAYFAA, teman baiknya, berujar, “Dia selalu menasehati kami bahwa belajar harus tetap berjalan, meski rintangan dan bahaya mengancam di sekeliling kita.”
Tentang jihad Ayat selalu berkata, “Jihad itu kewajiban setiap Muslim. Termasuk wanita. Mengapa kita harus membiarkan nyawa kita terenggut sia-sia oleh kebiadapan zionis Israel.” KEMATIAN SEORANG MUJAHID, KATA DIA, AKAN MEMBANGKITKAN KEBERANIAN MUJAHID-MUJAHID YANG LAIN, BUKAN SEBALIKNYA.
Meski tahu syahidah adalah cita-cita tertinggi anaknya, Ny. AL-ALKHRAS tetap saja merasa kehilangan. Dengan mata berlinang, dia mengulangi kata-kata sang anak ketika berdiskusi soal kewajiban jihad bagi setiap warga muslim Palestina. “APA NIKMATNYA HIDUP DI DUNIA KETIKA KEMATIAN SELALU MENGINTAI KITA. MANA YANG LEBIH INDAH, MATI DALAM KETIDAKBERDAYAANDAN KEHINAAN ATAU GUGUR DI MEDAN JIHAD.”
Samaah, adik sekaligus teman terdekatnya, merasakan hal yang sama. Sambil terus menangis, dia berkisah tentang saat-saat terakhir bersama kakaknya. “Saya melihat cahaya di mukanya dan sebuah rona kebahagiaan tak pernah dilihat sebelumnya.” Sambil memberi sepotong coklat, manis, lanjutnya, Ayat berkata lirih, “Shalat dan do’akan agar kakak sukses melaksanakan tugas suci ini.”
“Tugas apa?” Samaah bertanya, “Hari ini kamu akan mendengar satu berita baik. Mungkin inilah hari terbaik dalam hidup saya. Inilah hari yang selama yang lama saya nantikan. Tolong sampaikan salam hormat saya kepada AKH SHAADI,” tutur Ayat sambil memberikan secarik kertas.
Shaadi Abu Laan (20), calon suami Ayat, termangu beberapa saat ketika kabar itu sampai padanya. Dia nyaris tak percaya Ayat pergi begitu cepat mendahuluinya. Padahal Juli ini, jelas Shaadi , “Kami sudah berencana untuk resmi berumah tangga. Begitu Ayat lulus ujian, kami akan menempati rumah sederhana yang belum didekor.” Mereka sudah satu setengah tahun berkhitbah (saling meminang). Keduanya bahkan telah menyiapkan nama ADIYY untuk bayi pertamanya.
“ALLAH ternyata punya rencana lain,” ucap SHAADI. “Semoga kami bisa bertemu di syurga kelak, dia mencintai agamanya lebih dari apapun.”
Source: Jihad Magz Edisi 2